Kamis, 30 Desember 2010

kau apakan cinta...


kau apakan cinta saat ia kelu membagi namun hati terlanjur memberi?

apa kau memikirkan parit kecil?
arus kecilnya mengalir lambat dan kau melihat cinta itu hanyut perlahan hingga ke samudera
dan akhirnya ia tenggelam di palung terdalam

apa kau memikirkan kubangan besar?
yang diameternya begitu lebar
memuat seluruh perasaan lalu kau kubur rapat

apa kau memikirkan semilir angin?
hingga ia menerbangkan parut-parut itu satu demi satu ke angkasa
hilang ke angkasa seluruhnya

atau kau memikirkan nyala api dalam perapian?
kau tulis cinta itu dalam lembaran kertas banyak-banyak
kau lempar ia ke dalam lidah api berkobar jadi abu dan asapnya membumbung tinggi

kau apakan cinta saat ia kelu membagi namun hati terlanjur memberi?

aku memikirkan kamu
membiarkannya menjadi noktah di suatu tempat di benak dan hatimu
tak pernah teringat namun ada
tak pernah terlintas namun nyata
sisanya aku simpan di kompartemen khusus di hatiku
biar mengendap selamanya

karena sepedih apapun

aku tak ingin ia tenggelam
aku tak cukup mampu menyelam ke dasar untuk mengapungkannya kembali

aku tak ingin ia terkubur
aku mungkin akan terlalu letih menyekop ke dasar

aku tak ingin ia mengangkasa
aku tak miliki balon udara untuk mendaratkannya kembali di bumi

aku tak ingin ia terbakar
 jelaga tak mengingatkanku pada apapun

aku butuh memorimu
jadi saat cinta kelu membagi namun hatiku terlanjur memberi,
aku bisa memeluknya erat...

disini.

291210,afternoon

Sabtu, 11 Desember 2010

saatnya berhenti mengeluh..
hidup tak sesempit skenario di otakmu
ia kadang berkelit, berbelok ke arah yang tidak pernah kita duga..
and complaining will take us nowhere..

Jumat, 10 Desember 2010

fairy tales work in books, marriage is hard

-we come to life beneath the stars

Kamis, 09 Desember 2010

"kenapa baru sekarang.." kamu tanya

saya terdiam,
sementara kelu,
walau tahu jawaban itu..

Hingga akhirnya saya hanya mampu berbisik,
"sayang, kadang cinta datang terlambat.."

Selasa, 07 Desember 2010

long time no see..
and i miss you..

Selasa, 23 November 2010

perhaps

perhaps we don't need reasons to love someone..
perhaps we always long to be able to turn back time and change things to become the one we want to be..
perhaps it felt silly to miss someone so bad it hurts..
perhaps all i need is just an apology..

perhaps it is you the one who heals all...

Jumat, 29 Oktober 2010

Once..

never frown even when you're sad because you never know who will fall into your smile
i said that once..
and you told me that was true..

once..

Selasa, 26 Oktober 2010

stars

malam menua dan gemerlap menyilaukan memenuhi jalanan
menggoda merayu membuai hati
memaksanya tersenyum

mereka bicara tentang kebahagiaan seolah-olahtahu apa yang dibutuhkan
apa yang kubutuhkan untuk sebuah tawa

tapi mereka hanya gemerlap artifisial yang bisa tiba-tiba padam bila tak cukup dialiri arus
mereka tak mampu hidup lama
mereka tak cukup tahu arti atau bagaimana menjadi bahagia

aku merindukan kerlap-kerlip kecil yang menyala bergantian
timbul tenggelam dalam lautan hitam angkasa di pekatnya malam

kerlap-kerlip menenangkan
terlihat jauh tak terjangkau namun dapat tiba-tiba meluncur turun ke sini
me-riakan mata
mendamaikan hati

aku ingin ia...

kamu-kah ia?
kamu-kah kerlap-kerlip itu?
kamu-kah bintangku?

Jumat, 15 Oktober 2010

october

i didn't mean to abandon this piece of work

just purely had no time arranging proper words

me
speechless

this october

Kamis, 23 September 2010

that kind of love

I see how they proudly claim love as phoning regularly day and night 24/7 calling baby and sweetheart. Or publicly showing how much they care to each other.

I see they are wrong.

Because I see love as mutual acceptance, bestfriendship, self understanding for each other’s thoughts even when we both drowned in deep solitude/quite moment.
I see love understand that somehow it is enough to love his/her presence, that just by knowing he/she was on our side we will feel content.

I love that kind of love
I wish I could have one.

Jumat, 17 September 2010

lost

Aku sampaikan padamu lewat layar, lewat tombol-tombol bisu
Sejuta permintaan maaf dan selamat tinggal
Perpisahan begitu iminen hingga aku tak mampu lagi meraba celah untuk kita terajut kembali.

Tapi aku hanya mendengar hening, yang mengayun maju mundur, keras walau tak tersapu angin.
Bahwa rasa bencimu telah begitu pekat hingga beberapa kata seolah tabu.

Ada kekosongan yang amat mengerak. Di sini. Di tempat kau sempat bersemayam. Area itu sulit untuk cantik lagi. Untuk terisi lagi dengan rasa baru.

Walau memang ada satu terapi spesifik yang mampu memulihkan itu : maafmu

Kamis, 02 September 2010

moments


There are moments when crumpled sheet on the soft mattress being my only company as I am lying on fetal position holding up tears. Kissing your memories. Embracing your shadow. Hoping your stay. Daydreaming of your return.
I am in those moments.
I am missing you.
I genuinely care about you.

Wishing you knew..
Because I shall not tell.. I silence. 
Cakrawala memucat, mengerutkan terang kemilau matahari menjadi jingga yang menenangkan.
Ada jejak-jejak basah tercetak di atas tanah sehabis hujan. Jejakmu. Berlatarkan gemuruh arus sungai yang menderas, aku hanya mampu memandang jejakmu.
Aku coba mengikutinya. Selangkah demi langkah. Walau tak terkejar. Walau sosokmu tak jua nampak.
Kadang kelelahan datang. Menunda perjalanan untuk mengejar jejakmu. Di dalamnya aku kadang bertanya : tidakkah kau juga lelah? Tidakkah kau kadang menoleh sejenak ke belakang? Memikirkan adakah aku mengikuti langkah yang kau jejaki?

Aku mengikutinya, sayang…
Walau temaram senja ini menyelubungi dan menyamarkan tanda-tanda keberadaanmu yang kelabu.
Aku ingin kau berhenti sejenak. Menunggu. Aku membutuhkanmu. Dan kini sedang berjalan mendekat. Hanya saja.. aku butuh waktu.

The Last Song


Just finished The last Song couple days ago and just can’t stand to share it with ya!
Saya baru tahu belakangan bahwa buku ini ditulis Nicholas Sparks berdasarkan skenario Film dengan judul yang sama. dan benar-benar membayangkan bahwa Miley Cyrus adalah Veronica.

Buku ini bercerita seputar musim panas Veronica (Ronnie) yang harus ia habiskan di sebuah kota kecil di selatan, Wilmington. Jauh dari gemerlapnya nuansa urban Manhattan yang telah ia anggap rumah. Jauh dari sahabatnya Kayla.

Wilmington adalah tempat dimana Ayahnya, Steve, tinggal setelah bercerai dengan ibunya, Kim. Ronnie sangat membenci Ayahnya. Gara-gara perceraian itu, gara-gara Ayahnya terlalu egois untuk mengejar impiannya sebagai concert pianis hingga menelantarkan keluarga, juga karena sikap persisten Ayahnya yang mencekokinya dengan pelajaran piano sejak ia kecil hingga remaja. Saking bencinya, Ronnie tidak pernah berbicara lebih dari beberapa kata saja pada Ayahnya selama tiga tahun terakhir.

Wilmington adalah kota kecil di tepian pantai. Dan Ayahnya cukup beruntung bisa mendapatkan tempat tinggal di sisi pantai yang tenang dan jauh dari keramaian. Tapi itu neraka buat Ronnie. Alih-alih menghabiskan waktu musim panasnya melakukan bonding-time dengan sang Ayah, Ronnie pergi mencari kesenangannya sendiri.

Di sebuah karnaval ramai di sisi dermaga ia bertemu dengan Blaze, Marcus, Teddy dan Lance. Mereka adalah tipe remaja bebas anti kemapanan yang liar, dan tanpa Ronnie ketahui ternyata vandalis. Marcus adalah pemimpin grup itu, dan merupakan pacar Blaze. Namun ia secara terang-terangan melakukan flirting dengan Ronnie di depan Blaze. Kecemburuan Blaze membawa Ronnie pada sebuah kasus kriminal yang mengancamnya dengan hukuman penjara. Dari situ hubungannya dengan sang Ayah berubah.

Lewat usaha Ayahnya mencoba membebaskannya, Ronnie ternyata tahu bahwa Ayahnya tidak seignoran yang ia kira. Bahwa di balik sikap diam dan sok perhatiannya yang dulu Ronnie benci, Ayahnya sangat penyayang. Ronnie jadi banyak menghabiskan waktu dengan beliau, mulai berkomunikasi seperti biasa, berjalan-jalan di sisi pantai, menemukan sarang telur kura-kura, bermain di dermaga bersama adiknya, Jonah.

Ronnie juga berkenalan dan jatuh cinta pada Will, seorang pemuda yang membantunya menjaga sarang telur kura-kura dari serangan rakun. Yang ternyata juga anak dari salah satu jutawan di kota kecil itu.

Is that all?
Tidak, The Last Song tidak sedangkal dan se-gampang-ditebak itu bila diracik di tangan Nicholas Sparks. Ada berbagai rahasia yang terbalut dalam cerita ini. Penyakit terminal yang diderita Steve, masa lalu Will, juga ulah Marcus yang membuat hubungan Ronnie dan Will jadi berantakan.

Seperti biasa Nicholas Sparks meramu kisah ini jadi heart-crushing dan sob-erupting story. Makna di balik buku ini dalem banget. Membuat saya sukses berkontemplasi tentang hidup, cinta dan keterbatasan waktu. esensi dari cinta dalam keluarga di buku ini kuat banget. bikin saya ingin mencontoh bagaimana Steve 'menangani' anak gadisnya yang remaja, sekaligus jadi panutan putranya yang baru berusia tujuh tahun. 

Jauh lebih ringan dan ngepop dibanding buku-buku Nicholas Sparks sebelumnya macam The Notebook, Message in the Bottle ataupun A walk to Remember memang, tapi buku ini tetap worth to read. Bikin kita bakal makin sayang sama orang tua kita. *grin*

Mengajarkan pada saya bahwa kadang momen penyadaran datang di detik terakhir… saat sudah begitu banyak rasa sakit yang terkecap dan perpisahan sudah begitu iminen. Namun di saat yang sama kita belum benar-benar siap mengucapkan selamat tinggal.
*sroootttt* << ngelap sisa air mata.

Definitely love this book. It swelled my eyes of tears.
Walaupun nggak seluruhnya kisah buku ini bikin mewek ya. ada joke-joke ringan yang bikin kita senyam-senyum bahkan kadang ngakak. Sebagian besar tawa itu saya dapat dari ulah polos Jonah, adik Ronnie, yang jadi karakter favorit saya dalam buku ini.
Here are some of my favorite pick lines :
Jonah shuffled his feet, something obviously on his mind. "Ronnie didn't read any of the letters you sent her, Dad. And she won't play the piano anymore, either."
"I know," Steve answered.
"Mom says it's because she has PMS."
Steve almost choked but composed himself quickly. "Do you even know what that means?"
Jonah pushed his glasses up. "I'm not a little kid anymore. It means pissed-at-men syndrome."
(Jonah and Steve, page 11)

Never forget that God is your friend. And like all friends, He longs to hear what is happening in your life. Good or bad, whether it’s been full of sorrow or anger, and even when you’re questioning why terrible things happen. So I talk with Him.
- character Pastor Harris

Growing up hadn’t been all cupcakes and parties.
- character Will Blakelee

Truth only means something when it’s hard to admit.
- character Ronnie

Life, he realized, was much like a song.
In the beginning there is mystery, in the end there is confirmation, but it's in the middle where all the emotion resides to make the whole thing worthwhile.
- steve, chapter 36

So, you better prepare extra tissues before starting to read this book! Enjoy!

Kamis, 26 Agustus 2010

Fate has a hurtful sense of humor

Kamis, 19 Agustus 2010

dalam hening pagi

seperti bayi mungil yang haus sinarnya agar ia bertumbuh
aku melangkah pagi ini mencari kedamaian di sisi atap
bersimbah kemilau pagi


lembut angin melingkupi, mengenang sebuah perpisahan tak terlisankan
kau memverbalkan selamat tinggal saat gerak punggungmu menjauh
dan tak lagi menoleh


benak dan hati bertikai dalam selubung eksterior ketidakpedulian
membiarkan langkahmu menjauh saat sebenarnya
ingin mencengkeram dan memaksamu kembali


dalam hening hiruk pikuk pagi alam menyenandungkan sebuah penyadaran
kau pergi agar ku meraihmu kembali


jadi dalam hening pagi aku berbisik lembut
pada semilir sejuk yang menyapa tubuh 


biar kau menikmati perjalananmu kali ini meski tanpa ku temani
dan biar belaian sejuk itu meyakinkanmu 
bahwa saat kau kembali aku sudah jauh lenih baik dan peduli


aku biarkan angin pagi membuat kita terkoneksi,
selamat jalan...

be safe on your road trip, i'll be waiting

Selasa, 10 Agustus 2010

about promises of a return...




and i wish i were his Brielle...

Minggu, 08 Agustus 2010

In the dimming twilight : closing curtain

Matahari hampir ludes terbenam
menyisakan semburat merah senja yang kelelahan di ufuk barat

kita berdua berdiri
postur yang sama
menghadap senja yang sama
namun di atas tanah yang berbeda

kita berdua serempak mengangkat jemari perlahan
hingga ia tepat jatuh di depan wajah
kita berdua menggerakkan satu persatu jari
menghitung
dengan bilangan yang sama

terus

hingga selendang jingga senja terhempas di dasar angkasa
menyerukan malam
saat itulah kita berdua merasa benar-benar sendiri

dicengkeram sepi..

Selasa, 27 Juli 2010

Sore yang magis

Kita bercengkerama di sudut teras,di atas lantai ubin dingin
berbekal jutaan kata, cerita, yang telah terpendam lama..

Petang mulai surut, namun kita seolah tak akan pernah kehabisan cerita,
warna..

Binar di matamu tak hilang walau kerlip sore kini tergantikan gradasi yang meremang
menyuarakan rindu setelah pertemuan yang menjarang..

Aku memeluk lutut, menopang daguku di puncaknya
memandangmu, mendengarkanmu bertutur..

Bagai pendongeng lihai kau menghanyutkanku dalam pusaran cerita berbalut rindu yang menghangatkan hati
memoles rasa..

Sudah berapa lama kita tak bersua?

Sampai ketika gelap pekat menyelubungi dan kerlip sore hilang ditelan cahaya neon yang menyilaukan, kau tiba-tiba berhenti.
Terdiam..

Hening..
Kita coba menyelami mata satu sama lain
ingin tenggelam dalam kedalaman rasa yang sesungguhnya telah ada sejak lama
mencoba menemukan momen, saat dimana kita akhirnya mampu mengungkap satu yang demikian kelu,

cinta..

Second half

Saya mengucapkan selamat datang pada paruh kedua tahun ke-21 saya hidup di dunia..
Menjelang usia 22..

Hello there! How's life?
Kinda been a long time i abandoned your empty spaces..

Ya,bagai kertas-kertas kosong,ini seharusnya terisi oleh banyak kalimat,rasa,emosi..

Karena ini adalah media dimana saya mampu menekan apa yang bergumul dalam hati secara minimal. Menyeretnya keluar..
Tempat saya sedikit lebih bebas menyalurkan isi benak..

Hari-hari yang terlewat tanpa cerita.. Jadi salah satu minggu-minggu tersibuk dan melelahkan dalam hidup saya.

Beberapa kebahagiaan kecil hidup. Walaupun ada luka-luka baru yang tergores.

Saya kangen bercerita.
Saya jemu bungkam.

Minggu, 25 Juli 2010

The Birthday Girl : Sketch one

Ada sesuatu yang merasukinya kala menatap suasana kelabu di balik pintu kaca otomatis. Sebuah momen di masa lalu yang selalu memerangkapnya tanpa ampun. Membuatnya terpaku di tengah-tengah lobby kantor seperti gadis bodoh yang seenaknya melamun di pusaran riuhnya arus karyawan yang meluncur keluar seusai jam pulang.
Tapi sekali lagi, hujan yang mengancam di balik suasana kelabu itu memberinya waktu untuk mengurai sebuah kenangan lama.
Untaian peristiwa yang terjadi jauh sebelum ia bekerja di gedung perkantoran berlantai 22 ini, menyibukkan diri tiap senin hingga jumat dalam sebuah cubicle sejak jam 07.00 pagi hingga usai Maghrib, bahkan lebih larut jika ia harus lembur.
Tiap pulang setelah hari gelap, momen masa lalu itu tak pernah menggodanya. Merayunya untuk kembali melamun. Kenangan itu memilih menenggelamkan diri di balik selimut hangat di sudut benak. Dan akan keluar dari tidur panjang pada saat yang diinginkan. Tidak pernah terjadi dalam tiga tahun terakhir ini.
Namun di sore kelabu menjelang senja ini, momen itu seolah menggeliat dan memilih untuk merangsek keluar.
Ia tak lagi peduli pada tubuh-tubuh yang lalu lalang di sekelilingnya, pula pada gerutuan-gerutuan keras akan posisinya yang menghalangi langkah-langkah mereka. Ia juga tak peduli bahwa kelabu itu sebentar lagi akan memuntahkan hujan hingga ia harus bersiap basah kuyup sesampainya di kosan nanti. Atau pun bahwa ini adalah waktu yang langka di tengah jam kerjanya yang luar biasa panjang dan melelahkan, saat ia bisa pulang lebih awal dan menghibur dirinya sendiri dengan pergi belanja atau nonton film baru di Blitz megaplex.
Tidak. Ia masih terpaku di tengah lobby, walau perlahan mampu meraih kembali kesadaran atas suasana sekitar dan melangkah keluar dengan pelan. Tapi aura kelabu di balik pintu kaca otomatis itu masih menghipnotisnya. Mengingatkannya pada dirinya 3 tahun lalu.
Dan tiba-tiba saja sosok gadis muda kurus, berkeringat dan buta mode—terlihat dari busana yang dikenakan seperti tak tersentuh teori mix and match paling dasar sekalipun—melintas mengayuh sepeda mini vintage berkeranjang depan yang dipenuhi rangkaian bunga rose dan lily. Rambut sebahunya berkibar, kusam berlatar kelabu dengan rintik kecil gerimis yang mulai berkecipak di tubuhnya. Tangannya mulai gemetar kepayahan karena terlampau erat menggenggam kemudi, pun kakinya yang bergetar aus karena telah mengayuh seharian. Tapi wajah gadis itu memancarkan tekad keras, untuk mengantar pesanan rangkaian bunga terakhir itu pada seseorang di seberang jalan sana, yang menanti kelopak-kelopak cantik itu untuk diserahkan pada seorang wanita yang hendak ia lamar malam nanti.
Romansa yang mengetuk kalbunya di tengah kegigihannya mengayuh. Satu hal yang ia dambakan bisa hadir dalam kehidupannya yang seolah sama tak menariknya dengan penampilannya.
Bayangan familiar itu tak hilang dari matanya walau kakinya telah melangkah keluar ke teras gedung saat pintu kaca otomatis itu membuka dan memberinya ruang untuk menikmati dinginnya angin senja yang mengisi latar kelabu di hadapannya.
Ekor sepeda mini itu menyisakan kerlipan aneh, pantulan dari sisa matahari terbenam yang mengintip dari celah gumpalan awan kelabu, saat akhirnya kesadaran kembali menderas mengisi benaknya lewat sebuah tepukan pelan namun tegas di bahunya. Seulas senyum hangat yang telah menghiasi harinya belakangan ini muncul ketika ia menoleh pada sosok yang menepuk bahunya tadi.
Guratan lelah tak mampu menyembunyikan pancaran ketertarikan dan kekaguman di mata lelaki itu saat menatapnya. Padahal ia tak mampu membalas dengan intensitas yang sama. Ia belum sanggup.
“Yudhis..” bibirnya dengan lirih berbisik. Reflek.
Senyum lelaki yang dipanggil Yudhis itu makin merekah mendengar sapaan cepat itu. Membuatnya merasa familiar di mata si gadis.
“Pulang bareng, Kania…” ajak Yudhis tanpa basa-basi sedetik kemudian.
Ia, Kania, tertegun sejenak. Sambil menoleh ke spot terakhir bayangan gadis kusam bersepeda mini bisa dilihatnya. Bayangan itu menghilang. Tentu. Kenyataan menelannya kembali dan menaruhnya ke tempat yang seharusnya. Sosok dirinya di masa lalu.
“Kania…?”
“Ya?”
“Mau pulang bareng?” Yudhis menegaskan ajakannya melihat gestur Kania yang ambigu.
Sekali lagi mata Kania tertumbuk pada pancaran penuh harap yang menjulang di depannya. Tapi bayangan yang mengetuknya tadi membuat Kania mengingat sebuah tempat yang lama tidak ia kunjungi. Dan hatinya tergerak untuk berkunjung senja ini. Itu berarti Kania harus menolak ajakan Yudhis. Ya.
“Kita bisa makan malam dulu sebelum balik. Dan cari kado. Kamu ingin hadiah apa? Nggak apa, kan, kalau aku kasih lebih awal, dan tanpa kejutan?” Yudhis mencoba meyakinkan Kania lagi. Membuahkan kedipan terkejut dari gadis itu. Bertanya-tanya kado apa yang Yudhis maksud.
“Kado??” tanya Kania bingung.
“Besok? April? Dua puluh?” pancing Yudhis, mengira Kania pura-pura lupa. Tapi melihat rona bingung Kania yang tak juga hilang Yudhis akhirnya mengerti, “ya ampun Kania. Bukannya dua puluh April itu hari Ulang tahunmu, ya?”
Tatapan bingun Kania berangsur menghilang, walau ia masih tidak yakin kalau tanggal itulah yang akan menyongsongnya besok. Apakah aktivitas dan kesibukan pekerjaannya terlalu menyita perhatian Kania hingga ia amnesia hari? Kania menghela nafas, mulai mencerna maksud ajakan Yudhis.
“Maaf. Lain kali, ya, Yud..” tolak Kania halus.
Kedua alis Yudhis berkerut, bertemu di satu titik di awal lekukan tulang hidung. “Kamu ada acara lain?” ia bertanya ragu, ingin tahu namun di saat yang sama khawatir dicap terlalu ikut campur.
Kania tersenyum mengerti, ia lalu menggeleng pelan dan mulai melangkah menembus gerimis.
“Sampai nanti, Yudhis…”
Lambaian singkat jemari Kania adalah hal terakhir yang Yudhis tatap sebelum sosok ayu itu menghilang di tikungan jalan.
“Sampai nanti, Kania. Selamat Ulang Tahun…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya beranjak pergi.

