Selasa, 27 Juli 2010

Sore yang magis

Kita bercengkerama di sudut teras,di atas lantai ubin dingin
berbekal jutaan kata, cerita, yang telah terpendam lama..

Petang mulai surut, namun kita seolah tak akan pernah kehabisan cerita,
warna..

Binar di matamu tak hilang walau kerlip sore kini tergantikan gradasi yang meremang
menyuarakan rindu setelah pertemuan yang menjarang..

Aku memeluk lutut, menopang daguku di puncaknya
memandangmu, mendengarkanmu bertutur..

Bagai pendongeng lihai kau menghanyutkanku dalam pusaran cerita berbalut rindu yang menghangatkan hati
memoles rasa..

Sudah berapa lama kita tak bersua?

Sampai ketika gelap pekat menyelubungi dan kerlip sore hilang ditelan cahaya neon yang menyilaukan, kau tiba-tiba berhenti.
Terdiam..

Hening..
Kita coba menyelami mata satu sama lain
ingin tenggelam dalam kedalaman rasa yang sesungguhnya telah ada sejak lama
mencoba menemukan momen, saat dimana kita akhirnya mampu mengungkap satu yang demikian kelu,

cinta..

Second half

Saya mengucapkan selamat datang pada paruh kedua tahun ke-21 saya hidup di dunia..
Menjelang usia 22..

Hello there! How's life?
Kinda been a long time i abandoned your empty spaces..

Ya,bagai kertas-kertas kosong,ini seharusnya terisi oleh banyak kalimat,rasa,emosi..

Karena ini adalah media dimana saya mampu menekan apa yang bergumul dalam hati secara minimal. Menyeretnya keluar..
Tempat saya sedikit lebih bebas menyalurkan isi benak..

Hari-hari yang terlewat tanpa cerita.. Jadi salah satu minggu-minggu tersibuk dan melelahkan dalam hidup saya.

Beberapa kebahagiaan kecil hidup. Walaupun ada luka-luka baru yang tergores.

Saya kangen bercerita.
Saya jemu bungkam.

