Ada sesuatu yang merasukinya kala menatap suasana kelabu di balik pintu kaca otomatis. Sebuah momen di masa lalu yang selalu memerangkapnya tanpa ampun. Membuatnya terpaku di tengah-tengah lobby kantor seperti gadis bodoh yang seenaknya melamun di pusaran riuhnya arus karyawan yang meluncur keluar seusai jam pulang.
Tapi sekali lagi, hujan yang mengancam di balik suasana kelabu itu memberinya waktu untuk mengurai sebuah kenangan lama.
Untaian peristiwa yang terjadi jauh sebelum ia bekerja di gedung perkantoran berlantai 22 ini, menyibukkan diri tiap senin hingga jumat dalam sebuah cubicle sejak jam 07.00 pagi hingga usai Maghrib, bahkan lebih larut jika ia harus lembur.
Tiap pulang setelah hari gelap, momen masa lalu itu tak pernah menggodanya. Merayunya untuk kembali melamun. Kenangan itu memilih menenggelamkan diri di balik selimut hangat di sudut benak. Dan akan keluar dari tidur panjang pada saat yang diinginkan. Tidak pernah terjadi dalam tiga tahun terakhir ini.
Namun di sore kelabu menjelang senja ini, momen itu seolah menggeliat dan memilih untuk merangsek keluar.
Ia tak lagi peduli pada tubuh-tubuh yang lalu lalang di sekelilingnya, pula pada gerutuan-gerutuan keras akan posisinya yang menghalangi langkah-langkah mereka. Ia juga tak peduli bahwa kelabu itu sebentar lagi akan memuntahkan hujan hingga ia harus bersiap basah kuyup sesampainya di kosan nanti. Atau pun bahwa ini adalah waktu yang langka di tengah jam kerjanya yang luar biasa panjang dan melelahkan, saat ia bisa pulang lebih awal dan menghibur dirinya sendiri dengan pergi belanja atau nonton film baru di Blitz megaplex.
Tidak. Ia masih terpaku di tengah lobby, walau perlahan mampu meraih kembali kesadaran atas suasana sekitar dan melangkah keluar dengan pelan. Tapi aura kelabu di balik pintu kaca otomatis itu masih menghipnotisnya. Mengingatkannya pada dirinya 3 tahun lalu.
Dan tiba-tiba saja sosok gadis muda kurus, berkeringat dan buta mode—terlihat dari busana yang dikenakan seperti tak tersentuh teori mix and match paling dasar sekalipun—melintas mengayuh sepeda mini vintage berkeranjang depan yang dipenuhi rangkaian bunga rose dan lily. Rambut sebahunya berkibar, kusam berlatar kelabu dengan rintik kecil gerimis yang mulai berkecipak di tubuhnya. Tangannya mulai gemetar kepayahan karena terlampau erat menggenggam kemudi, pun kakinya yang bergetar aus karena telah mengayuh seharian. Tapi wajah gadis itu memancarkan tekad keras, untuk mengantar pesanan rangkaian bunga terakhir itu pada seseorang di seberang jalan sana, yang menanti kelopak-kelopak cantik itu untuk diserahkan pada seorang wanita yang hendak ia lamar malam nanti.
Romansa yang mengetuk kalbunya di tengah kegigihannya mengayuh. Satu hal yang ia dambakan bisa hadir dalam kehidupannya yang seolah sama tak menariknya dengan penampilannya.
Bayangan familiar itu tak hilang dari matanya walau kakinya telah melangkah keluar ke teras gedung saat pintu kaca otomatis itu membuka dan memberinya ruang untuk menikmati dinginnya angin senja yang mengisi latar kelabu di hadapannya.
Ekor sepeda mini itu menyisakan kerlipan aneh, pantulan dari sisa matahari terbenam yang mengintip dari celah gumpalan awan kelabu, saat akhirnya kesadaran kembali menderas mengisi benaknya lewat sebuah tepukan pelan namun tegas di bahunya. Seulas senyum hangat yang telah menghiasi harinya belakangan ini muncul ketika ia menoleh pada sosok yang menepuk bahunya tadi.
Guratan lelah tak mampu menyembunyikan pancaran ketertarikan dan kekaguman di mata lelaki itu saat menatapnya. Padahal ia tak mampu membalas dengan intensitas yang sama. Ia belum sanggup.
“Yudhis..” bibirnya dengan lirih berbisik. Reflek.
Senyum lelaki yang dipanggil Yudhis itu makin merekah mendengar sapaan cepat itu. Membuatnya merasa familiar di mata si gadis.
“Pulang bareng, Kania…” ajak Yudhis tanpa basa-basi sedetik kemudian.
Ia, Kania, tertegun sejenak. Sambil menoleh ke spot terakhir bayangan gadis kusam bersepeda mini bisa dilihatnya. Bayangan itu menghilang. Tentu. Kenyataan menelannya kembali dan menaruhnya ke tempat yang seharusnya. Sosok dirinya di masa lalu.
“Kania…?”
“Ya?”
“Mau pulang bareng?” Yudhis menegaskan ajakannya melihat gestur Kania yang ambigu.
Sekali lagi mata Kania tertumbuk pada pancaran penuh harap yang menjulang di depannya. Tapi bayangan yang mengetuknya tadi membuat Kania mengingat sebuah tempat yang lama tidak ia kunjungi. Dan hatinya tergerak untuk berkunjung senja ini. Itu berarti Kania harus menolak ajakan Yudhis. Ya.
“Kita bisa makan malam dulu sebelum balik. Dan cari kado. Kamu ingin hadiah apa? Nggak apa, kan, kalau aku kasih lebih awal, dan tanpa kejutan?” Yudhis mencoba meyakinkan Kania lagi. Membuahkan kedipan terkejut dari gadis itu. Bertanya-tanya kado apa yang Yudhis maksud.
“Kado??” tanya Kania bingung.
“Besok? April? Dua puluh?” pancing Yudhis, mengira Kania pura-pura lupa. Tapi melihat rona bingung Kania yang tak juga hilang Yudhis akhirnya mengerti, “ya ampun Kania. Bukannya dua puluh April itu hari Ulang tahunmu, ya?”
Tatapan bingun Kania berangsur menghilang, walau ia masih tidak yakin kalau tanggal itulah yang akan menyongsongnya besok. Apakah aktivitas dan kesibukan pekerjaannya terlalu menyita perhatian Kania hingga ia amnesia hari? Kania menghela nafas, mulai mencerna maksud ajakan Yudhis.
“Maaf. Lain kali, ya, Yud..” tolak Kania halus.
Kedua alis Yudhis berkerut, bertemu di satu titik di awal lekukan tulang hidung. “Kamu ada acara lain?” ia bertanya ragu, ingin tahu namun di saat yang sama khawatir dicap terlalu ikut campur.
Kania tersenyum mengerti, ia lalu menggeleng pelan dan mulai melangkah menembus gerimis.
“Sampai nanti, Yudhis…”
Lambaian singkat jemari Kania adalah hal terakhir yang Yudhis tatap sebelum sosok ayu itu menghilang di tikungan jalan.
“Sampai nanti, Kania. Selamat Ulang Tahun…” bisiknya lirih, sebelum akhirnya beranjak pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar