Senin, 24 September 2012

my Grey. Mine.

Panas menyengat membelai wajah. Namun pengaruhnya tak seberapa besar seperti waktu aku menjadi manusia normal dulu. Ini mungkin keistimewaan pelindung : imun terhadap perubahan cuaca. Setidaknya di saat sesi latihan seperti ini.

Walaupun dikondisikan seperti aslinya, dengan temperatur yang menyesuaikan dan sebagainya, tubuh kami—para pelindung—akan belajar sedikit demi sedikit beradaptasi. Kami akan merasakan sengatan panas, menusuknya dingin, tetes basah hujan, sedetik dua detik rasa tak nyaman akan merayap, namun selanjutnya tubuh dengan sendirinya akan menyesuaikan. Sosok di depanku ini menginformasikan hal tersebut barusan, ketika kutanyakan kenapa aku tak benar-benar kepanasan.

Kami sedang berada di satu titik di jalanan kosong salah satu interstate sepi di selatan U.S. menjalani sesi latihan adaptasi. Hanya kami berdua. 

Gregori mengawasi dari entah dimana tentu saja, namun ia tak menampakkan diri. 
Jadi, yah, berdua. Cowok bermata kelabu ini masih asyik menerangkan mekanisme perubahan termoregulasi pada tubuh seorang pelindung. Bla, bla, bla. Dan aku, dengan tak menghiraukan ucapan yang keluar dari bibirnya, sibuk mengamatinya.

 “You’re so Asia,you know..” 

“Pardon?” rautnya agak kaget karena disela di tengah-tengah penjelasan. 

“Wajah kamu itu saangat Asia. Bahkan jelas jelas garis wajah Asia Tenggara. Jadi mau sekental apapun aksen English British-mu itu, kamu nggak bisa menipuku.

” Dahinya berkerut, menampilkan raut tak mengerti. Atau pura-pura tak mengerti. 

“Dan kamu itu mengingatkanku pada seseorang..” 

Dia merasakan itu, aku melihat dari pancaran matanya bahwa dia tahu apa yang aku bicarakan—dirinya. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan, juga topik pembicaraan. 

“Kalau kamu sudah mengerti kenapa kamu tak merasakan perubahan signifikan terhadap temperatur, sebaiknya kita mulai sesi latihan hari ini.” 

“Kamu mengingatkanku pada Raka.” 

Dan ia sontak membeku. Menjawab rasa penasaran yang selama ini mengendap di benakku sejak pertama kali bertemu dengannya. 

“Mungkin karena kemiripan nama. You know, Raka dan Arakata.” 

Tahu bahwa itu salah satu usahanya untuk berkilah, aku hanya tersenyum. “No, it’s more than just a name.” 

Ia masih enggan menatap mataku. “Sebaiknya latihan dimulai.” 

“It’s weird, karena aku menyukai Raka. Dan melihat kembali sosoknya dalam bentuk yang berbeda seperti ini cukup mempengaruhi perasaanku.” Entah dorongan apa yang mendesakku membuat pengakuan seperti itu. Namun tak ada kesan menyesal tersisa. 

Aku memandangnya terpaku. Wajahnya menatap sudut jauh di padang tandus. “Aku mau memanggil Raka, boleh?” lenganku terulur, menangkap kelingkingnya yang terkulai di sisi tubuh. 

Saat itulah ia menoleh, memandangku tajam, “No.. Aku Ara. Arakata.” Persisten, seperti biasa. 
Dan ia menarik lengannya menjauh, namun tatapannya melembut. “I can’t be that.. Your Raka anymore. But i can be your Ara. Your Grey.” 

Benak yang tak seberapa lincah mencerna ini masih sibuk memproses ucapan si ‘kelabu’ tadi. Ya, Gregori pernah bicara padaku suatu waktu, sekali seseorang bertransformasi menjadi kaum kelabu dan mengabdikan dirinya mendampingi seorang pelindung dalam masa pelatihannya, maka ia harus meninggalkan masa lalunya. Seperti seorang pelindung sendiri hidup—meninggalkan masa lalu dalam satu kompartemen yang diam di sudut memori tak terjangkau. 

Setidaknya si kelabu ini ‘milik’ku. Meski ia bukan Raka. 

“My only Grey?” tanyaku mengkonfirmasi. 

Si mata kelabu itu terdiam sesaat, tatapan lembutnya masih terkunci dengan mataku. Lalu dengan mantap ia mengangguk. 

My Grey. My only Grey.

Sabtu, 08 September 2012

kembali...

Even now when I'm alone I've always known with you I am home
For me it's a glance and the smile on your face the touch of your hands And an honest embrace
For where I lay it's you I keep, This changing world I fall asleep With you all I know is I'm coming home, Coming home
Aku rindu tetes hujan. 
Ritmenya yang menenangkan. Aroma tanah basah yang melipur perih. Kesejukan alami yang menyelubungi. 
Aku rindu berjalan di bawahnya. Seperti yang kerap aku lakukan dulu. Hujan mengingatkanku akan keberadaan dirinya. Arakata. 
Sepuluh tahun yang panjang. Namun terlalu singkat begitu terlewati. Detik-detik dia ada di sampingku, menemani saat pelatihan berat demi memperkuat circle. Memenuhi takdirku. 
Dia takut hujan, itu yang mengingatkanku padanya. 
Seperti transformasi dirinya menjadi seekor kucing bermata kelabu, ia juga mewarisi sifat kucing yang agak alergi air. Ribut tak jelas tiap kali aku bermain di bawah hujan, membasuh rasa frustasi akibat latihan berat dan tugas dalam circle. 
Sosok manusia-nya mendadak muncul tiap kali aku membandel dan Gregori sudah terlalu lelah dan malas menyuruhku kembali ke mode pelindung alih-alih bertingkah seperti anak kecil berlarian dalam hujan. Gregori licik. Selalu tahu titik lemahku. 
Tangannya hangat menggenggam pergelangan tanganku, erat, memfiksasi tubuhku agar berhenti bergerak. Suaranya terdengar jelas meski bersaing agar tak teredam riuh hujan. 
Dia memaksaku menatap mata kelabunya. Hingga aku kikuk sendiri. 
“Balik!” tegas, namun tak terdengar kasar. Sorot matanya sama kukuh. “Atau lo mau ngebunuh gue dengan hujan-hujanan begini.” 
Sebatas itu, dan aku kelu. 
Berbagai kalimat untuk menukas balik kata-katanya berkelebat percuma. Hilang sekejap ditelan genggaman hangat dan sorot tegasnya. Dan aku tahu dari balik kanopi teras, Gregori berdiri angkuh dengan senyum kecil yang jarang muncul di wajahnya. Menikmati kekalahanku. 
Kalau sudah begitu, aku akan terseret di belakang langkahnya kembali ke Camp. 

Sepuluh tahun, dan hujan tak akan pernah terasa sama lagi. 
Karena dalam hujan terakhir kali itu, ia pergi. Menghilang dalam deru hujan yang katanya ia benci. 
Seketika aku kehilangan genggam hangat dan sorot kukuh yang persisten memaksaku kembali pulang. 
Aku rindu hujan. 
Meski dalam siluet yang terselubung derai lebat, aku menginginkan sensasi kehadirannya. Kembali ke sini. Di sisiku.

quoted text : Home - Vanessa Carlton