Senin, 17 Desember 2012

6 years and getting older...


6 years.

And i finally realize that i’m aging so fast. Been 6 years since i was titled as highschool student.

Yes, it’s always interesting to come home for a break from work. There are always stories. About the heat. Short yet noisy and annoying traffic. Familiar sight that likely to change bit by bit.

Kota kecil ini, seperti yang selalu saya bilang, selalu memaksa saya untuk mengamati, untuk berkontemplasi sesaat. Warming up my brain yet refreshin’ it at the same time.
My favorite activity during my walk home. Thinking. Fantasizing. Imagining.

Dan sore ini, di akhir hari-hari cuti saya di kota kecil ini, saya mengunjungi almamater SMA.


Banyak yang berubah, seperti warna tembok gedung sekolah yang kini terlapisi warna hijau seluruhnya. Pagar yang diganti lebih tinggi. Masjid sekolah yang sedang dalam proses pembangunan, yang walaupun belum sempurna terbangun, ia terlihat megah untuk ukuran masjid dalam lingkungan sekolah.

Ruangan kelas yang terpasang pendingin udara. Which makes me wondering, how could they proudly called themselves now, a green school if their use of electricity is oversized.

While it’s nice to see lapangan basket/futsal yang dulu banjir tiap hujan dan bikin kolam mini di sana-sini, sekarang terlindungi kanopi besar, menjadikannya terlindungi dari hujan dan mengurangi panas. I was chuckling that time i saw that canopied field, wondering.. kasian banget ya, anak-anak Pasus sekarang nggak punya alasan lapangan banjir atau hujan untuk sejenak mangkir latihan. Tapi betapa enaknya mereka nggak perlu berpanas-panas ria tiap latihan rutin upacara atau menjelang 17 Agustus.


Oh, dan sudah ada connector path di lantai 2 untuk tiap gedung kelas. Kebayang, dulu kalau mau ke gedung sebelah/seberang harus muter turun tangga ke koridor bawah lalu naik lagi di gedung yang dituju.


See, it’s way so much different. As years passed, my old school—as well as this hot-humid little town, has changed. Mempercantik diri, ingin ikut bersisian dengan modernisasi, berniat memperbaiki.

But, to be honest, i miss my old highschool the way it used to be. Old buildings. Old classes. Spooky corridors. Haha. Old time.

And a long lost unsaid love.

Sabtu, 17 November 2012

he's the owlsomeness!!

i still remember clearly, on October 28th, last year, saya cuma bisa ngelamun di kamar ngebayangin ingar bingar crowd di venue Tennis Indoor Senayan.
Everybody had so much fun watching Adam Young sang in front of their eyes. It was a great envy to those who attended the show. Really. jadi, saya berikrar, niat untuk nabung sejak dini barangkali saya punya kesempatan lain untuk nonton Owl City langsung. Dan taraaa.. Alhamdulillah, this tribune ticket was in my grasp, right at the first opening of tickets sale.  


Owl City The Midsummer Station Jakarta Concert. That was the theme of this year's concert. Album ini isinya cukup berbeda dibandingkan dengan materi album Owl City terdahulu.
But still, kamu masih bisa mengenali ciri khas Adam Young di dalamnya. Pop electronica dengan lirik-lirik motivasional khas dia yang moving banget itu. He's still inspirational, one of my role models in life.


And it was my first live concert! The trip dari Bandung, the whole anticipation. Unexpected happenings. A rushing yet emotional moments through harsh afternoon life in the beloved capital. What a once-in-a-lifetime experience yang nggak akan terlupakan seumur hidup.


Dan performance Owl City?
OWLSOOOMMEEE!!!!
22 lagu dibawakan secara kontinyu dari Dreams and Disasters sampai Gold sebagai penutup. Seumur hidup saya nggak akan pernah melupakan betapa berartinya music intro dari Dreams and Disasters sebagai pengiring kemunculan Adam Young di atas panggung. He's as charming, and owlsome, and lovely as usual. Dan menonton stage performance dia itu adiktif.
I wanted him singing more songs. lebih lama dari 90 menit itu.  


then i love him more and more and more! :)

Senin, 24 September 2012

my Grey. Mine.

