Rabu, 28 Maret 2012

the RAID







Okay, here, i love watching movies. Saya nggak memfokuskan selera pada satu genre, dan sembah sujud pada satu genre saja. Saya menjajal banyak jenis. Dari yang bikin mata melek sepanjang film, sampai yang sepuluh menit diputar langsung bikin saya mendengkur. A lot.
But i rarely watch movies on cinema though. Kebanyakan menyewa di dvd rentals, ato beli kaset dvd-nya. Baik yang bajakan ataupun yang original.


Dari sekian banyak tumpukan piringan kaset itu, though, sebagian besar adalah film-film luar. Cuma seupil doang kaset film indonesia yang saya punya. Bahkan list-nya lebih sedikit dari seri anime jepang.


Nonton di bioskop pun saya pilih-pilih. Serasa alergi kalau diajakin nonton film Indonesia, kalau nggak saya search dulu ulasannya di media dan memastikan itu film layak tonton. Bukan tidak menghargai hasil karya bangsa sendiri, tapi yaa.. saya lebih memilih menunggu film itu muncul di layar kaca ketimbang capek ngantri di bioskop. Hehe.. lebih hemat.
I could count how many indonesian movies that i had seen on cinemas. Some of them made me satisfied, some didn’t.


Itu kali, ya, yang bikin saya pilih-pilih. Malas kalau harus keki keluar dari pintu bioskop gara-gara film-nya bikin suara jangkrik tiba-tiba muncul di benak ‘kriik.. kriik.. kriik’ a.k.a mengecewakan.


Then, muncullah film satu ini.


The Raid.


Atau Serbuan Maut, kalau dijabarkan dalam bahasa Indonesia.


Oke, melirik judulnya saja itu jelas film aksi. Aksi laga lebih tepatnya. I first heard this movie dari tweet salah satu penulis favorit saya, Ika Natassa. Film ini muncul lebih dulu di INAFF dan menang people choice award di Toronto Film Festival. Dalam tweet itu, Mbak Ika memuja-muja betapa suspense dan sadisnya ini film. Sukses bikin beliau hampir copot jantung dan breathless.


And i was wondering that time, sebagus apa, sih, itu film?


Film ini rilis barengan sama film Hunger Games yang memang sudah ditunggu para pembaca novelnya. Jadi, agak-agak ragu juga milih mau nonton yang mana sejak tanggal 23 kemarin. Secara saya baca itu novel Hunger Games dan teaser trailernya juga lumayan oke. Dan beberapa review juga bilang Hunger Games oke.


But, you know what surprised me?


The Raid ini, dilabel 87% sama Rotten Tomatoes pas fresh rilis. Oh, my. Beneran bukan film ecek-ecek ini mah.


And this afternoon, finally, setelah mengumpulkan keberanian dan latihan kardio sebelumnya *lebay, i know*, i decided to watch The Raid.


Berkisah tentang satu tim elit ‘SWAT’ versi Indonesia (Densus 88 apa, ya?), yang terdiri dari 20 orang rookies yang masih minim pengalaman lapangan. Dikepalai sama Letnan Wahyu (Pierre Gruno) dan Sersan Jaka (Joe Taslim) sebagai komandan peleton. Salah seorang anggota tim ini adalah Rama (Iko Uwais), yang ternyata memiliki saudara yaitu Andi (Donny Alamsyah) yang merupakan salah satu orang kepercayaan Tama.


Nah, misi kali ini adalah menyerbu sebuah gedung apartemen tua yang disinyalir (aih, bahasa gw) jadi markas seorang penjahat kelas kakap dan di dalam gedung apartemen itu ditampung buron-buron yang sedang dicari polisi. Gedung ini sulit sekali dimasuki aparat karena penjagaannya luar biasa ketat dan memang jadi semacam tempat suci bagi bandit-bandit kota. Pemimpin bandit yang diburu itu bernama Tama (Ray Sahetapy).


Film ini dibuka dengan scene yang religius sebenarnya, yaitu si Rama yang sholat Tahajud (kayaknya). Namun diiringi juga dengan kilasan-kilasan kontras latihan fisik Rama sebelum misi dimulai. But what sweet was the scene when Rama kissed her wife’s pregnant belly before he departed for mission. Ok, so female, i know, but can’t help.


Ceritanya ini misi penyerbuan yang kesekian setelah beberapa kali kepolisian gagal melumpuhkan gedung ini.


Waktu itu mobil peleton merapat ke gedung nggak jauh dari tempat sasaran dan itu tim SWAT turun, saya amazed si letnan Wahyu ini kok, gaya banget ya, anak buahnya pakai atribut lengkap tapi dia santai aja pakai kaos oblong dan hanya dilapisi rompi anti peluru wungkul. Sifat sok detektif saya mengendus sesuatu yang mencurigakan tentang sosok ini (aih, bahasa gw).