Jumat, 09 Juli 2010

dawai pagi

fajar baru sejenak menghilang

memberi kesempatan pada gradasi emas

yang hendak nampak

di sisi siluet pagi yang ajaib

..

matanya tersaput kabut
bening

namun berair
dan sayu

bagai sebuah kehidupan terpuruk disana
meluncur turun
hingga tersuruk
di atas tanah

menelungkup keperihan
dengan jemari yang tertekuk memohon pegangan

..

jangan tertipu

dia masih tegak berdiri

di atas tanah
menatap siluet pagi

dengan ketegaran yang tersisa

tabuh rindu

pijar bintang terakhir itu memudar

bersamaan kerjapan cahaya

yang mendadak kembali

muncul.. mempertegas kekosongan

di hatinya

he needs his girl..

Kamis, 01 Juli 2010

he sent a letter for me

A Letter from Adam Young

Dearest friends,

Where do I even begin?

Though it seems like it happened yesterday, an entire year has passed since I put out Ocean Eyes and I cannot begin to tell you how amazed I am due to all that has happened between then and now. A tremendous amount of asphalt has passed under the tires, a lot of miles put on the odometer and a lot of marvelous memories made along the way. It's an overwhelming, invigorating feeling that can't even be put into words. I catch myself thinking about the future often and I truly couldn't be more excited. I've been immensely blessed by each and every opportunity I've had via Owl City and your endless support only continues to encourage me. I wholeheartedly cannot thank you enough.

Thus far, I've been quite a busy bee this summer, hidden away in the cavelike warmth of my basement, working like a mad scientist on the next Owl City record and I absolutely cannot wait for you to hear it. Things are coming together nicely but there's still a lot of work to be done.

However, there's something I'd like to share with you in the meantime.

Three and a half years ago, I recorded a collection of songs in my parent's basement during the bleary-eyed hours of night when sleep and I could not bring ourselves to meet. I was a metalworker, working 6 AM to 4 PM at a warehouse in my little southern Minnesota town. I was writing, creating, thinking, imagining and breathing music with every second I had to spare. Music has always been my dream, but at that point in time, it was merely a feather tossed to the wind. Regardless, my spirits were far from dampened and I created music as fast and as furiously as I could. In my little basement bedroom, I had an old Dell computer, Reason 2.5, a friend's borrowed Behringer C-1 condenser, a Behringer 8 channel analog mixer and my uncle's old Alvarez. I didn't have a clue what I was doing but I was a dreamer and music was my escape so I gave it everything I had. Never expecting my music to be heard anywhere but by my parents through the floorboards above, I wrote for my own ears. I was both artist and audience and I called myself Sky Sailing.

I've kept these recordings secret for a long time and they've never seen the light of day until now. Long before Owl City was ever a spark of a flame, a lot of blue-collared working days were spent absentmindedly daydreaming about what would ultimately become this collection of songs. From the perfectionist musician's perspective, a song is never truly "finished" but rather "abandoned" and thus, after a lot of inspiration and reckless experimentation, I emerged from the basement with a 11 song record which I affectionately entitled, An Airplane Carried Me To Bed.

This album is a step into the past, the documented account of a shy boy from Minnesota with more hopes and dreams than he knew what to do with. When you listen to this record, you can hear naivety, innocence, inexperience and the wide-eyed imaginings of a wishful thinker. It's both light and dark, optimistic and melancholy. Unpolished and dusty, it's an antique and therefore holds a truly unique and graceful aesthetic within. Though there has always been just one artist behind the music, before there was Owl City there was Sky Sailing and I consider it a great honor to finally find this opportunity to share it with you. I hope you enjoy it as much as I enjoyed creating it.

If by chance you ever feel as though you've come to know these songs or empathize with the emotions therein, please consider yourself a friend of mine because in a manner of speaking, you know me. As the saying goes, one can truly glimpse the artist through his/her art, and that expression certainly proves faithful in my case. This music is my heart and soul. This is who I am.

With that being said, I am so very glad to meet you.

With all due respect,

Adam Young

Rabu, 30 Juni 2010

At the end of June


Au revoir June..

At the beginning of Summer that i always long for..

i love you

Selasa, 22 Juni 2010

fake laugh

you made me laugh
today

from your words, your attitudes and jokes

but that did not give such comfort

i feel like i laughed a fake laugh

unlike another one
who is only making me smile
but it is a pure one
from the very deep of my heart

because i am sick
and he is my only healing

Senin, 21 Juni 2010

my gravity

I will clung to your neck
tightly
when you offer a hug to me

or else
i'll fall recklessly

because you are the center
of my gravity

Sabtu, 19 Juni 2010

Terkoneksi

Awal Oktober,
Arya lupa memperhitungkan ini saat mengiyakan tawaran untuk homestay selama seminggu di Belfast, Irlandia Utara.
Dan kenapa juga dia harus keluyuran jauh-jauh ke wilayah yang katanya jadi timur-tengahnya Great Britain, dalam pengertian bukan penghasil minyaknya, melainkan konfliknya, markas gerakan separatis IRA yang mati-matian ingin pisah dari kerajaan Inggris, seperti gerakan Papua Merdeka di Indonesia?
Tidak ada keingintahuan khusus tentang Negara ini. Awalnya dia jiper juga saat lembaga pendidikan yang mengurusi homestaynya mengalihkan host homestaynya pada sebuah keluarga di Belfast, setelah host di Manchester, tempat dia homestay dalam rencana semula, tiba-tiba membatalkan kesediaan menjadi host family karena suatu hal. Apalagi dari apa yang dia baca di The Patriot nya Tom Clancy, novel spionase dengan Jack Ryan sebagai karakter utamanya, IRA-IRA atau apapun jenis gerakan separatis di North Ireland ini cukup ekstrem bila beraksi di tanah air mereka. Tapi panduan wisata yang dia baca setelahnya bikin Arya berubah pikiran. Iming-iming akan keindahan alam Giant Causeway yang katanya saingan Bali banget, bikin dia mengiyakan tawaran pengalihan ini, walau dengan wanti-wanti bejibun yang diberikan Mama.
Kembali ke persoalan semula, Arya lupa satu hal.
Pertengahan musim gugur begini, hujan sedang giat-giatnya menyatroni kawasan Eropa Barat, tak terkecuali Irlandia Utara. Dan karena sebab itulah, rencana-rencana, yang pada awalnya Arya pikir brilian dan akan berjalan sangat mulus, harus tersendat-sendat dihadang hujan.
Ini hari keempat homestaynya. Hari pertama mulus, tapi tidak dengan hari kedua dan ketiga. Kacau, cuma itu yang bisa mendefinisikan.
Basah kuyup saat hiking ke gunung Mourne, dan stuck seharian di Londonderry keesokkan harinya Arya rasa cukup mewakili. Walaupun Arya tak menyangkal juga bahwa ia cukup menikmati aura ‘abad pertengahan’ yang begitu kental mengecap di kota ini.
Dan hari ini rasanya akan berakhir seperti kemarin.
Setelah pagi-pagi jogging sekalian mengantar Mrs.Ennis, host-nya pergi ke public market setempat lalu ngobrol-ngobrol sebentar dengan warga yang ramahnya bukan main di kedai kopi, Arya kira cuaca cerah nan indah pagi itu bakal berlanjut seharian.
Well, kompetisi besar macam Wimbledon saja kadang di-cut di tengah pertandingan gara-gara hujan yang tiba-tiba datang. Seperti itulah gambaran cuaca hari ini. Sampai lewat tengah hari, hujan masih mengucur deras. Sepertinya di ujung langit sana sedang mengalami kebocoran atau apa.
Jadi disinilah ia, alih-alih jalan-jalan ke Giant Causeway, malah stuck di depan laptop, mengecek email sekalian nyicil laporan homestaynya.
Yang akhirnya malah membawa Arya mengingat beberapa hal sekaligus. Dan yang paling menyita pikirannya tiba saat kalender yang mojok di layar laptopnya mengedip-ngedipkan sebuah tanggal di akhir minggu ini. Tepat sehari sebelum homestay weeknya berakhir. Besok lusa.
Ulang tahun Keyla.
Shoot!! Kenapa dia bisa lupa, ya??
Mungkin karena peristiwa itu, yang terlalu menyita sebagian alam pikirnya hingga hal sepenting itu terlupakan.
Peristiwa itu …