Minggu, 25 Juli 2010

The Birthday Girl : Sketch one

Ada sesuatu yang merasukinya kala menatap suasana kelabu di balik pintu kaca otomatis. Sebuah momen di masa lalu yang selalu memerangkapnya tanpa ampun. Membuatnya terpaku di tengah-tengah lobby kantor seperti gadis bodoh yang seenaknya melamun di pusaran riuhnya arus karyawan yang meluncur keluar seusai jam pulang.
Tapi sekali lagi, hujan yang mengancam di balik suasana kelabu itu memberinya waktu untuk mengurai sebuah kenangan lama.
Untaian peristiwa yang terjadi jauh sebelum ia bekerja di gedung perkantoran berlantai 22 ini, menyibukkan diri tiap senin hingga jumat dalam sebuah cubicle sejak jam 07.00 pagi hingga usai Maghrib, bahkan lebih larut jika ia harus lembur.
Tiap pulang setelah hari gelap, momen masa lalu itu tak pernah menggodanya. Merayunya untuk kembali melamun. Kenangan itu memilih menenggelamkan diri di balik selimut hangat di sudut benak. Dan akan keluar dari tidur panjang pada saat yang diinginkan. Tidak pernah terjadi dalam tiga tahun terakhir ini.
Namun di sore kelabu menjelang senja ini, momen itu seolah menggeliat dan memilih untuk merangsek keluar.
Ia tak lagi peduli pada tubuh-tubuh yang lalu lalang di sekelilingnya, pula pada gerutuan-gerutuan keras akan posisinya yang menghalangi langkah-langkah mereka. Ia juga tak peduli bahwa kelabu itu sebentar lagi akan memuntahkan hujan hingga ia harus bersiap basah kuyup sesampainya di kosan nanti. Atau pun bahwa ini adalah waktu yang langka di tengah jam kerjanya yang luar biasa panjang dan melelahkan, saat ia bisa pulang lebih awal dan menghibur dirinya sendiri dengan pergi belanja atau nonton film baru di Blitz megaplex.
Tidak. Ia masih terpaku di tengah lobby, walau perlahan mampu meraih kembali kesadaran atas suasana sekitar dan melangkah keluar dengan pelan. Tapi aura kelabu di balik pintu kaca otomatis itu masih menghipnotisnya. Mengingatkannya pada dirinya 3 tahun lalu.
Dan tiba-tiba saja sosok gadis muda kurus, berkeringat dan buta mode—terlihat dari busana yang dikenakan seperti tak tersentuh teori mix and match paling dasar sekalipun—melintas mengayuh sepeda mini vintage berkeranjang depan yang dipenuhi rangkaian bunga rose dan lily. Rambut sebahunya berkibar, kusam berlatar kelabu dengan rintik kecil gerimis yang mulai berkecipak di tubuhnya. Tangannya mulai gemetar kepayahan karena terlampau erat menggenggam kemudi, pun kakinya yang bergetar aus karena telah mengayuh seharian. Tapi wajah gadis itu memancarkan tekad keras, untuk mengantar pesanan rangkaian bunga terakhir itu pada seseorang di seberang jalan sana, yang menanti kelopak-kelopak cantik itu untuk diserahkan pada seorang wanita yang hendak ia lamar malam nanti.
Romansa yang mengetuk kalbunya di tengah kegigihannya mengayuh. Satu hal yang ia dambakan bisa hadir dalam kehidupannya yang seolah sama tak menariknya dengan penampilannya.
Bayangan familiar itu tak hilang dari matanya walau kakinya telah melangkah keluar ke teras gedung saat pintu kaca otomatis itu membuka dan memberinya ruang untuk menikmati dinginnya angin senja yang mengisi latar kelabu di hadapannya.
Ekor sepeda mini itu menyisakan kerlipan aneh, pantulan dari sisa matahari terbenam yang mengintip dari celah gumpalan awan kelabu, saat akhirnya kesadaran kembali menderas mengisi benaknya lewat sebuah tepukan pelan namun tegas di bahunya. Seulas senyum hangat yang telah menghiasi harinya belakangan ini muncul ketika ia menoleh pada sosok yang menepuk bahunya tadi.
Guratan lelah tak mampu menyembunyikan pancaran ketertarikan dan kekaguman di mata lelaki itu saat menatapnya. Padahal ia tak mampu membalas dengan intensitas yang sama. Ia belum sanggup.
“Yudhis..” bibirnya dengan lirih berbisik. Reflek.
Senyum lelaki yang dipanggil Yudhis itu makin merekah mendengar sapaan cepat itu. Membuatnya merasa familiar di mata si gadis.
“Pulang bareng, Kania…” ajak Yudhis tanpa basa-basi sedetik kemudian.
Ia, Kania, tertegun sejenak. Sambil menoleh ke spot terakhir bayangan gadis kusam bersepeda mini bisa dilihatnya. Bayangan itu menghilang. Tentu. Kenyataan menelannya kembali dan menaruhnya ke tempat yang seharusnya. Sosok dirinya di masa lalu.
“Kania…?”
“Ya?”
“Mau pulang bareng?” Yudhis menegaskan ajakannya melihat gestur Kania yang ambigu.
Sekali lagi mata Kania tertumbuk pada pancaran penuh harap yang menjulang di depannya. Tapi bayangan yang mengetuknya tadi membuat Kania mengingat sebuah tempat yang lama tidak ia kunjungi. Dan hatinya tergerak untuk berkunjung senja ini. Itu berarti Kania harus menolak ajakan Yudhis. Ya.
“Kita bisa makan malam dulu sebelum balik. Dan cari kado. Kamu ingin hadiah apa? Nggak apa, kan, kalau aku kasih lebih awal, dan tanpa kejutan?” Yudhis mencoba meyakinkan Kania lagi. Membuahkan kedipan terkejut dari gadis itu. Bertanya-tanya kado apa yang Yudhis maksud.
“Kado??” tanya Kania bingung.
“Besok? April? Dua puluh?” pancing Yudhis, mengira Kania pura-pura lupa. Tapi melihat rona bingung Kania yang tak juga hilang Yudhis akhirnya mengerti, “ya ampun Kania. Bukannya dua puluh April itu hari Ulang tahunmu, ya?”
Tatapan bingun Kania berangsur menghilang, walau ia masih tidak yakin kalau tanggal itulah yang akan menyongsongnya besok. Apakah aktivitas dan kesibukan pekerjaannya terlalu menyita perhatian Kania hingga ia amnesia hari? Kania menghela nafas, mulai mencerna maksud ajakan Yudhis.
“Maaf. Lain kali, ya, Yud..” tolak Kania halus.
Kedua alis Yudhis berkerut, bertemu di satu titik di awal lekukan tulang hidung. “Kamu ada acara lain?” ia bertanya ragu, ingin tahu namun di saat yang sama khawatir dicap terlalu ikut campur.
Kania tersenyum mengerti, ia lalu menggeleng pelan dan mulai melangkah menembus gerimis.
“Sampai nanti, Yudhis…”
Lambaian singkat jemari Kania adalah hal terakhir yang Yudhis tatap sebelum sosok ayu itu menghilang di tikungan jalan.
“Sampai nanti, Kania. Selamat Ulang Tahun…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya beranjak pergi.