And, this was this one weakness of most short dialogues in this movie, bahasanya itu loh, baku banget. Di dunia gangster, kan, ya, selain bahasa umpatan dan makian yang memang jadi bahasa wajib, nggak ada itu acara pakai EYD dalam percakapan sehari-hari. Pas si ganteng sersan Jaka ngasih arahan juga kerasa banget kaku-nya. Untung dialognya sedikit. I love to see Jaka fight and command more than see him talk hehe.





No offense ya, saya ini Team Jaka to the heart beat.


Awalnya penyergapan diam-diam ini berjalan mulus, hingga di lantai 6, rombongan tim SWAT ini kegep sama satu bocah yang baru keluar dari toilet. Bocah ini tewas ditembak si Wahyu. Tapi naas, sebelum tewas, ini bocah sukses memberi tahu temennya kalau ada polisi di gedung mereka. Dan lewat jaringan interkom yang tersambung langsung ke ruang komunikasi dan observasi bapak Tama, sontak seluruh gedung dialert bahwa ada ‘tamu’ nggak diundang yang butuh diusir sama penghuni gedung. Tahu, kan, penghuni gedung itu mostly adalah penjahat yang you wouldn’t want to know at all.


Preman sniper ditempatkan di gedung-gedung sekitar, siap menyerang tim dari jendela-jendela yang memang sangat visible. Tukang pukul, pembunuh bayaran semua keluar karena iming-iming manis dari bapak Tama.


Sumber penerangan dan jaringan komunikasi yang berguna untuk tim SWAT dipadamkan. Dan thanks to Letnan Wahyu yang merahasiakan misi ini, nggak akan ada back up dari kepolisian yang dikerahkan untuk membantu mereka yang terkepung. Dari misi penyerbuan, tiba-tiba berubah jadi misi bunuh diri, penjagalan.


Gunshots, tebasan pedang, bloodfest yang semangat muncrat kemana-mana, dan teknik tarung nomor wahid muncul satu persatu. Bikin kamu nggak akan peduli sama air mineral di sisi kursi atau kardus popcorn di pangkuan. Lengket aja itu bokong di kursi, sambil mata kadang ditutup kadang dibuka, at once you terrified and other time you felt so much rage that you really wanted to beat someone too.


There was too much violence here in this movie. Semoga nggak ada bocah-bocah yang nonton film ini juga. Nggak baik untuk kesehatan mata, moral dan pikiran mereka. Ini film yang benar-benar keras, benar-benar brutal, benar-benar traumatis kalau kamu nggak siap rasa.


Minim plot, minim dialog, tapi sarat aksi laga. Dan detail teknik pencak silatnya : juara! Saya sih, nggak ngerti, tapi rekan nonton saya hari ini sempat ikut salah satu jenis beladiri dan dia mengakui kalau itu, yang ditampilkan di hampir seluruh scene laga, murni jurus pencak silat kelas wahid.


Ckckck, pantes aja ada rumor beredar orang Amerika pada ngiler pengen belajar pencak silat setelah nonton film ini.


Iya, lah, koreografi laga film ini, kan, bukan sembarangan. Ada si Iko Uwais dan Yayan ‘mad dog’ Ruhayan yang memang juara pencak silat dan peraih medali tingkat internasional, juga si Gareth Huw Evans, sang sutradara. Pemainnya juga sebagian besar dari kalangan beladiri, Joe Taslim, atlit judo, si Alfred ‘preman ambon’ dia juga atlit –tapi lupa atlit cabang apa.
Jadi, setelah kurang lebih seratus menit sibuk jantungan (saya lagi pikir-pikir buat konsul ke IPD kardio besok, nih, :)), sibuk memaki-maki, sibuk buka-pejam mata ketakutan, sibuk naksir sama sersan Jaka dan sibuk sedih juga karena sersan Jaka tewas dihajar Mad Dog (ok, spoiler, i know), hehe.. i decided that itu ngantri dan tiket bioskop yang saya beli worth it!


87% di rotten tomatoes itu bukan kibulan.


Ini mungkin bukan film kelas oscar yang plot dan jalan ceritanya jenius, tapi ini jelas jenis film yang pingin kamu tonton dan merasa puas setelah itu selesai. Jenis yang akan kamu acungi jempol berkali-kali dan sibuk rekomendasikan ke teman-teman yang lain.


Pertama, karena ini film indonesia (walau disutradarai orang Wales), pemainnya dari Indonesia, beladirinya dari Indonesia, and it brings Indonesia to the world in the positive way. Yay!


Bravo The Raid! Good 4.5 of 5 stars for you.

Kamis, 22 Maret 2012

di ketinggian

Berdiri menantang angin, kamu bilang..

Dalam senja yang sama kala tubuh lain berlari sejalan sinar matahari yang memadam
Mereka bergerak mencari arah pulang, menanti kekasih yang menanti di ujung gerbang siap memberi tumpangan,
Bergerak pulang

Tapi aku di sini, menantang angin
Memandang mentari yang memadam
Jingga

Dan helaian kain yang membalut tubuh menghentak menyapa senja
Menyesapnya dengan syahdu

Dari ketinggian, kamu bilang...