...
Arya keluar dari kantor kepala sekolah dengan sumringah. Perizinan homestaynya sudah beres. Buktinya ada di tangan kirinya, terkepit. Tinggal memberitahu Keyla, itu yang sulit.
Memberitahu sekaligus meminta maaf karena merahasiakan hal ini darinya. Bukan apa-apa, dia hanya tak mau membebani Keyla dengan urusan homestaynya ini sejak Keyla harus diopname selama seminggu karena demam berdarah dan bed rest di rumah seminggu setelahnya. Arya pikir saat semuanya beres toh dia akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya, alasan dia tak mengajak Keyla berpusing ria mengurusi homestay stuff yang nggak gampang ini. Lagipula ini kan bukan minta putus atau apa. Dia hanya pergi homestay seminggu.
Belum sempat sampai ke kelas Keyla, langkahnya terhenti. Oleh Nuri, yang tanpa ada hujan badai, ujug-ujug berlari ke arahnya. Langsung memeluknya erat. Di koridor, saat jam istirahat, yang sedang rame-ramenya. Jelas muka Arya merah padam.
Ya ampun, Nuri apa-apaan sih?
Tapi belum juga Arya bertanya, Nuri sudah langsung nyerocos, “congrats ya, Aryaa. Akhirnya jadi juga kamu ke U.K !!”
Arya dengan susah payah melepaskan pelukan Nuri. Di sekelilingnya siswa-siswi yang sedang nongkrong di koridor riuh menyorakinya.
Nuri adalah teman sekelas Arya yang juga satu level dengannya di lembaga pendidikan bahasa asing di kotanya. Dan akhir-akhir ini, karena urusan homestay ini, mereka jadi sering tukar pikiran, lebih dekat. Tapi Arya sama sekali nggak menyangka kalau Nuri seofensif ini.
Ya ampun, untung Keyla nggak melihat ini, batinnya.
Belum sampai sedetik Arya menyuarakan itu dalam pikirannya, namanya dipanggil lagi.
“Aryaa..”
Ketika pandangan Arya teralih ke sumber suara yang memanggilnya, jantungnya serasa melorot ke perut.
Ternyata Tuhan nggak mendengar doanya. Karena di samping Ayu, sahabat Arya yang memanggilnya, Keyla juga menatap nanar.
Dan sepertinya melihat seluruh kejadian tadi.
Serta merta Arya membebaskan diri dari Nuri dan mengejar Keyla yang mulai berjalan menjauh.
Arya meraih bahu Keyla sesaat kemudian, berhasil membuatnya berbalik menghadapnya. Tapi ternyata Ayu nggak tinggal diam melihat ini. Langsung ditepisnya tangan Arya dari Keyla dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghadiahi dirinya dengan sebuah tamparan. Keras.
Ough! Sakit! Teriak Arya dalam hati. Masih meringis, ia mengelus pelan pipinya yang tadi ditampar, agak nggak terima.
Apa-apaan, batin Arya kesal, gue urusannya sama Keyla, bukan si Ayu. Kok, ini …
Keyla sendiri agak shock melihat ini.
“Eh, Yu. Jangan asal nabok orang, dong! Desis Arya pada Ayu, marah, “Apa urusan lo?”
“Ya, jangan kira walaupun Key lembek ngadepin elo, dia masih punya sahabat yang sanggup tegas. Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo. Eh, elonya malah main sama Nuri …” balas Ayu nggak kalah sengit.

Keyla jengah mendengar pertengkaran ini. Ini urusannya dengan Arya. Harus diselesaikannya berdua.
Keyla menarik tangan Ayu, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Sudah cukup mereka jadi tontonan gratis anak-anak lain.
Sebelum benar-benar berlalu, Keyla menatap Arya, “kita bicara nanti. Berdua.” Katanya pelan dengan raut lelah yang luput dari pandangan Arya yang masih diliputi emosi.
Sayang sepulang sekolah Arya mendengar kabar Keyla izin pulang lebih awal karena sakit.
Dan mereka belum benar-benar bicara sejak itu.

...
Mereka belum benar-benar bicara sejak itu.
Arya mendesah pelan. Kata-kata Ayu kembali terngiang di otaknya.
“Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo ...”
Jeez. Arya baru sadar kalau dirinya terlampau emosi untuk bisa melihat raut lelah itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otaknya. Kenapa Key diam saja saat itu? Dirinya mungkin lebih memilih ditabok atau diteriaki Key habis-habisan saat itu, daripada harus melihatnya terdiam sulit diartikan. Sudah lelahkah Key pada hubungan ini? Pada dirinya? Andai dari awal ia menjelaskan semuanya pada Key, apa yang bakal terjadi?
Tok. Tok.
Lamunannya terpecah oleh suara Mrs. Ennis yang memanggilnya untuk acara minum teh sore.
...
Angin musim gugur yang dingin menerpa tubuh Arya. Pipinya kebas, serasa disiram air dari pendingin. Buat orang tropis seperti dia, angin laut nan menusuk ini sangat membekukan.
Akhirnya setelah tertunda, terwujud juga keinginannya mengunjungi Giant Causeway, pantai dengan 38.000 batu karang berbentuk segi enam tertata rapi, alami bukan dibentuk oleh manusia.
Cantik, tapi sayang ...
“Seharusnya kamu datang saat summer. Cuaca sangat lebih bersahabat saat itu .. ” seru seseorang, menyuarakan pikirannya yang belum sempat terlisankan.
Arya menoleh dan melihat seseorang seumurannya sedang berjalan ke arahnya. Walaupun sepintas cowok itu terlihat lebih jangkung dan kurus ketimbang dirinya.
“Peter Corr” katanya memperkenalkan diri sewaktu sampai di dekat Arya, “kamu sepertinya baru disini, turis, eh?”
“Aryaduta Syahrir” balas Arya, “host program. Yeah, mungkin aku salah pilih waktu datang kesini. Walaupun begitu, tetap terlihat cantik ya ..”
Peter Corr mengangguk, mengiyakan, “biru kehijauan. Ya, cantik tapi mematikan. Aku bertaruh kau tidak akan sanggup berenang disana bahkan untuk satu menit saja. Dan, kau terlihat sangat Asia, darimana? Singapura? Malaysia?”
“Indonesia. Kau tinggal di sekitar sini, Pete?”
Peter berdecak, “Hmm, Bali. Indonesia bukan?”
Arya batal mengoreksi bahwa dirinya bukan dari Bali. Sebagai gantinya Arya hanya mengangguk. Selalu Bali. Iconic sekali pulau itu.
“Hey, daripada kau mati membeku disini, ayo ikut aku ke Portrush, rumahku disana. Mungkin kita bisa ngobrol lebih banyak. Lihat, sebentar lagi hujan turun.”
Arya pun mengekor Peter pergi.