Jumat, 09 Juli 2010

dawai pagi

fajar baru sejenak menghilang

memberi kesempatan pada gradasi emas

yang hendak nampak

di sisi siluet pagi yang ajaib

..

matanya tersaput kabut
bening

namun berair
dan sayu

bagai sebuah kehidupan terpuruk disana
meluncur turun
hingga tersuruk
di atas tanah

menelungkup keperihan
dengan jemari yang tertekuk memohon pegangan

..

jangan tertipu

dia masih tegak berdiri

di atas tanah
menatap siluet pagi

dengan ketegaran yang tersisa

tabuh rindu

pijar bintang terakhir itu memudar

bersamaan kerjapan cahaya

yang mendadak kembali

muncul.. mempertegas kekosongan

di hatinya

he needs his girl..

Kamis, 01 Juli 2010

he sent a letter for me

A Letter from Adam Young

Dearest friends,

Where do I even begin?

Though it seems like it happened yesterday, an entire year has passed since I put out Ocean Eyes and I cannot begin to tell you how amazed I am due to all that has happened between then and now. A tremendous amount of asphalt has passed under the tires, a lot of miles put on the odometer and a lot of marvelous memories made along the way. It's an overwhelming, invigorating feeling that can't even be put into words. I catch myself thinking about the future often and I truly couldn't be more excited. I've been immensely blessed by each and every opportunity I've had via Owl City and your endless support only continues to encourage me. I wholeheartedly cannot thank you enough.

Thus far, I've been quite a busy bee this summer, hidden away in the cavelike warmth of my basement, working like a mad scientist on the next Owl City record and I absolutely cannot wait for you to hear it. Things are coming together nicely but there's still a lot of work to be done.

However, there's something I'd like to share with you in the meantime.

Three and a half years ago, I recorded a collection of songs in my parent's basement during the bleary-eyed hours of night when sleep and I could not bring ourselves to meet. I was a metalworker, working 6 AM to 4 PM at a warehouse in my little southern Minnesota town. I was writing, creating, thinking, imagining and breathing music with every second I had to spare. Music has always been my dream, but at that point in time, it was merely a feather tossed to the wind. Regardless, my spirits were far from dampened and I created music as fast and as furiously as I could. In my little basement bedroom, I had an old Dell computer, Reason 2.5, a friend's borrowed Behringer C-1 condenser, a Behringer 8 channel analog mixer and my uncle's old Alvarez. I didn't have a clue what I was doing but I was a dreamer and music was my escape so I gave it everything I had. Never expecting my music to be heard anywhere but by my parents through the floorboards above, I wrote for my own ears. I was both artist and audience and I called myself Sky Sailing.

I've kept these recordings secret for a long time and they've never seen the light of day until now. Long before Owl City was ever a spark of a flame, a lot of blue-collared working days were spent absentmindedly daydreaming about what would ultimately become this collection of songs. From the perfectionist musician's perspective, a song is never truly "finished" but rather "abandoned" and thus, after a lot of inspiration and reckless experimentation, I emerged from the basement with a 11 song record which I affectionately entitled, An Airplane Carried Me To Bed.

This album is a step into the past, the documented account of a shy boy from Minnesota with more hopes and dreams than he knew what to do with. When you listen to this record, you can hear naivety, innocence, inexperience and the wide-eyed imaginings of a wishful thinker. It's both light and dark, optimistic and melancholy. Unpolished and dusty, it's an antique and therefore holds a truly unique and graceful aesthetic within. Though there has always been just one artist behind the music, before there was Owl City there was Sky Sailing and I consider it a great honor to finally find this opportunity to share it with you. I hope you enjoy it as much as I enjoyed creating it.

If by chance you ever feel as though you've come to know these songs or empathize with the emotions therein, please consider yourself a friend of mine because in a manner of speaking, you know me. As the saying goes, one can truly glimpse the artist through his/her art, and that expression certainly proves faithful in my case. This music is my heart and soul. This is who I am.

With that being said, I am so very glad to meet you.

With all due respect,

Adam Young