Panas menyengat membelai wajah. Namun pengaruhnya tak seberapa besar seperti waktu aku menjadi manusia normal dulu. Ini mungkin keistimewaan pelindung : imun terhadap perubahan cuaca. Setidaknya di saat sesi latihan seperti ini.

Walaupun dikondisikan seperti aslinya, dengan temperatur yang menyesuaikan dan sebagainya, tubuh kami—para pelindung—akan belajar sedikit demi sedikit beradaptasi. Kami akan merasakan sengatan panas, menusuknya dingin, tetes basah hujan, sedetik dua detik rasa tak nyaman akan merayap, namun selanjutnya tubuh dengan sendirinya akan menyesuaikan. Sosok di depanku ini menginformasikan hal tersebut barusan, ketika kutanyakan kenapa aku tak benar-benar kepanasan.

Kami sedang berada di satu titik di jalanan kosong salah satu interstate sepi di selatan U.S. menjalani sesi latihan adaptasi. Hanya kami berdua. 

Gregori mengawasi dari entah dimana tentu saja, namun ia tak menampakkan diri. 
Jadi, yah, berdua. Cowok bermata kelabu ini masih asyik menerangkan mekanisme perubahan termoregulasi pada tubuh seorang pelindung. Bla, bla, bla. Dan aku, dengan tak menghiraukan ucapan yang keluar dari bibirnya, sibuk mengamatinya.

 “You’re so Asia,you know..” 

“Pardon?” rautnya agak kaget karena disela di tengah-tengah penjelasan. 

“Wajah kamu itu saangat Asia. Bahkan jelas jelas garis wajah Asia Tenggara. Jadi mau sekental apapun aksen English British-mu itu, kamu nggak bisa menipuku.

” Dahinya berkerut, menampilkan raut tak mengerti. Atau pura-pura tak mengerti. 

“Dan kamu itu mengingatkanku pada seseorang..” 

Dia merasakan itu, aku melihat dari pancaran matanya bahwa dia tahu apa yang aku bicarakan—dirinya. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan, juga topik pembicaraan. 

“Kalau kamu sudah mengerti kenapa kamu tak merasakan perubahan signifikan terhadap temperatur, sebaiknya kita mulai sesi latihan hari ini.” 

“Kamu mengingatkanku pada Raka.” 

Dan ia sontak membeku. Menjawab rasa penasaran yang selama ini mengendap di benakku sejak pertama kali bertemu dengannya. 

“Mungkin karena kemiripan nama. You know, Raka dan Arakata.” 

Tahu bahwa itu salah satu usahanya untuk berkilah, aku hanya tersenyum. “No, it’s more than just a name.” 

Ia masih enggan menatap mataku. “Sebaiknya latihan dimulai.” 

“It’s weird, karena aku menyukai Raka. Dan melihat kembali sosoknya dalam bentuk yang berbeda seperti ini cukup mempengaruhi perasaanku.” Entah dorongan apa yang mendesakku membuat pengakuan seperti itu. Namun tak ada kesan menyesal tersisa. 

Aku memandangnya terpaku. Wajahnya menatap sudut jauh di padang tandus. “Aku mau memanggil Raka, boleh?” lenganku terulur, menangkap kelingkingnya yang terkulai di sisi tubuh. 

Saat itulah ia menoleh, memandangku tajam, “No.. Aku Ara. Arakata.” Persisten, seperti biasa. 
Dan ia menarik lengannya menjauh, namun tatapannya melembut. “I can’t be that.. Your Raka anymore. But i can be your Ara. Your Grey.” 