Beberapa jam kemudian, Arya masih asyik ngadem di kedai kopi milik ayah Peter yang sekaligus juga merangkap toko cinderamata.
“Orang-orang disini sangat warm ..” puji Arya, “aku kira sebelumnya ..”
“Perang dan perselisihan panjang cuma bawa rugi dan citra negatif..” potong Peter, mengerti arah perkataan Arya selanjutnya, “entah apa yang diberitakan sekarang yang kau dengar tentang kami, tapi semua berubah, kami ingin tumbuh lebih baik, lebih besar, seperti Dublin.”
Arya mengangguk setuju. Pada awalnya ia khawatir kata-katanya akan menyinggung perasaan Peter. North Ireland memang terlalu cantik untuk digunakan sebagai medan pertempuran. Ia lalu menyesap kopinya yang mulai mendingin. Sayup, dari belakang kedai kopi ia mendengar lagu breakeven, yang dinyanyikan The Script, band yang juga berasal dari Irlandia.
“The Script, eh?” Tanya Arya memastikan, dia memang nggak hapal-hapal banget sebenarnya.
“Yeah. Aku suka band itu. Unik dan beberapa lirik di lagu mereka sangat irish sekali, walau settingnya bukan disini tapi Dublin.”
Breakeven selesai, digantikan sebuah lagu yang masih asing di telinga Arya.
Dan pertanyaan selanjutnya yang hendak ia ajukan pada Peter mendadak sirna saat lagu itu mengumandangkan sebuah nama.
‘ .. if you see my friend, doesn’t matter where or when, tell me if you see Kay ..’
“Key ...” Arya menggumam.
“If you see Kay”, Peter mengoreksi, “K-A-Y, kau suka? Ah, cewek, kan? Aku sudah menduga dari awal melihatmu di pantai. Pasti tentang cinta sampai kau harus kabur kemari di musim gugur.”
Arya tidak menjawab. Namun senyum kecil yang menghias bibirnya cukup menjawab keingintahuan Peter. Sementara itu, Arya makin asyik mencerna lagu itu lebih dalam.
‘ .. cause I’m gonna shout it out to everyone I, everyone I meet, if you see Kay, will you tell her that I love her, oh yeah? And if you see Kay let her know I want her back. If she listens, say I miss her, everything about her ..”
Arya menyesap sisa kopi terakhir di cangkir kopinya. Sementara hari mulai gelap, gerimis masih asyik bergemericik, menciptakan melodi baru mengiringi lantunan the Script dalam kedai kopi yang kini benderang namun sepi. Mempertegas aura melankoli yang bagi Arya malah membuatnya merasa terhubung dengan Key.
Awalnya ia memang ragu dapat menikmati acara homestay di tengah distraksi antara ia dan Key memuncak. Dari sini ia belajar, berubah. Sulit untuk merubah citra saat orang-orang cenderung menganggap kita dengan stereotype tertentu. Seperti masyarakat North Ireland ini. Tapi setidaknya usaha patut dicoba.
Dulu, ia percaya magical words in the last minutes itu tokcer sekali. Dan itu bisa diterapkan padanya dan Key. Tapi inti dari sebuah hubungan adalah kesepahaman yang dapat dimunculkan lewat komunikasi. Tapi bukan yang searah. Ia ingin Key mengerti kalau keputusan Arya tidak diambil berdasarkan ego semata. Ini murni karena dirinya.
Hmm, Arya berharap di Jakarta sana Key juga bisa mendengar gerimis yang sama, lagu yang sama, mendengar perasaannya, permintaan maafnya. Membuatnya terkoneksi.

Percakapan hangat dengan Peter berakhir saat Mr dan Mrs. Ennis muncul dengan van tua mereka di depan kedai kopi. Menjemput Arya yang sejam sebelumnya mengabarkan keberadaannya pada mereka.
Di dalam van, Arya log in sebentar ke situs facebook untuk mengupdate statusnya.

Arya it’s raining in the rest of the day here in north Ireland, wishes you were here ..

Di bawah status yang baru diperbaharui, sebuah status lain muncul, hanya berselang 8 detik.

Keyla gerimis mulu di Jakarta spanjang hari, kangen seseorang ..

Kehangatan yang nyaman meliputi Arya saat menyadari statusnya persis dengan Key. Tanpa mereka rencanakan sebelumnya. Dan ini membuat Arya membulatkan tekad, bila ingin memperbaiki ini ia harus memilih, now or never, there is no later ...
Dibukanya profil Key dan pada wall-nya ia tulis sesuatu.

Guess we’re connected, by the way. Get better? Need to talk to u. asap. Miss u.

Dan tak berapa lama. Postingan baru muncul di wall-nya. Dari Keyla.

Gimana Belfast? Iya nih, hujan. Nggak bisa maen kemana-mana. Lagi denger the script-nya mas Han aja di kamer. Feels like one of their songs is your apology. He2 :p yah,let’s talk. A lot. Miss u 2. connected? Hmm, feel so ... cepet balik ya.

The script? One of their songs is my apology.
Arya tersenyum. Sepertinya ia tahu yang mana.

Kamis, 17 Juni 2010

untuk sahabat

"Bagaimanapun, intinya adalah, aku tidak ingin menjadi salah satu di antara sekian banyak orang yang begitu gampang dilupakan, yang dulu pernah begitu penting, begitu istimewa, begitu berpengaruh, begitu dihargai, namun beberapa tahun kemudian hanya berupa seraut wajah samar dan ingatan kabur. Aku ingin kita bersahabat selamanya, Alex."
- Rosie Dunne, Where Rainbow Ends : 35.

Selasa, 15 Juni 2010

Wish you were here

Senja turun memayungi lembah yang Keita pandangi di beranda belakang. Sinar jingganya memunculkan gradasi warna menakjubkan di angkasa, yang kala turun ke bumi menyatu dengan hamparan hijau kebun sayur mayur dan ratusan polybag strawberry, memberikan nuansa temaram indah di tengah akhir sore yang dingin. Betapa pemandangan yang terlalu breathtaking untuk dinikmati sendiri.
Dua pasang langkah kaki mendekat di belakang Keita. Tak perlu menoleh ia tahu bahwa sepasang langkah berat Jandi dan sepasang lagi milik Adisti sedang mengendap di belakangnya.
“Hai!” Adisti merangkul pinggangnya dari belakang, “kalkulasi untung rugi, Mr.Businessman?”
Jandi terkekeh mendengar kelakar Adisti. Mereka berdua baru kembali dari hiking singkat di hutan cemara tak jauh dari rumah peristirahatan yang Keita dan Jandi beli untuk sekalian mereka gunakan sebagai kantor bila mereka datang ke Kalinggar untuk menengok perkebunan dan ladang strawberry mereka.
“Heran, deh. Selama di sini sepertinya hobi kamu ngelamun di belakang selalu. Gue tahu pemandangannya indah, Kei. Mbok ya bagi-bagi gitu..” Adisti menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jandi mengangguk-angguk mengiyakan. Keita tahu Jandi juga sebenarnya concern akan kebiasaannya yang sedikit aneh bila di sini. Dengan atau tanpa kehadiran Adisti, Jandi tahu kalau beranda belakang adalah sangtuari Keita selain kamar kerjanya.
Suara ban yang beradu dengan kerikil di jalanan depan rumah peristirahatan mereka mendistraksi sejenak perhatian ketiganya. Jandi dan keita berpandangan mengerti sementara Adisti melongokkan kepala ke jalan setapak di samping rumah, mencoba mencari tahu mobil siapa yang mendekat sore-sore begini. Seingatnya petugas perkebunan sudah kembali ke rumah masing-masing selepas mengantar dirinya dan Jandi hiking.
“Wow. Ada Benz SUV parkir di depan rumah lo, Kei..” Adisti bersiul pelan.
Jandi mendahului masuk ke dalam untuk menyambut kedatangan tamu mereka. Sementara Keita mendekat ke tempat Adisti berdiri mengagumi SUV mewah yang nongkrong di pelataran depan.
“Yuk, Disti, aku kenalin sama yang punya tuh mobil.”
Disti meraih siku Keita dan menariknya ke dalam sambil melonjak riang.
“Ayo Kei, kenalin aku!! Kali aja aku dapet kesempatan buat jalan-jalan sama tuh silver..”
Keita beranjak ke dalam, meninggalkan sangtuari sorenya.
-


Seperti yang direncanakan sebelumnya, Willy, sang pemilik SUV silver, dan Anjani akan datang untuk melihat ladang perkebunan sore ini. Willy sudah sejak lama tertarik dengan bisnis agrikultur dan begitu Keita menawarkan kesempatan untuk bekerjasama, Willy tidak menyia-nyiakannya sedetikpun. Dua bulan terakhir ini ia hanya mengikuti perkembangan bisnisnya ini lewat komunikasi dengan Keita atau Jandi, hingga baru kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat dan memantau langsung ladangnya.
Willy sudah diperingatkan oleh Keita bahwa udara akan menusuk bila malam tiba, apalagi bila malam berkabut, yang sialnya hampir tiap hari, datang. Meski begitu Willy tetap membandel dengan membawa sehelai sweter rajut tipis dan jaket biasa.
Akibatnya, gemeletuk giginya tak terhindarkan saat mereka melangkah ke luar seusai makan malam untuk melihat separuh lembah perkebunan dari beranda belakang.
Anjani, kekasih Willy, tak sanggup menahan tawa melihat Willy sibuk merapatkan jaket pinjaman dari keita untuk mengusir hawa dingin.
“Udah dibilangin, juga..” goda Anjani, “kekeuh aja cuma bawa sweter doang. Biasa pepanasan di Cirebon, tahu rasa deh naik gunung begini.”
Willy manyun. Ia sadar saran Anjani sebelum mereka berangkat untuk membawa lebih banyak baju hangat sangat tepat, sayang ia tak menghiraukannya. Ia meraih telapak tangan Anjani dan menyatukan telapak tangannya sendiri di sana, coba menghangatkan kulit yang mendingin di sana. Antara kaget dan tersipu, Anjani membuang pandangannya ke samping.
Keita memandangi keduanya dengan iri. Ia mendambakan melakukan hal itu dengan seseorang juga sebenarnya.
“Hot chocolate, guys!!” Adisti muncul dengan membawa senampan cangkir mengepul dan aroma cokelat panas yang bikin air liur menetes. Jandi menyusul di belakang Adisti dengan sepiring pisang goreng di satu tangan dan mangkuk ubi bakar di tangan yang lain.
Anjani melepaskan genggaman Willy tiba-tiba dan menyongsong Jandi untuk membantunya membawa salah satu piring. Willy merengut kesal melihatnya.
“Heran, ya.. baru juga makan tadi. tapi tetep aja ngiler liat cokelat panas sama pisang goreng. Alamat ngelonjak deh, timbangan gue!” Adisti berseloroh.
Anjani memekik mengiyakan. Sementara dua gadis itu tertawa, para cowok memutar bola mata, meneriakkan ‘typical!’ dari tatapan mereka.
“Widya kesini juga, Kei. Besok sepertinya. Dia juga pingin lihat lokasinya. Yah, gue kan patungan sama dia. Moga-moga kalian nggak keberatan, ya..” ucap Willy, lebih segar setelah menyeruput Hot Chocolate-nya.
Keita dan Jandi menggeleng bersamaan.
“Lahan ini kan, punya kalian juga..” Jandi kali ini angkat suara, “tentu dengan senang hati kita sambut..”
Willy dan Anjani berpandangan sambil nyengir lebar, lalu mengangguk-angguk seperti bertukar kode rahasia dengan satu sama lain
Keita menatapnya curiga namun tidak berkata apa-apa lagi saat Adisti mulai mengoceh pada Willy dan Anjani tentang hiking singkat dengan Jandi di hutan Cemara. Segera saja ajakan Adisti untuk meneruskan hiking disetujui bulat-bulat oleh sejoli itu. Mereka berdua akan ikut hiking besok sore.
-




