Senja turun memayungi lembah yang Keita pandangi di beranda belakang. Sinar jingganya memunculkan gradasi warna menakjubkan di angkasa, yang kala turun ke bumi menyatu dengan hamparan hijau kebun sayur mayur dan ratusan polybag strawberry, memberikan nuansa temaram indah di tengah akhir sore yang dingin. Betapa pemandangan yang terlalu breathtaking untuk dinikmati sendiri.
Dua pasang langkah kaki mendekat di belakang Keita. Tak perlu menoleh ia tahu bahwa sepasang langkah berat Jandi dan sepasang lagi milik Adisti sedang mengendap di belakangnya.
“Hai!” Adisti merangkul pinggangnya dari belakang, “kalkulasi untung rugi, Mr.Businessman?”
Jandi terkekeh mendengar kelakar Adisti. Mereka berdua baru kembali dari hiking singkat di hutan cemara tak jauh dari rumah peristirahatan yang Keita dan Jandi beli untuk sekalian mereka gunakan sebagai kantor bila mereka datang ke Kalinggar untuk menengok perkebunan dan ladang strawberry mereka.
“Heran, deh. Selama di sini sepertinya hobi kamu ngelamun di belakang selalu. Gue tahu pemandangannya indah, Kei. Mbok ya bagi-bagi gitu..” Adisti menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jandi mengangguk-angguk mengiyakan. Keita tahu Jandi juga sebenarnya concern akan kebiasaannya yang sedikit aneh bila di sini. Dengan atau tanpa kehadiran Adisti, Jandi tahu kalau beranda belakang adalah sangtuari Keita selain kamar kerjanya.
Suara ban yang beradu dengan kerikil di jalanan depan rumah peristirahatan mereka mendistraksi sejenak perhatian ketiganya. Jandi dan keita berpandangan mengerti sementara Adisti melongokkan kepala ke jalan setapak di samping rumah, mencoba mencari tahu mobil siapa yang mendekat sore-sore begini. Seingatnya petugas perkebunan sudah kembali ke rumah masing-masing selepas mengantar dirinya dan Jandi hiking.
“Wow. Ada Benz SUV parkir di depan rumah lo, Kei..” Adisti bersiul pelan.
Jandi mendahului masuk ke dalam untuk menyambut kedatangan tamu mereka. Sementara Keita mendekat ke tempat Adisti berdiri mengagumi SUV mewah yang nongkrong di pelataran depan.
“Yuk, Disti, aku kenalin sama yang punya tuh mobil.”
Disti meraih siku Keita dan menariknya ke dalam sambil melonjak riang.
“Ayo Kei, kenalin aku!! Kali aja aku dapet kesempatan buat jalan-jalan sama tuh silver..”
Keita beranjak ke dalam, meninggalkan sangtuari sorenya.
-
Seperti yang direncanakan sebelumnya, Willy, sang pemilik SUV silver, dan Anjani akan datang untuk melihat ladang perkebunan sore ini. Willy sudah sejak lama tertarik dengan bisnis agrikultur dan begitu Keita menawarkan kesempatan untuk bekerjasama, Willy tidak menyia-nyiakannya sedetikpun. Dua bulan terakhir ini ia hanya mengikuti perkembangan bisnisnya ini lewat komunikasi dengan Keita atau Jandi, hingga baru kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat dan memantau langsung ladangnya.
Willy sudah diperingatkan oleh Keita bahwa udara akan menusuk bila malam tiba, apalagi bila malam berkabut, yang sialnya hampir tiap hari, datang. Meski begitu Willy tetap membandel dengan membawa sehelai sweter rajut tipis dan jaket biasa.
Akibatnya, gemeletuk giginya tak terhindarkan saat mereka melangkah ke luar seusai makan malam untuk melihat separuh lembah perkebunan dari beranda belakang.
Anjani, kekasih Willy, tak sanggup menahan tawa melihat Willy sibuk merapatkan jaket pinjaman dari keita untuk mengusir hawa dingin.