Benak yang tak seberapa lincah mencerna ini masih sibuk memproses ucapan si ‘kelabu’ tadi. Ya, Gregori pernah bicara padaku suatu waktu, sekali seseorang bertransformasi menjadi kaum kelabu dan mengabdikan dirinya mendampingi seorang pelindung dalam masa pelatihannya, maka ia harus meninggalkan masa lalunya. Seperti seorang pelindung sendiri hidup—meninggalkan masa lalu dalam satu kompartemen yang diam di sudut memori tak terjangkau. 

Setidaknya si kelabu ini ‘milik’ku. Meski ia bukan Raka. 

“My only Grey?” tanyaku mengkonfirmasi. 

Si mata kelabu itu terdiam sesaat, tatapan lembutnya masih terkunci dengan mataku. Lalu dengan mantap ia mengangguk. 

My Grey. My only Grey.

Sabtu, 08 September 2012

kembali...

Even now when I'm alone I've always known with you I am home
For me it's a glance and the smile on your face the touch of your hands And an honest embrace
For where I lay it's you I keep, This changing world I fall asleep With you all I know is I'm coming home, Coming home
Aku rindu tetes hujan. 
Ritmenya yang menenangkan. Aroma tanah basah yang melipur perih. Kesejukan alami yang menyelubungi. 
Aku rindu berjalan di bawahnya. Seperti yang kerap aku lakukan dulu. Hujan mengingatkanku akan keberadaan dirinya. Arakata. 
Sepuluh tahun yang panjang. Namun terlalu singkat begitu terlewati. Detik-detik dia ada di sampingku, menemani saat pelatihan berat demi memperkuat circle. Memenuhi takdirku. 
Dia takut hujan, itu yang mengingatkanku padanya. 
Seperti transformasi dirinya menjadi seekor kucing bermata kelabu, ia juga mewarisi sifat kucing yang agak alergi air. Ribut tak jelas tiap kali aku bermain di bawah hujan, membasuh rasa frustasi akibat latihan berat dan tugas dalam circle. 
Sosok manusia-nya mendadak muncul tiap kali aku membandel dan Gregori sudah terlalu lelah dan malas menyuruhku kembali ke mode pelindung alih-alih bertingkah seperti anak kecil berlarian dalam hujan. Gregori licik. Selalu tahu titik lemahku. 
Tangannya hangat menggenggam pergelangan tanganku, erat, memfiksasi tubuhku agar berhenti bergerak. Suaranya terdengar jelas meski bersaing agar tak teredam riuh hujan. 
Dia memaksaku menatap mata kelabunya. Hingga aku kikuk sendiri. 
“Balik!” tegas, namun tak terdengar kasar. Sorot matanya sama kukuh. “Atau lo mau ngebunuh gue dengan hujan-hujanan begini.” 
Sebatas itu, dan aku kelu. 
Berbagai kalimat untuk menukas balik kata-katanya berkelebat percuma. Hilang sekejap ditelan genggaman hangat dan sorot tegasnya. Dan aku tahu dari balik kanopi teras, Gregori berdiri angkuh dengan senyum kecil yang jarang muncul di wajahnya. Menikmati kekalahanku. 
Kalau sudah begitu, aku akan terseret di belakang langkahnya kembali ke Camp. 

Sepuluh tahun, dan hujan tak akan pernah terasa sama lagi. 
Karena dalam hujan terakhir kali itu, ia pergi. Menghilang dalam deru hujan yang katanya ia benci. 
Seketika aku kehilangan genggam hangat dan sorot kukuh yang persisten memaksaku kembali pulang. 
Aku rindu hujan. 
Meski dalam siluet yang terselubung derai lebat, aku menginginkan sensasi kehadirannya. Kembali ke sini. Di sisiku.

quoted text : Home - Vanessa Carlton

Kamis, 23 Agustus 2012

hello, there..

hello again..

i sometimes hate you, but for this time, i really need to be here...

so,please, be nice to me..