Seusai Subuh, Keita sudah menuju lembah untuk memantau ladang bersama salah satu pengawas perkebunannya, Bapak Narma. Tanah-tanah di antara tanaman polybag masih terlihat lembap karena penyiraman yang dilakukan semalam. Pengairan untuk kebun yang ia kelola ini memang dilakukan pada malam hari sesuai saran dari penasehat pertaniannya.
Keita dan Pak Narma asyik berdiskusi tentang kemungkinan sumber air tambahan dan pembuatan pagar baru di sisi selatan lahan saat sinar keemasan perlahan mengintip dari batas cakrawala.
Ini adalah momen menakjubkan lain yang enggan Keita lewatkan. Matahari terbit. Memang berbeda dengan sunrise yang biasa dilihatnya di sisi pantai. Tanpa bayang-bayang keemasan yang memantul di perairan, matahari terbit di ujung lembah memang memiliki pesonanya tersendiri. Seperti senja, sinar keemasannya perlahan muncul dan menyatu dengan hamparan hijau perkebunan. Seolah sinar itu merayap jengkal demi jengkal hingga seluruh lembah terang seluruhnya. Pemandangan tetes-tetes embun yang jatuh dari ujung daun mungil yang menyembul di atas polybag atau pucuk daun bawang dan tanah lembap yang berkilau diterpa sinar pertama, seharusnya menjadi hal yang dibagi dengan sosok-sosok terkasih. Hmm, andai Anjani dan Willy bisa bangun lebih awal, mereka pasti jadi salah satu pasangan paling beruntung bisa berbagi hal yang memesona seperti ini berdua.
Tak lama kemudian, Keita mohon diri dari Pak Narma untuk kembali ke rumah, menyiapkan sarapan.
-


Keita sekali lagi memutuskan untuk tidak ikut hiking ke hutan cemara, dan membiarkan Jandi yang menemani mereka. Keita berkilah akan menyiapkan peralatan untuk barbeque untuk makan malam nanti. Seperti yang Willy katakan kemarin, sore ini Widya, yang mungkin akan datang bersama Danar, bakal tiba.
Sejoli lain, Keita mendesah dalam hati. Ia menyiapkan dirinya lagi untuk merasa iri. walau ia tak perlu sebenarnya, mengingat Adisti sudah berbaik hati mengajukan diri untuk ikut bersamanya dan Jandi mengunjungi perkebunan yang ia kelola.
Ia seharusnya bisa memanfaatkan momen ini untuk lebih dekat dengan Adisti. Namun yang terjadi malah, Jandi yang menggantikan posisinya untuk menemani gadis itu.
Panggangan, meja, kursi-kursi rotan dan satu set peralatan makan sudah ia tata di pelataran belakang dengan bantuan Ceu Ayoh, pengurus rumah tangga yang ia pekerjakan untuk merawat rumah peristirahatannya.
Selesai mengeset tempat dan memberitahu bahwa seluruh makanan sudah disimpan dalam kulkas, Ceu Ayoh mohon diri dan berjanji untuk kembali esok pagi-pagi sekali.
Keita meraih sebuah buku yang tergeletak di kursi malasnya di beranda belakang, sangtuari senjanya. Ia lelah, namun tak sampai membutuhkan istirahat dalam, sedikit merebah sudah cukup.
Angin sepoi yang dingin membelai, membuatnya mengantuk dan mengabaikan buku yang sedang dibacanya. Sambil menyesap udara dingin pegunungan, Keita terpejam, menanti delusi yang biasanya muncul pada momen-momen seperti ini. Kehadiran seseorang. Bayangan seseorang, lebih tepatnya.
Kadang, bila sedang ngadem sore-sore begini, Keita merasa ia berhalusinasi Aira muncul di sampingnya. Sekedar duduk diam di sisinya, menemaninya. Awalnya Keita bergidik dan merinding sesekali, namun setelahnya, ia malah jadi terbiasa dan merasa nyaman karena ia tahu sosok yang paling ia sayang datang dan mengisi kesendiriannya walau hanya dalam ilusi semata. Tuhan, Keita kadang merasa dirinya sudah gila kronis, merasa aman ditemani sosok ilusi seseorang yang sudah meninggal.
Kali ini, di tengah kantuk yang perlahan menyerangnya, sosok ilusi itu datang lagi. Keita seperti mampu melihat Aira berdiri tersenyum menatapnya. Seperti biasa, bayangan itu mendekat dan duduk di sampingnya.
Kamu datang lagi Aira, benak keita coba bersuara.
Sosok bayangan itu menoleh, ayu dan pucat transparan, iya, Kei. Kamu nggak kangen?
Keita mendesah, sepertinya ia benar-benar sudah tidak waras, berkomunikasi dengan hantu…
“kangen..” bisik Keita pelan.
Bayangan Aira tersenyum mendengarnya, namun seperti mampu membaca pikiran Keita, bayangan itu mendekat ke sisi wajahnya, siap balas berbisik, “Nggak, Kei, kamu nggak kangen aku, silly. Kamu kangen Alena. Senang mendengar akal sehat kamu sudah kembali. Sebentar lagi tugasku bakal selesai. Admit it, kei!”
Keita mendesah berat, tanpa sadar ia mengangguk pelan, mengiyakan ucapan bayangan Aira.
Udara dingin menyapu wajah Keita seraya bayangan Aira menunduk untuk mengecup pipinya, “Have a nice evening, Kei..”
Keita terpejam saat merasakan bayangan Aira mulai menjauh. Hening senja sekali lagi menyelimuti. Hanya Keita, langit sore, dan rasa kangen yang coba ia akui.
Wish you were here, Alena, Keita membatin penuh rindu.
-


Kesadarannya kembali muncul di permukaan saat bahunya digoncang. Adisti duduk di sampingnya saat Keita membuka mata.
“Hey, sleeping beauty!” goda Adisti sambil menjawil pelan lengan atas Keita, “padahal belum aku cium tapi kamu udah keburu bangun.”
“Hehe, gimana hiking-nya?” tanya Keita sambil bangkit duduk berhadapan dengan Adisti.
Gadis itu mengangguk-angguk semangat, “Seru! Seru! Sayang elo nggak ikut Kei. Kita nyobain rute baru, tau!”
“Gue nyiapin barbeque, Dis..”
“Ya, I see that..” katanya sambil melirik ke arah panggangan dan meja kayu di tengah halaman.
“Umm Kei..”
“Hmm..” gumam Keita sambil memungut buku yang ternyata terjatuh ke lantai saat ia tertidur tadi. Mata Adisti menatapnya lekat saat ia mendongak.
“I wish you were here.”
Keita tercekat. Ia mengharapkan kata-kata itu terucap untuk seseorang. Tapi bukan gadis yang duduk di hadapannya ini. Dan mendapati Adisti mengucapkan kata-kata itu padanya begini, Keita jadi sedikit menyesal tidak mencoba tegas dengan perasaannya sejak dulu. Ia khawatir satu hati lagi tersakiti akibat ini.
“I am here, Disti..” bisik Keita pelan, sambil menoleh, menolak menatap mata yang mungkin akan ia sakiti nanti.
“ya, physically. But your mind’s not here. It’s out there. Kei.. gue disini buat elo, tahu..” Disti tersenyum pahit, mengakui.
Sekali lagi Keita kelu. Ia bingung harus bicara apa. ‘Makasih Disti, gue hargain banget usaha lo, tapi sayang pikiran gue kayaknya udah dipenuhin sama cewek laen tuh!’ huh, memikirkan kata-kata itu terucapkan saja sudah bikin Keita mual.
Melihat Keita terdiam begitu, Disti bangkit berdiri, “Anyway, liburannya menyenangkan kok. Thanks udah memperbolehkan gue ikut kesini. Yuk, Kei ke halaman, sebentar lagi yang lain keluar nyusul.”
Mereka baru beranjak menuruni tangga kecil di sisi beranda saat Adisti menahan siku Keita. “Tapi ingat ya, Kei, aku orangnya pantang menyerah, lho!”
Keita menelan ludah, bingung harus menjawab apa lagi, ia hanya mampu menggumam, “aku lupa! Aku ambil daging sama sayurannya dulu di dalam, ya..”
-