“Udah dibilangin, juga..” goda Anjani, “kekeuh aja cuma bawa sweter doang. Biasa pepanasan di Cirebon, tahu rasa deh naik gunung begini.”
Willy manyun. Ia sadar saran Anjani sebelum mereka berangkat untuk membawa lebih banyak baju hangat sangat tepat, sayang ia tak menghiraukannya. Ia meraih telapak tangan Anjani dan menyatukan telapak tangannya sendiri di sana, coba menghangatkan kulit yang mendingin di sana. Antara kaget dan tersipu, Anjani membuang pandangannya ke samping.
Keita memandangi keduanya dengan iri. Ia mendambakan melakukan hal itu dengan seseorang juga sebenarnya.
“Hot chocolate, guys!!” Adisti muncul dengan membawa senampan cangkir mengepul dan aroma cokelat panas yang bikin air liur menetes. Jandi menyusul di belakang Adisti dengan sepiring pisang goreng di satu tangan dan mangkuk ubi bakar di tangan yang lain.
Anjani melepaskan genggaman Willy tiba-tiba dan menyongsong Jandi untuk membantunya membawa salah satu piring. Willy merengut kesal melihatnya.
“Heran, ya.. baru juga makan tadi. tapi tetep aja ngiler liat cokelat panas sama pisang goreng. Alamat ngelonjak deh, timbangan gue!” Adisti berseloroh.
Anjani memekik mengiyakan. Sementara dua gadis itu tertawa, para cowok memutar bola mata, meneriakkan ‘typical!’ dari tatapan mereka.
“Widya kesini juga, Kei. Besok sepertinya. Dia juga pingin lihat lokasinya. Yah, gue kan patungan sama dia. Moga-moga kalian nggak keberatan, ya..” ucap Willy, lebih segar setelah menyeruput Hot Chocolate-nya.
Keita dan Jandi menggeleng bersamaan.
“Lahan ini kan, punya kalian juga..” Jandi kali ini angkat suara, “tentu dengan senang hati kita sambut..”
Willy dan Anjani berpandangan sambil nyengir lebar, lalu mengangguk-angguk seperti bertukar kode rahasia dengan satu sama lain
Keita menatapnya curiga namun tidak berkata apa-apa lagi saat Adisti mulai mengoceh pada Willy dan Anjani tentang hiking singkat dengan Jandi di hutan Cemara. Segera saja ajakan Adisti untuk meneruskan hiking disetujui bulat-bulat oleh sejoli itu. Mereka berdua akan ikut hiking besok sore.
-
of dreams | of life | about love | of bitter reality | of hopes and wishes | about you. Yes, you.
Selasa, 15 Juni 2010
Wish you were here
Seusai Subuh, Keita sudah menuju lembah untuk memantau ladang bersama salah satu pengawas perkebunannya, Bapak Narma. Tanah-tanah di antara tanaman polybag masih terlihat lembap karena penyiraman yang dilakukan semalam. Pengairan untuk kebun yang ia kelola ini memang dilakukan pada malam hari sesuai saran dari penasehat pertaniannya.
Keita dan Pak Narma asyik berdiskusi tentang kemungkinan sumber air tambahan dan pembuatan pagar baru di sisi selatan lahan saat sinar keemasan perlahan mengintip dari batas cakrawala.
Ini adalah momen menakjubkan lain yang enggan Keita lewatkan. Matahari terbit. Memang berbeda dengan sunrise yang biasa dilihatnya di sisi pantai. Tanpa bayang-bayang keemasan yang memantul di perairan, matahari terbit di ujung lembah memang memiliki pesonanya tersendiri. Seperti senja, sinar keemasannya perlahan muncul dan menyatu dengan hamparan hijau perkebunan. Seolah sinar itu merayap jengkal demi jengkal hingga seluruh lembah terang seluruhnya. Pemandangan tetes-tetes embun yang jatuh dari ujung daun mungil yang menyembul di atas polybag atau pucuk daun bawang dan tanah lembap yang berkilau diterpa sinar pertama, seharusnya menjadi hal yang dibagi dengan sosok-sosok terkasih. Hmm, andai Anjani dan Willy bisa bangun lebih awal, mereka pasti jadi salah satu pasangan paling beruntung bisa berbagi hal yang memesona seperti ini berdua.