Rabu, 22 Agustus 2012

this cold nostalgia chills me to the bone



Well, this is the town i used to hate a lot. With its heat, humid weather, and all that sun rays to be blamed for my dark skin, and all that chickening out so my love life was as flat as the surf board.

Tapi ini kota kecil panas dan sumpek yang sekarang justru saya kangeni habis-habisan. For its heat and humid weather, for being-at-home feeling, untuk tiap memori yang membawa saya pada sebuah nostalgia.

Ini kota yang membuat saya bercerita.

Oh, iya..
So long Ramadan kareem.
Taqabalallahu minna wa minkum. Eid Mubarak dear readers, whoever you are.

Semoga hidayah dan berkah ramadan mengiring di hari kita selanjutnya dan tetap terjaga hingga Ramadan tahun depan. Semoga dipertemukan lagi. Amin.

Luckily, tahun ini saya nggak begitu ngaret mudik. Saya bisa pulang kampung 2 hari setelah lebaran. Though, unluckily, saya harus balik lagi ke bandung 2 hari kemudian. Poor me, YES!

Jadi saya berikrar untuk benar-benar mengoptimalkan kepulangan saya ini. Ketemu teman-teman dan silaturahmi dengan keluarga besar.

Plan awalnya adalah menyediakan hari pertama untuk keluarga, dan esoknya saya mau main sama teman lama sepuasnya.

Plan changed. Bocah-bocah itu mendadak kumpul pada hari pertama kepulangan saya. Terpaksa saya-lah yang harus mengubah rencana. Half day for my family, and the other half of my first day was for bestfriends rendezvous.

I didn’t regret it, though.
I just met 5 persons. 5 persons that make my life matters and hugely meaningful.
5 persons who have changed me and helped me shaping myself.

In random order..

Lizzie a.k.a Liza Zahrotussobah

Tiga tahun sekelas, dan akhirnya sebangku bareng pas kelas tiga. Paling bete kalau sudah diledek saat dia ketawa dibilang matanya ngilang, saking menyipitnya. She’s such a smart, half-ignorant yet friendly person. Buktinya saya tahan sebangku Liza selama setahun. Eh, lebih ke si Liza yang terpaksa tahan sebangku gue yah, :)
Dan justru karena tahun terakhir itu yang sangat sangat berarti. Karena lepas dari SMA justru kami berdua makin erat. She’s one of those most supportive people who played important role of my effort to rise during and after that specific therapy. Gomawo.

Lintz a.k.a Lintang Meidita Pribadi

Partner-in-crime selama di Bandung!! Haha, aku kangen kamuu lintang, cepat kembali ke kota kembang yah yah *rayu*. Salah satu dari laskar kurcaci pasus smansa. Tempat saya ngabur kalau lagi suntuk di kosan dan nyari tempat buat diberantakin. Eh padahal kamar dia juga udah berantakan yah. Peace, lintz.
“tempat sampah” yang dengerin keluh kesah saya yang kadang capek sama kerjaan, kadang juga kehidupan percintaan yang datar. The one that i shared all wishes to study abroad and exploring places overseas. We should chase those dreams, ya, lints.

Dewee a.k.a Dewi Sri Hartanti

Si emak gempal satu ini, beneran berjiwa (dan berwajah) emak-emak. Peace, Dew!! Beliau ini pemimpin laskar kurcaci smansa. ‘atasan’ saya waktu di Pasus dulu. Buat saya pribadi Dewe itu, selain jadi tempat contekan matematik dan fisika paling oke ya—juga jadi one of my most trusted advisors.
Dari kepalanya bisa nongol ide-ide gila namun kreatif, dan sejuta impian yang mungkin ngga terbayang di benak orang-orang kebanyakan. Sekarang sih katanya beliau sedang mengejar si passion jadilah kami anak-anaknya agak dicuekin begitu, hehe.. kadang bijak, kadang gila, kadang ngasal, kadang orang satu ini musti dikejar-kejar gara-gara latah keceplosan nyebut-nyebut perasaan kita di depan cowok kecengan tanpa tahu malu. Tapi tetep deh, kalau mau minta nasehat, tentang apapun, pasti larinya sama si emak yang satu ini.