Aroma khas daging panggang menguar di senja temaram yang biasanya Keita nikmati sendiri. Ia dan Jandi kebagian tugas memanggang potongan-potongan daging yang sudah dipersiapkan Ceu Ayoh untuk acara barbeque sederhana ini. Sementara Adisti dan Anjani membuat lalapan, sambal dan mempersiapkan buah. Willy memilih membuat minuman untuk mereka berlima dan rombongan Widya yang berencana datang sore itu.
“Widya kok belum nyampe juga ya?” gumam Willy saat menuangkan cokelat hangat ke lima cangkir yang sudah di tata di atas meja rotan.
Anjani menyodorkan potongan apel ke arah Disti untuk disusun dalam piring buah, ia mengangkat bahu, “nyasar kali! Kita kan juga hampir nyasar pas kesini kemarin. Ditambah Danar kan nggak bener-bener paham medan jalan. Pasti agak kesulitan deh..”
“Mereka berdua aja?” Tanya Jandi sambil membawa potongan daging yang telah selesai dipanggang ke atas meja.
Willy dan Anjani berpandangan, masing-masing seperti menahan senyum. “sepertinya sih, begitu..” ucap Anjani kemudian.
Tak sampai 5 menit kemudian, deru ban menerjang kerikil yang disusul bunyi klakson terdengar menandakan rombongan Widya yang mereka tunggu sudah tiba. Anjani dan Willy dengan semangat bangkit dan beranjak menuju pelataran depan lewat jalan setapak kecil di sisi rumah peristirahatan, untuk menyambut Widya.
Suara ceriwis Widya membahana tak lama kemudian saat ketiganya kembali ke halaman belakang tempat barbeque diadakan.
“Gue makan dulu aja, ah! Capek banget tahu! Hampir nyasar tadi! Kita buta banget daerah sini. Mana jalanannya meliuk-liuk nanjak sempit pula! Aaahhh!! Barbeque!!”
Keita yang baru selesai menutup panggangan geleng-geleng kepala melihat polah khas teman lamanya ini.
“Ck..ck..ck.. Widya…”
Setengah berlari Widya mendekat ke tempat Keita berdiri, “Hai Kei!! Gue kebagian nggak nih?”
Keita berdecak, “Ampun deh, Wid. Elo baru datang tahu! Mandi dulu napa!”
“Dan kehilangan jatah makan gue diembat dia?” Widya menunjuk ke arah Willy, “Hm, sorry!”
Willy manyun melempar pandangan sebal pada sepupunya yang satu itu, Anjani harus setengah menyeretnya kembali ke meja makan.
“Kei, makasih ya, kita udah boleh ikut kemari..” ucap Widya tulus.
Keita merangkul bahu Widya, berjalan beriringan ke arah meja menyusul Willy dan Anjani, “ini punya elo juga kok. By the way, Danar mana?”
“Di belakang. Ngambil barang bawaan. Umm, Kei, selain Danar, gue bawa satu orang lagi. Gue harap elo nggak keberatan, ya…” pinta Widya agak ragu sambil melirik ke arah Adisti.
Kening Keita berkerut, “siapa?”
“Hai, semua maaf lama..” sapa Danar saat muncul di pelataran belakang, memotong Widya yang belum sempat menjawab pertanyaan Keita, “Alena menggigil gitu jadi kita cari sweater dia sebentar..”
Keita spontan berbalik cepat mendengar nama itu disebutkan. Ia pikir ia hanya berhalusinasi saat Danar menyebutkan nama itu. Namun sosok yang berdiri di samping Danar, menenteng backpack dengan wajah sedikit pucat karena kedinginan tersenyum dan melambai kikuk Wajah yang telah ia kangeni belakangan ini.
“Hai.. di sini dingin banget ya..” ujar Alena sambil mendekat ke meja. Tatapannya bertemu dengan rona kaget Keita, “Hai, Kei…”
“Hai..” jawab Keita dengan sama kikuk, masih tak menyangka gadis itu ada di dekatnya sekarang. Ia bahkan tak sadar, piring daging panggang yang ia bawa sebelumnya telah diselamatkan seseorang dan kini nangkring dengan nyaman di tengah meja.
Ia jadi paham sekarang kenapa ada quote ‘be careful with what you wish for, cause you might get it all..’.
Ia patut khawatir kedatangan Alena bisa membuat Disti sangat sakit hati. Namun sisi baiknya adalah, harapannya untuk membagi pagi dan senja indahnya disini dengan seseorang sepertinya akan kesampaian.
“So glad to meet you, Alena..”
-




pictures taken from this

Jumat, 04 Juni 2010

Once again.. Owl City, dear friends..




This relates to my sterling-abnormal liking to Owl City's songs. To Adam Young's voice and words.

For quite long time i have been wondering why is it the reason of my desperate needs to hear Owl city's songs over and over again?

Well, what i got so far is that those rhythm and words rhyme remind me of imaginary things that i've been longing for so long..

Remind me of Narnia, lush tropical woods, green stepa with horses sprint around, snowflakes fall tinkle the delicate velvet coats, fairies sprawl upon tiny treehouse, ocean waves hitting the shores, blue skies, Alice and her wonderland, of little Sara..

of dreams
of missing love
of misery
of laughter
of useless hatred
of contentment
of luscious smiles
of memorable moments

of life.

Kamis, 03 Juni 2010

Hyrax

Kami terbentuk akibat represi zaman dan peradaban terhadap hak-hak yang lemah dan terpinggirkan. Kami menyusup lewat kanal-kanal sempit pori-pori tanah, lapisan semen tebal dan lembapnya malam di tengah rawa. Kami terbangun saat teriakan pilu ketidakadilan membahana. Kami datang tanpa suara, seperti kepakan sayap sang predator angkasa mengecap aroma mangsa. Kami selembut helai-helai bulu angsa yang bertebaran di lapisan tanah yang kasar, siap mengulurkan tangan dan berbagi pada siapapun yang membutuhkan. Kami memang terberai saat sinar tinggi di tengah hari. Namun kami serekat rantai titanium dalam kelam. Kami adalah hyrax, penentang ketidakadilan.

Jumat, 28 Mei 2010

about a dream

Saya bermimpi tentang hal yang aneh semalam..

Menjelang malam,tepat setelah maghrib dan mengaji tanpa sadar saya terlelap ketika menunggu isya. Dengan mengenakan mukena lengkap.

Saya bermimpi bahwa akhirnya saya mampu mengenali prioritas dalam keterbatasan. Bahwa saya akhirnya bisa memilih dan menunda membeli..

Dan saya juga akhirnya bermimpi tentang dia..

Sosok yang saya anggap jantung hati saya sekarang ini.. Satu-satunya yang mampu menggeser posisi kalqun dalam solar plexus saya.
Bahwa dia akhirnya mengenali kebutuhan saya untuk diperhatikan. Bahwa dia menyadari perasaan saya yang sebenarnya.

Dan ketika terbangun karena fireflies-Owlcity --yang sengaja saya pasang untuk nada pesan-- terdengar.. Saya mulai berpikir tentang pasangan hidup.. Pernikahan..
Topik yang sempat saya bincangkan bersama mba Dede beberapa jam sebelumnya.

Jadi,mimpi itu memang aneh.. Tapi setidaknya lewat mimpi itu saya sadar bahwa, secuek-cueknya saya, saya masih mempertimbangkan semua masukan. Baik-buruknya.
Bahwa saya tidaklah ignoran.

Dan jauh dalam hati saya, saya berharap mimpi itu adalah salah satu kejutan yang hidup persiapkan untuk saya..

Bahwa itu akan jadi nyata suatu hari nanti..

Sabtu, 22 Mei 2010

The twilight is no longer vanilla, it's now shadowed-blue grey..

Belakangan,langit senja kerap menyambut saya dengan warna itu. Menampilkan kemuraman yang sama yang seolah menaungi saya 2 hari terakhir ini..

Fluktuasi mood.. yang berubah dalam hitungan detik. Yang hanya mampu terobati saat saya berjingkrak pelan sambil meneriakkan bait Tip of Iceberg.. mengikuti beat yang dibuat pahlawan saya yang baru : Adam Young. (ex pegawai Coca cola warehouse dari Owatonna yang sekarang berkesempatan menjelajah samudera sambil memperdengarkan nada dan melodi yang menemaninya di kala insomnia)

kembali pada senja..

Biru membayang dalam gumpalan keabuan yang terkadang menyala terang saat percikan listrik berbeda kutub berbenturan di angkasa.

Sampai.. Saya setengah mengerti kenapa di dunia ini terdapat profesi penjelajah petir, orang-orang jenius yang sedikit nggak waras yang kerjaannya nguber-uber kilat..

Trust me, yesterday's lightnings were awesome..
Seperti ranting bercabang bercahaya yang Tuhan jatuhkan dari langit, menghias gumpalan awan pekat dengan nuansa emas yang hampir membutakan..

Mahasuci Allah, Mahabesar Ia..

Dan senja yang biru keabuan itu tiba-tiba mengingatkan saya tentang kekurangoptimisan dalam hari-hari perjalanan hidup saya belakangan.

Terkadang saya sibuk menoleh ke seluruh penjuru, mencari bentuk terbaik dari hidup yang ingin saya jalani.
Tanpa peduli bahwa ada syukur yang harus dipanjatkan atas rezeki lain yang jadi tak kasat mata.

Maafkan saya Tuhan, ingatkan saya terus jika saya mulai ragu dan salah melangkah.

Dulu,saya pernah mengalami senja yang vanilla.. yang bersinar terang dan menentramkan hati. Menggambarkan optimisme yang membentang.. menawarkan euforia hidup yang bisa saya kecap dengan manis.

Tapi cahaya vanilla itu seolah meredup hari demi hari, meninggalkan guratan biru samar keabuan dan ancaman akan kegelapan.

Jauh dalam hati, saya tidak ingin itu terjadi. Bahwa saya akan terus terpuruk memandang senja yang kelam.

Saya ingin warna yang menentramkan hati itu kembali.
Dalam doa, senyum dan sebuah usaha..

Hari ini saya melihat seberkas rona merah jambu menggaris di batas cakrawala. Samar. Hampir tertutupi gumpalan abu-abu yang muram.

Saya harap itu pertanda, akan awal munculnya warna-warna baru yang akan datang perlahan menghiasi langit senja yang saya cintai.
Memulasnya hingga ia kembali vanilla..
dan bercahaya.

Senin, 17 Mei 2010

Pagi, perjalanan dan owl city..

Pagi..

Abu-abu. Yang terbalut jubah putih dengan rona kebiruan yang bersembunyi di baliknya.
Sinar keemasan yang perlahan merayap di sisi awan.. Ingin menguar lepas. Menebarkan kehangatan.
Mengiringi senandung lamat Tip of Iceberg dan Meteor Shower Owl City yang jadi backsound perjalanan saya pagi ini.

Saya sedang jatuh cinta pada Owl City. Pada Adam Young.

Karena ia mengakomodasi saya untuk 'menari'.

Body and soul.

Kamis, 13 Mei 2010

In the rain

small raindrops stormed down to the uncovered skin

my umbrella hovered above my head, protecting

but it irresistanced of wind
the harsh one

swept my veil up and down, tickled my hair, brushing it wildly

i fear for lightning to come

though i fear dark the most

while it was grey all around, silent prayer was mumbled

i was torn

Rabu, 12 Mei 2010

membutuhkan kalian untuk membentuk dinding bata yang kokoh

salah seorang penulis Amerika Serikat (maaf,saya lupa namanya) bilang bahwa menulis tak ubahnya sebuah proses membangun tembok bata.

Keseluruhan cerita dibangun lewat fragmen-fragmen yang membentuk detail. Seperti seorang tukang menyusun bata demi bata.