Tak lama kemudian, Keita mohon diri dari Pak Narma untuk kembali ke rumah, menyiapkan sarapan.
-
Keita sekali lagi memutuskan untuk tidak ikut hiking ke hutan cemara, dan membiarkan Jandi yang menemani mereka. Keita berkilah akan menyiapkan peralatan untuk barbeque untuk makan malam nanti. Seperti yang Willy katakan kemarin, sore ini Widya, yang mungkin akan datang bersama Danar, bakal tiba.
Sejoli lain, Keita mendesah dalam hati. Ia menyiapkan dirinya lagi untuk merasa iri. walau ia tak perlu sebenarnya, mengingat Adisti sudah berbaik hati mengajukan diri untuk ikut bersamanya dan Jandi mengunjungi perkebunan yang ia kelola.
Ia seharusnya bisa memanfaatkan momen ini untuk lebih dekat dengan Adisti. Namun yang terjadi malah, Jandi yang menggantikan posisinya untuk menemani gadis itu.
Panggangan, meja, kursi-kursi rotan dan satu set peralatan makan sudah ia tata di pelataran belakang dengan bantuan Ceu Ayoh, pengurus rumah tangga yang ia pekerjakan untuk merawat rumah peristirahatannya.
Selesai mengeset tempat dan memberitahu bahwa seluruh makanan sudah disimpan dalam kulkas, Ceu Ayoh mohon diri dan berjanji untuk kembali esok pagi-pagi sekali.
Keita meraih sebuah buku yang tergeletak di kursi malasnya di beranda belakang, sangtuari senjanya. Ia lelah, namun tak sampai membutuhkan istirahat dalam, sedikit merebah sudah cukup.
Angin sepoi yang dingin membelai, membuatnya mengantuk dan mengabaikan buku yang sedang dibacanya. Sambil menyesap udara dingin pegunungan, Keita terpejam, menanti delusi yang biasanya muncul pada momen-momen seperti ini. Kehadiran seseorang. Bayangan seseorang, lebih tepatnya.
Kadang, bila sedang ngadem sore-sore begini, Keita merasa ia berhalusinasi Aira muncul di sampingnya. Sekedar duduk diam di sisinya, menemaninya. Awalnya Keita bergidik dan merinding sesekali, namun setelahnya, ia malah jadi terbiasa dan merasa nyaman karena ia tahu sosok yang paling ia sayang datang dan mengisi kesendiriannya walau hanya dalam ilusi semata. Tuhan, Keita kadang merasa dirinya sudah gila kronis, merasa aman ditemani sosok ilusi seseorang yang sudah meninggal.
Kali ini, di tengah kantuk yang perlahan menyerangnya, sosok ilusi itu datang lagi. Keita seperti mampu melihat Aira berdiri tersenyum menatapnya. Seperti biasa, bayangan itu mendekat dan duduk di sampingnya.
Kamu datang lagi Aira, benak keita coba bersuara.
Sosok bayangan itu menoleh, ayu dan pucat transparan, iya, Kei. Kamu nggak kangen?
Keita mendesah, sepertinya ia benar-benar sudah tidak waras, berkomunikasi dengan hantu…
“kangen..” bisik Keita pelan.
Bayangan Aira tersenyum mendengarnya, namun seperti mampu membaca pikiran Keita, bayangan itu mendekat ke sisi wajahnya, siap balas berbisik, “Nggak, Kei, kamu nggak kangen aku, silly. Kamu kangen Alena. Senang mendengar akal sehat kamu sudah kembali. Sebentar lagi tugasku bakal selesai. Admit it, kei!”
Keita mendesah berat, tanpa sadar ia mengangguk pelan, mengiyakan ucapan bayangan Aira.