nny a.k.a Fanny Judistya Perdani

my soul sister. Nggak cukup dengan sekelas selama 2 tahun di SMA, kami berdua sekelas juga selama hampir 3 tahun di bimbel Inggris. Kurang dekat apa coba? Heu. Partner-in-crime saya juga. One of my most trusted advisors. Supel, temen-temen fanny itu ada dimana-mana, because she is one of the most friendly person on earth that i’ve ever known. *lebay, i know*
Saking ketergantungan curhat sama fanny, dia tahu belang dan manisnya saya kayak gimana. And how imperfect us—as human could become.. momen-momen terburuk saya juga pernah fanny tahu. Termasuk saat saya dengan malu-maluinnya jatuh dari angkot yang fully loaded. *tutupmukamalu*
Inggrisnya jago.. banget. Bahasa korea-nya juga, sampai-sampai dia sempet dikirim ke Seoul untuk event budaya gitu, lah. Keren. Ngiri. Pengen ketemu Siwon jugaa.. *nahlho*

Adit a.k.a Aditya Hariwibowo

Hmm.. He’s a.. umm..
Haha, he’s my almost lover, once (there, announce it publicly). Yang paling akhir bertemu dibanding para wanita di atas. Di sekolah kami nggak pernah sekelas. Kenal juga awalnya gara-gara dia harus transfer kelas di bimbel Inggris. Dari situlah kami berdua mulai dekat. Sampai jadi almost lover. Dan sampai sekarang.
Hampir semua sahabat saya perempuan. Lebih karena saya punya masalah dengan kemampuan verbal saya terhadap lawan jenis. But, he’s one rare exception. I tell him a lot. Hal yang awalnya saya pikir ngga pernah bisa saya lakukan ke lawan jenis. Bercerita banyak. Gomawo, ya.
Si gendut ini lebih sobat sama si fanny sebenarnya. Mereka lebih nyambung ngobrol dalam obrolan apapun. Dan karena rumah mereka berdua sejurusan, kemana-mana mereka lebih sering barengan. Bahkan belakangan, dan karena insiden kemarin, mereka berdua dikabarkan sedang dalam proses pedekate. *suit-suit*

I really have no idea whether i should feel good or sad about that. Hee..*nahlho* *berdoa dalam hati anak-anak itu ngga baca postingan ini*

Haha.. you guys have made my life a lot like life itself.. :)

we meet  when rain was nowhere in sight, and thirst for soothing warm was undeniable
we walk then run then fly then conquer the sky
we shine and spark as love’s ignited and hearts are embraced
we gather as the colors mingle and the memory tingles
we live peacefully in the life full of fake and chaos
we will stay strong
yes, we will..

vero sayang kaliaaannnn... *pelukkecup*

Jumat, 20 Juli 2012

tarawih pertama




Ramadhan Mubarak, fellas..

Do you –anyone who read this, miss this holy month as much? Dengan jutaan kebaikan yang Allah (swt) janjikan. Dengan jutaan rahmah dan berkah yang dipastikan datang di tiap detiknya. Apa kerinduanmu mulai terlapisi aktivitas dunia yang mengekang? Karena ada antisipasi yang mulai memudar tiap Ramadan mendekat, kamu bahkan nggak mengenali tandanya.

Previous Ramadan was my first Ramadan in the new place. Semuanya serba baru dan serba sendiri. Yang biasanya bangun sahur diomel-omel Ibu sekarang diomel-omel sama alarm ponsel. Yang biasanya tarawih dikelilingi wajah-wajah familiar sejak bayi, sekarang sekelilingnya diisi oleh sosok-sosok asing yang baru terlihat sekilas satu atau dua kali. Menu buka puasa yang harus dikreasikan sendiri agar sesuai kantong dan mengenyangkan.. it was a fight i would remember forever.