Nikmati senja itu dengan secangkir teh yang mendingin, hangatnya perlahan hilang kala temperatur turun teratur

Dan akomodasi mata yang beradaptasi dengan cahaya yang memudar, itu keindahannya, kamu bilang...

Dan aku rindu, rindu berdiri di ketinggian ini bersamamu
Menatap titik kecil bergerak perlahan, menghiasi hidup..

Rabu, 14 Maret 2012

the birthday girl

Aku kangen Dipa. Ingin berkilah aku kangen dia sebatas sahabat yang rindu saat keduanya terpisah samudera dan benua. Tapi di satu sudut hati yang terdalam, aku tahu ini lebih dari itu.

Tahun lalu kami sempat bertemu. Tanpa janjian sebelumnya. Tepat di sini. Foodcourt Istana Plaza di depan stall mie hot plate. Menu favoritmu di sini.

Buatku, momen ulang tahun adalah momen me-time. Berkontemplasi, menyendiri, apapun itu istilahnya. Berbekal novel dan HP mini netbook kesayangan, aku nongkrong di food court salah satu pusat perbelanjaan beken di Bandung. Sepenuh hati berharap tidak bertemu atau berpapasan dengan sosok yang ku kenal. Aku malas berbasa-basi. Walaupun hari itu hari ulang tahunku. Orang-orang bilang kamu akan dilimpahi ribuan doa di hari itu. Doanya akan kuamini, sungguh. Tapi tidak untuk percakapan panjang yang menguras waktu.

Aku ingat betul halaman berapa yang sedang ku baca saat itu, dan scene apa yang tergambarkan di dalam lembaran novel, saat tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“Woyy!” ia berseru. Suaranya maskulin. Jenis yang betah kudengarkan bercerita lama.

Suaramu, Dipa.

Kamu membawa nampan berisi dua mie hot plate pedas favoritmu. Menyodorkannya ke depanku sambil menggeser sedikit netbook yang kuabaikan.

“Happy Birthday!”

Sebelum aku sempat merespon kamu sudah berbalik lagi, kembali ke stall mie hot plate, mengambil dua gelas softdrink.

“Lain kali duduknya di sana aja, Ke..” katamu agak ngos-ngosan sambil menunjuk meja yang terletak tepat di depan stall mie hot plate. “Capek juga bolak balik kemari sambil nenteng-nenteng ginian..” kamu menunjuk ke arah dua nampan yang baru kau letakkan.

“Hah?”

Kamu menggeleng, “Ckck, makasih kek.. udah dibawain makanan begini. Harusnya aku yang ditraktir tau! Kan kamu yang lagi ulang tahun..”

“Dipa, nggak jaga?” itu satu-satunya respon tercepat yang bisa kusampaikan.

Kamu mencibir, “Ya kalau gue ada di sini berarti gue free, nonong!!”

“Terima kasih, Dipa..” senyumku sama sekali tidak artifisial. Dan aku siap untuk sebuah konversasi panjang di hari sakral itu bersama kamu. Sebagai sahabat, tentu.

Itu dulu, tahun lalu. Kamu sedang menjalani semester akhir residen sebagai Chief, tingkatan terakhir sebelum kamu menghadapi ujian terakhir program pendidikan dokter spesialis. Sebelum kamu resmi bertitel Sp. B.

Itu dulu, tahun lalu.

Sebelum kamu memutuskan menjadi volunteer bulan sabit merah ke Libya. Ikut serta sebagai tim medis di bawah perlindungan Dewan Keamanan dan WHO.

Di tengah bising lalu lalang aku membayangkan apa yang kamu hadapi tiap hari. Ancaman pecahnya bentrokan, riuh rendah demonstran yang lelah dan penuh amarah, jerit kesakitan para korban penggulingan rezim. Kamu disana, menjadi saksi sejarah runtuhnya sebuah lakon kepemimpinan yang dulu begitu diagungkan. Ya, sekarang kamu di sana.

Dipa, padahal hari ini hari ulang tahunku.

No phone call, or even simple text message.

Aku tahu egois membayangkan ia bisa mengontakku di tengah chaos seperti itu. Tapi, aku kangen kamu, Dipa. Kangen konversasi kita seperti tahun lalu.

Sekarang aku duduk di sini. Di meja yang waktu itu kamu tunjukkan. Meja favoritmu. Meja yang kita sambangi hampir sebulan sekali dalam 6 bulan terakhir. Sebelum kamu berangkat ke Libya.

Berada di sini beberapa jam lebih awal dibandingkan jam kita bertemu tahun lalu. Hari ini aku tak seberuntung tahun lalu. Selain tidak ada Dipa, hari ini aku dapat giliran shift sore.

Jadi aku hanya bisa mampir di sini menjelang tengah hari.

Tak apa, demi me-recall momen bersama Dipa tahun lalu.
Di ruang sama, hari yang sama, mie hot plate yang sama.

Dipa, di manapun kamu sekarang, ucapkan selamat ulang tahun untukku. Seperti tahun lalu.