Udara dingin menyapu wajah Keita seraya bayangan Aira menunduk untuk mengecup pipinya, “Have a nice evening, Kei..”
Keita terpejam saat merasakan bayangan Aira mulai menjauh. Hening senja sekali lagi menyelimuti. Hanya Keita, langit sore, dan rasa kangen yang coba ia akui.
Wish you were here, Alena, Keita membatin penuh rindu.
-
Kesadarannya kembali muncul di permukaan saat bahunya digoncang. Adisti duduk di sampingnya saat Keita membuka mata.
“Hey, sleeping beauty!” goda Adisti sambil menjawil pelan lengan atas Keita, “padahal belum aku cium tapi kamu udah keburu bangun.”
“Hehe, gimana hiking-nya?” tanya Keita sambil bangkit duduk berhadapan dengan Adisti.
Gadis itu mengangguk-angguk semangat, “Seru! Seru! Sayang elo nggak ikut Kei. Kita nyobain rute baru, tau!”
“Gue nyiapin barbeque, Dis..”
“Ya, I see that..” katanya sambil melirik ke arah panggangan dan meja kayu di tengah halaman.
“Umm Kei..”
“Hmm..” gumam Keita sambil memungut buku yang ternyata terjatuh ke lantai saat ia tertidur tadi. Mata Adisti menatapnya lekat saat ia mendongak.
“I wish you were here.”
Keita tercekat. Ia mengharapkan kata-kata itu terucap untuk seseorang. Tapi bukan gadis yang duduk di hadapannya ini. Dan mendapati Adisti mengucapkan kata-kata itu padanya begini, Keita jadi sedikit menyesal tidak mencoba tegas dengan perasaannya sejak dulu. Ia khawatir satu hati lagi tersakiti akibat ini.
“I am here, Disti..” bisik Keita pelan, sambil menoleh, menolak menatap mata yang mungkin akan ia sakiti nanti.
“ya, physically. But your mind’s not here. It’s out there. Kei.. gue disini buat elo, tahu..” Disti tersenyum pahit, mengakui.
Sekali lagi Keita kelu. Ia bingung harus bicara apa. ‘Makasih Disti, gue hargain banget usaha lo, tapi sayang pikiran gue kayaknya udah dipenuhin sama cewek laen tuh!’ huh, memikirkan kata-kata itu terucapkan saja sudah bikin Keita mual.
Melihat Keita terdiam begitu, Disti bangkit berdiri, “Anyway, liburannya menyenangkan kok. Thanks udah memperbolehkan gue ikut kesini. Yuk, Kei ke halaman, sebentar lagi yang lain keluar nyusul.”
Mereka baru beranjak menuruni tangga kecil di sisi beranda saat Adisti menahan siku Keita. “Tapi ingat ya, Kei, aku orangnya pantang menyerah, lho!”
Keita menelan ludah, bingung harus menjawab apa lagi, ia hanya mampu menggumam, “aku lupa! Aku ambil daging sama sayurannya dulu di dalam, ya..”
-
Aroma khas daging panggang menguar di senja temaram yang biasanya Keita nikmati sendiri. Ia dan Jandi kebagian tugas memanggang potongan-potongan daging yang sudah dipersiapkan Ceu Ayoh untuk acara barbeque sederhana ini. Sementara Adisti dan Anjani membuat lalapan, sambal dan mempersiapkan buah. Willy memilih membuat minuman untuk mereka berlima dan rombongan Widya yang berencana datang sore itu.
“Widya kok belum nyampe juga ya?” gumam Willy saat menuangkan cokelat hangat ke lima cangkir yang sudah di tata di atas meja rotan.
Anjani menyodorkan potongan apel ke arah Disti untuk disusun dalam piring buah, ia mengangkat bahu, “nyasar kali! Kita kan juga hampir nyasar pas kesini kemarin. Ditambah Danar kan nggak bener-bener paham medan jalan. Pasti agak kesulitan deh..”
“Mereka berdua aja?” Tanya Jandi sambil membawa potongan daging yang telah selesai dipanggang ke atas meja.