Ramadan tahun ini.. saya masih di Bandung. Alhamdulillah. Masih sendiri dan sepertinya bakal melakukan rutinitas Ramadan yang sama seperti Ramadan tahun lalu. Biarlah, melatih saya juga biar lebih mandiri dan nggak jadi makhluk dependent.

Yang berbeda, hanya untuk tahun ini saya nggak lagi sahur pertama di Rumah Sakit. Saya bisa sahur pertama di rumah bareng keluarga dan kembali merasakan Tarawih pertama di kampung. Doa-doa yang familiar. Wajah-wajah yang familiar. Suasana yang lebih homey.

Tarawih hari pertama seperti biasa padat minta ampun sampai jamaah meluber keluar. I was one of the lasts to come jadi nggak kebagian shaf di dalam mushola. Luckily, my Mom anticipated this situation and brought tikar with her. Jadilah, kami, dan beberapa ibu-ibu lain –termasuk Mbah, solat tarawih di luar beralas tikar.

Situasi ini mengingatkan saya dengan ucapan guru agama saya semasa SMA. Beliau pernah bercerita betapa nyamannya kita solat di dalam masjid/musola yang adem, bahkan berpendingin udara, beralas sajadah empuk. Apa jadinya di masa Nabi (saw) dulu, di masa perang melawan kaum kafir, kaum mukmin harus ibadah di alam terbuka. Bahkan hanya beralas tanah. Kalau malam mungkin iya adem, kalau siang dan menyengat, apa jadinya. Kita patut bersyukur. Benar-benar patut bersyukur.

Saya bersyukur bisa merasakan pengalaman itu, beribadah di alam terbuka, sujud di atas permukaan tanah yang nggak rata dan bercampur kerikil kecil, kadang bikin jidat kita rada senut-senut. Di samping itu, selain mendengarkan suara imam dari dalam musola, saya juga ditemani bebunyian khas malam : suara jangkrik. Musola kecil kampung kami memang terletak tak jauh dari sawah dan pemukiman yang masih cukup jarang penduduk.

Suasana itu mengingatkan saya akan kesederhanaan yang telah membesarkan saya.
Jauh dari hiruk pikuk kota –walaupun berjarak hanya beberapa puluh meter dari jalan raya, namun minim kebisingan lalu lintas.

Kesederhanaan yang selalu saya kangeni tiap berada di Bandung.

Dan itu, semoga cukup menjadi bekal awal untuk memperbaiki diri dalam tempaan bulan suci 30 hari ke depan.

Semoga keberkahan mengaliri kita dalam hari-hari sarat rahmat ini. Selamat beribadah, teman. 

Kamis, 19 Juli 2012

and all roads end in you


Dan pada suatu hari, tanpa kamu tahu, aku menyadari semua hal pada akhirnya mengarah kepadamu. Semua petunjuk berakhir di tempatmu.

Sayang, aku yang terlambat sadar.

Senin, 02 Juli 2012

aku, kamu


Peluk ini jingga
Merayap di sudut awan
Menyusupi tirai mega mencari kasih

Hangat ini biru
Membelai jiwa dalam semilir damai
Basahi hati di tengah pilu sendiri

Senyum ini abadi
Terpaku dalam gumpalan memori
Hinggap dalam semayam temaram

Hidup ini warna
Bercampur baur dalam kilasan abstrak
Mengejutkan dan penuh arti

Kamu ini cinta
Dalam peluk hangat menenangkan
Tersenyum dalam anyaman hidup

Aku ini bayang
Terselip dalam tiap langkahmu di bawah mentari
Dipayungi awan mengikuti

Kamu.

Selasa, 12 Juni 2012

early in the morning


Ia menjulang, walau dari kejauhan. Tinggi badannya tak berapa signifikan dari tinggi badan pria rata-rata. Tapi aku selalu bisa membedakannya dari wajah-wajah lain, meski dari jauh.

