Jumat, 20 Juli 2012

tarawih pertama




Ramadhan Mubarak, fellas..

Do you –anyone who read this, miss this holy month as much? Dengan jutaan kebaikan yang Allah (swt) janjikan. Dengan jutaan rahmah dan berkah yang dipastikan datang di tiap detiknya. Apa kerinduanmu mulai terlapisi aktivitas dunia yang mengekang? Karena ada antisipasi yang mulai memudar tiap Ramadan mendekat, kamu bahkan nggak mengenali tandanya.

Previous Ramadan was my first Ramadan in the new place. Semuanya serba baru dan serba sendiri. Yang biasanya bangun sahur diomel-omel Ibu sekarang diomel-omel sama alarm ponsel. Yang biasanya tarawih dikelilingi wajah-wajah familiar sejak bayi, sekarang sekelilingnya diisi oleh sosok-sosok asing yang baru terlihat sekilas satu atau dua kali. Menu buka puasa yang harus dikreasikan sendiri agar sesuai kantong dan mengenyangkan.. it was a fight i would remember forever.

Ramadan tahun ini.. saya masih di Bandung. Alhamdulillah. Masih sendiri dan sepertinya bakal melakukan rutinitas Ramadan yang sama seperti Ramadan tahun lalu. Biarlah, melatih saya juga biar lebih mandiri dan nggak jadi makhluk dependent.

Yang berbeda, hanya untuk tahun ini saya nggak lagi sahur pertama di Rumah Sakit. Saya bisa sahur pertama di rumah bareng keluarga dan kembali merasakan Tarawih pertama di kampung. Doa-doa yang familiar. Wajah-wajah yang familiar. Suasana yang lebih homey.

Tarawih hari pertama seperti biasa padat minta ampun sampai jamaah meluber keluar. I was one of the lasts to come jadi nggak kebagian shaf di dalam mushola. Luckily, my Mom anticipated this situation and brought tikar with her. Jadilah, kami, dan beberapa ibu-ibu lain –termasuk Mbah, solat tarawih di luar beralas tikar.

Situasi ini mengingatkan saya dengan ucapan guru agama saya semasa SMA. Beliau pernah bercerita betapa nyamannya kita solat di dalam masjid/musola yang adem, bahkan berpendingin udara, beralas sajadah empuk. Apa jadinya di masa Nabi (saw) dulu, di masa perang melawan kaum kafir, kaum mukmin harus ibadah di alam terbuka. Bahkan hanya beralas tanah. Kalau malam mungkin iya adem, kalau siang dan menyengat, apa jadinya. Kita patut bersyukur. Benar-benar patut bersyukur.

Saya bersyukur bisa merasakan pengalaman itu, beribadah di alam terbuka, sujud di atas permukaan tanah yang nggak rata dan bercampur kerikil kecil, kadang bikin jidat kita rada senut-senut. Di samping itu, selain mendengarkan suara imam dari dalam musola, saya juga ditemani bebunyian khas malam : suara jangkrik. Musola kecil kampung kami memang terletak tak jauh dari sawah dan pemukiman yang masih cukup jarang penduduk.

Suasana itu mengingatkan saya akan kesederhanaan yang telah membesarkan saya.
Jauh dari hiruk pikuk kota –walaupun berjarak hanya beberapa puluh meter dari jalan raya, namun minim kebisingan lalu lintas.

Kesederhanaan yang selalu saya kangeni tiap berada di Bandung.

Dan itu, semoga cukup menjadi bekal awal untuk memperbaiki diri dalam tempaan bulan suci 30 hari ke depan.

Semoga keberkahan mengaliri kita dalam hari-hari sarat rahmat ini. Selamat beribadah, teman. 

Kamis, 19 Juli 2012

and all roads end in you


Dan pada suatu hari, tanpa kamu tahu, aku menyadari semua hal pada akhirnya mengarah kepadamu. Semua petunjuk berakhir di tempatmu.

Sayang, aku yang terlambat sadar.

Senin, 02 Juli 2012

aku, kamu


Peluk ini jingga
Merayap di sudut awan
Menyusupi tirai mega mencari kasih

Hangat ini biru
Membelai jiwa dalam semilir damai
Basahi hati di tengah pilu sendiri

Senyum ini abadi
Terpaku dalam gumpalan memori
Hinggap dalam semayam temaram

Hidup ini warna
Bercampur baur dalam kilasan abstrak
Mengejutkan dan penuh arti

Kamu ini cinta
Dalam peluk hangat menenangkan
Tersenyum dalam anyaman hidup

Aku ini bayang
Terselip dalam tiap langkahmu di bawah mentari
Dipayungi awan mengikuti

Kamu.