Cerita pun dilengkapi, direkatkan oleh koherensi waktu, plot dan karakter. Seperti tiap bata yang terhubung kuat satu sama lain, disatukan oleh semen.

Saya jadi terpikir tentang tulisan saya sendiri...

Sudahkah masing-masing fragmennya dielaborasi dalam detail yang cantik?

Sudahkah ia memiliki koherensi waktu, plot dan karakter sebagai semen yang kuat?

Jujur, saya ragu..

Oleh sebab itu, saya butuh pembaca..

Saya butuh kalian..

Selasa, 11 Mei 2010

hurtful

apa kamu tahu apa yang paling menyakitkan dari sebuah rasa insignifikan?

invisibilitas.

Jumat, 07 Mei 2010

Doa sang ilalang



senyum yang merekah kali ini--bila kau mampu melihat guratannya--sepintas mirip ilalang yang dihembuskan angin..

Gerakannya bergantung pada seberapa kuat energi itu mendorongnya..
Hanya bergulir sedikit menyentuh sisi
atau bahkan merunduk hingga ke batas jauh..

Tapi angin dalam badai,lengkap dengan hujan yang mengiringi
membuat gerakan sang ilalang menjadi inkoheren
sesaat menari dengan liarnya mengikuti liukan angin
sesaat lalu terhempas diam dalam bulir deras titik air
memaksanya berhenti menari..

Ilalang hanya mampu lirih bergumam

"badai ini cepatlah usai,aku rindu matahari dan semilir hening yang menyejukkan. Membuatku lepas menari.."

senyum itu,akankah terus hilang?


beautiful picture taken from this beautiful blog

Kamis, 06 Mei 2010

070210, 07:40

pinus-pinus memagari
menyemarakkan perjalanan

aku terantuk kelelahan
dahaga tempat merebah

..
070210, 05:30

Fajar menyemburat
turun menandakan pagi

cahaya emas itu memesonakan diri

syukur,
bersujud padaMU, Illahi

..

Senin, 03 Mei 2010

a teary confused monday : notes from dreamy stupid girl for super holy and awesome God

Saya memutuskan untuk saum sunah senin hari ini
saya nggak jadi mencari kopi pagi tadi,mungkin kopi-kopi itu bisa saya gunakan lain kali.. Jadi hari ini saya berpuasa.

Mereka bilang saat sedang puasa,kita dianjurkan untuk tidak menangis karena.. Itu makruh,merupakan simbol luapan emosi,bukan pengendalian diri.
Tapi Allah swt adalah Tuhan yang Maha pengertian. Dia tahu apa yang terjadi. Pergumulan sengit di benak saya mirip genderang perang di Helm's Deep,yang sensasinya menggemakan dan memerihkan echo hingga ke ulu hati.

Jadi saya menangis siang ini..
Karena banyak hal. Amat banyak hal.

Saya tahu seharusnya saya tidak merasa terganggu saat orang kerap bertanya tentang pekerjaan.

Saya tahu bekerja.. Sebuah titel profesi adalah tuntutan,saat sekolahmu selesai,dan kamu resmi lulus.

Tidak,saya tidak menyalahkan mereka untuk rasa penasaran mereka yang tidak mau berhenti.

Saya hanya menyalahkan diri saya sendiri atas kebingungan dalam menjawab pertanyaan mereka.

Saya selalu mencoba untuk tidak menghakimi orang lain karena saya sendiri enggan dihakimi.

Saya hanya merasa tidak nyaman untuk membagi itu secara terang-terangan.

Saya ingin bilang,saya hanya ingin memilih sesuai kata hati. Saya ingin banyak membaca,menulis, mengamati dan mengetahui.

Mereka mungkin bilang saya tolol dan perlu dikasihani.
Bilanglah..
Karena saya sendiri ingin mengasihani diri saya sampai bisa memeluk,menenangkannya dan membuatnya menangis tersedu. Karena mungkin setelah itu.. Mungkin saja saya bisa tertawa lebih lepas.

*sigh*

saya terperangkap kebingungan kronis akan hidup saya sendiri. Dan saya punya support system yang sedikit tidak solid.
Saya hanya bisa mengandalkan hati dan logika..
Siapapun di antara keduanya yang kebetulan sedang mendominasi.

Saya butuh Engkau ya Rabb. Butuh sekali untuk menyibakkan pucuk-pucuk rumput tinggi nan ruwet yang menghalangi jalan saya.

Maafkan saya untuk menangis siang ini.
Tapi saya percaya Engkau adalah Tuhan yang sangat pengertian ya Rabbi...



picture taken from here

Minggu, 02 Mei 2010

sepanjang pelayaran saya bersama perahu kertas #1

Keenan bilang pada Kugy bahwa.. Walaupun harus menempuh jalan yang berputar,suatu saat nanti mereka berdua pasti bisa jadi diri mereka sendiri..
Seperti mantra baru yang menggoda untuk terus dirapal dan dihafal,saya juga mengatakan hal yang sama seperti yang Keenan ucapkan, pada diri saya sendiri..
Lagi
dan lagi..

Senin, 26 April 2010

070210
00.10

pekat menggulita
diiringi deru mesin
terbangkan debu

remang lembut melingkupi
figur ayah memeluk bayinya erat

aku terpesona

Jumat, 23 April 2010

Leaving no secret to the sacredness of curves

tightly hugged the bones like second skin

let the lingering fingers entertained

sensation is superb

Rabu, 21 April 2010

Loveliness in laugh

I laugh when i found something funny
scratching my throat

till then i'll cry rightaway
a sudden bleeding
crashing world

wanna laugh to laugh to cry

pathetic

Selasa, 20 April 2010

Jarak kadang menipu.. Kadang juga tidak..



Jejak di atas aspal yang mengeras,seperti awan--ia berarak, mengiring papasan jarak
aku coba mendekat
ke tempat kau berada sekarang

aku ingin kita melangkah ke satu arah yang sama

aku masih percaya pada keajaiban kecil sebuah kebetulan yang menyenangkan

jadi bila hati kita benar menyatu..
Kau akan tahu dimana harus mencariku

seperti aku tahu dimana harus mencarimu
karenanya aku mendekat memapas jarak
agar kita tak terpisah terlalu jauh

namun sia-sia
karena kita masih bisu satu sama lain

dan untuk kali ini,jangan salahkan jarak..

picture taken from here

Rabu, 14 April 2010

UNTUK SENYUM MARIBELLE


Bagian pertama

Di balik konter marbel berpelitur

Ia menggaruk tumitnya yang memerah

Di atas tulang kering

 

Berdiri begitu lama di atas Oxford shoes

Mendengarkan ocehan lalu lalang

Stella McCartney atau Kate Spade

Anna Sui atau Carolina Herrera

Sementara sesekali figur bersetelan

Mengganggunya dengan pertanyaan

Abu-abu atau hitam?

 

Ia menikmati hidup

Sebenarnya

Rutinitas

Seni

Memoles diri

 

Namun ia ingin cinta

Ia butuh cinta

 

Ia tahu Keats

Namun ia tak peduli siapa

Ia hanya mengerti

Bahwa cinta adalah Tuhan

Dan pelukan adalah iman

Bahwa ketidakjujuran hati adalah dosa

Lalu ia hanya ingin itu

Bahagia seutuhnya

 

Lalu pertemuan itu

Pemuda Laundromart-kah

Jawabnya?

 

 

Bagian kedua

Sepasang sarung tangan hitam

Terjual di suatu pagi

Bahwa ia menemukannya di muka apartemen

Saat senja

Berselipkan potongan kertas mahal

Bertanda tangan

 

Mungkin misteri

Mungkin bukan

 

Figur itu terlihat dewasa

Mungkinkah ia

Mungkinkah berada?

Karena ia yakin Armani itu sungguhan

Dan mantel itu asli Burberry

 

Dan

ia tahu Keats

namun ia tak peduli siapa

ia hanya mengerti

bahwa cinta adalah Tuhan

dan pelukan adalah iman

bahwa ketidakjujuran hati adalah dosa

lalu ia hanya ingin itu

bahagia seutuhnya

 

jadi saat figur itu mengisi harinya

menghujaninya dengan Chanel dan Prada

membuatnya tertawa

sementara pemuda Laundromart asyik berkelana

di sisi lain benua

 

mungkinkah bahagia

mungkinkah cinta?

 

Bagian ketiga

Dan

Ia tahu Keats

Namun ia tak peduli siapa

Ia hanya mengerti

Bahwa cinta adalah Tuhan

Dan pelukan adalah iman

Bahwa ketidakjujuran hati adalah dosa

Lalu ia hanya ingin itu

Bahagia seutuhnya

 

Karena bahagia adalah kebutuhan

 

Dan

Setelah rentetan malam penuh pertanyaan

Sejuta mungkin

Sejuta rekaan alasan

Sejuta analisa

 

Salahkah bila ia ingin bahagia dengan utuh

Menengadah untuk kepastian hati?

 

Hingga tangis itu akhirnya menjadi jawaban

Kibaran mantel Armani dari sebuah figur

Yang membalikkan tubuhnya

Berkata tidak

 

Ia tersakiti

Ia menjauh

Membangun inci demi inci lagi

Kehidupannya

 

Karena bahagia adalah kebutuhan

 

Lalu sosok itu kembali

Pemuda Laundromart yang kini lebih bersahaja

Memberinya tawa

Memberinya senyum

Menawarkan kehangatan

Perlindungan

Kepastian hati

Pada dunianya yang baru

 

Untuk pemuda Laundromart

Yang kini tampil lebih bersahaja

Yang meneteskan tiap peluh untuk

Sebuah kata pantas baginya

Yang membuat ia merasa signifikan

Punya peran

Yang memberi dia

Hampir segalanya

 

Pada tiap ukiran senyum

Ia akan memberi kasih dengan porsi yang

Sama besar

 

Karena cinta adalah Tuhan

Dan pelukan adalah iman

Lalu ia hanya ingin itu

Bahagia

Seutuhnya.

 

 

*terinspirasi oleh Shopgirl, karakter Maribelle Buttersfield

Dan salah satu puisi Keats.