Willy dan Anjani berpandangan, masing-masing seperti menahan senyum. “sepertinya sih, begitu..” ucap Anjani kemudian.
Tak sampai 5 menit kemudian, deru ban menerjang kerikil yang disusul bunyi klakson terdengar menandakan rombongan Widya yang mereka tunggu sudah tiba. Anjani dan Willy dengan semangat bangkit dan beranjak menuju pelataran depan lewat jalan setapak kecil di sisi rumah peristirahatan, untuk menyambut Widya.
Suara ceriwis Widya membahana tak lama kemudian saat ketiganya kembali ke halaman belakang tempat barbeque diadakan.
“Gue makan dulu aja, ah! Capek banget tahu! Hampir nyasar tadi! Kita buta banget daerah sini. Mana jalanannya meliuk-liuk nanjak sempit pula! Aaahhh!! Barbeque!!”
Keita yang baru selesai menutup panggangan geleng-geleng kepala melihat polah khas teman lamanya ini.
“Ck..ck..ck.. Widya…”
Setengah berlari Widya mendekat ke tempat Keita berdiri, “Hai Kei!! Gue kebagian nggak nih?”
Keita berdecak, “Ampun deh, Wid. Elo baru datang tahu! Mandi dulu napa!”
“Dan kehilangan jatah makan gue diembat dia?” Widya menunjuk ke arah Willy, “Hm, sorry!”
Willy manyun melempar pandangan sebal pada sepupunya yang satu itu, Anjani harus setengah menyeretnya kembali ke meja makan.
“Kei, makasih ya, kita udah boleh ikut kemari..” ucap Widya tulus.
Keita merangkul bahu Widya, berjalan beriringan ke arah meja menyusul Willy dan Anjani, “ini punya elo juga kok. By the way, Danar mana?”
“Di belakang. Ngambil barang bawaan. Umm, Kei, selain Danar, gue bawa satu orang lagi. Gue harap elo nggak keberatan, ya…” pinta Widya agak ragu sambil melirik ke arah Adisti.
Kening Keita berkerut, “siapa?”
“Hai, semua maaf lama..” sapa Danar saat muncul di pelataran belakang, memotong Widya yang belum sempat menjawab pertanyaan Keita, “Alena menggigil gitu jadi kita cari sweater dia sebentar..”
Keita spontan berbalik cepat mendengar nama itu disebutkan. Ia pikir ia hanya berhalusinasi saat Danar menyebutkan nama itu. Namun sosok yang berdiri di samping Danar, menenteng backpack dengan wajah sedikit pucat karena kedinginan tersenyum dan melambai kikuk Wajah yang telah ia kangeni belakangan ini.
“Hai.. di sini dingin banget ya..” ujar Alena sambil mendekat ke meja. Tatapannya bertemu dengan rona kaget Keita, “Hai, Kei…”
“Hai..” jawab Keita dengan sama kikuk, masih tak menyangka gadis itu ada di dekatnya sekarang. Ia bahkan tak sadar, piring daging panggang yang ia bawa sebelumnya telah diselamatkan seseorang dan kini nangkring dengan nyaman di tengah meja.
Ia jadi paham sekarang kenapa ada quote ‘be careful with what you wish for, cause you might get it all..’.
Ia patut khawatir kedatangan Alena bisa membuat Disti sangat sakit hati. Namun sisi baiknya adalah, harapannya untuk membagi pagi dan senja indahnya disini dengan seseorang sepertinya akan kesampaian.
“So glad to meet you, Alena..”
-
pictures taken from this
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
lanjutkan!
BalasHapusyihaa...mba...aku kaya 'stalker' dlm cerita ini. penggemar pribadi keita-alena. :))
Gita..
BalasHapusSemalem, Alena sama Keita berbisik di kuping aku, mereka pingin aku menyampaikan ini :
"tidak masalah kisah kami dikuntit.. Membuat kami merasa nyata. Hanya, kami tidak tahu sampai sejauh mana kisah ini akan mengalir.."
:))