Dengan kepala cepaknya yang helai rambutnya kini sedikit lebih tebal. Atau raut lelah sehabis jaga semalam suntuk dan membludaknya pasien di IGD. Senyum familiar yang ia tawarkan selalu menghangatkan hati.

“Sarapan?” ajakku, sedikit miris melihat lingkaran tebal di sekeliling mata cokelatnya.
Ia menggeleng enggan, “Mau, tapi belum morning report...”

Aku mendesah sama berat dengan keengganannya pergi, aktivitas rutin tiap pagi selepas jaga itu kadang bikin aku stress karena menghilangkan kesempatan kami berdua.

“Makan siang?” tanyaku penuh harap. Mencatat dalam hati bila ia mengiyakan aku harus cepat bilang pada Lusi, sobat kantor bahwa kami tidak jadi lunch bareng.

“Hari ini aku di OK. Takutnya telat istirahat siang.”

Aku mencelos. Masih masa residensi saja waktunya seolah nggak pernah ada buatku, bagaimana nanti saat ia telah resmi ditasbihkan sebagai Spesialis Bedah. Tapi aku mengerti, sangat mengerti.

Walau berat, tapi aku mencoba tersenyum setulus mungkin. Reflek aku sentuh lengannya, menenangkan. “Yaudah, nggak apa-apa. Jangan lupa makan. Jaga kesehatan.”

Dengan cepat ia balas meremas jariku pelan, “Aku telepon waktu senggang ya..”
“Nggak usah dipaksain. Ada waktu senggang mending tidur sebentar.” Aku berusaha suportif.

Dia mengangguk patuh, walau aku tak yakin ada waktu senggang yang memungkinkan dia terlelap. Aku menatap punggungnya yang menjauh dengan prihatin. Dalam hati aku merapalkan mantra demi hubungan ini, seaneh apapun kami terlihat, “I’m into this. He is too. We’ll stay strong.”

Jumat, 25 Mei 2012

at home

pic from here


i had some kind of love and hate relationship with homecoming trip. Probably it is because i usually travel back home after night shifts. Tiring ones. So, it’s kinda hard when you were super sleepy and you had to have a long 5-hours trip ahead.

And my days at home are relatively boring. They had sleeping, tv, and shopping in the activity schedule. Which is good actually because my sleeping routine is kinda wreck there in Bandung. So it is such an improvement for me to frequently sleep just after clock hits 9 p.m.

But i love being at home. Really do.

Where else could you see green was so very contrast with the pale-colored soil in the beginning of dry season?

And you find heat so uncomfortable yet familiar in a good way?

And you would be greeted by the sound of water splashes from fishes swim here and there in the pond.. or bird chirping on the trees nearby?

And you feel familiarity of smelling old bed and pillow sheets?

And you feel that pang of longing travelling to pathways in town, less-confusing than ones at bigger city?

And at the end you must be back to routine leaving hometown and say i’m gonna miss you.

Just like old love, isn’t it?

Senin, 07 Mei 2012

Midnight in Paris



So, incidentally saw this couple days ago at dvd stall and decided to try a bit. Mungkin karena saya adalah romance junkie yang curious dengan segala hal yang berbau romantisme. And Paris is a popular symbol of romanticism.

That, or there was Adrien Brody in this movie’s casts. Walopun bukan jadi main role-nya tapi entah kenapa sejak King Kong dan the Pianist, saya kok rada sensi kalo ada nama Adrien Brody di suatu film. Bawaannya penasaran pingin lihat seperti apa filmnya, jadi apa dia.

At first, i thought this movie was one of those mainstream plots and usual stories. American guy visited Paris for holiday then met a girl and fell in love and so on and so on.
But, hey, ini kan filmnya Woody Allen. Woody Allen gitu loh, bok! Nggak mungkin kali, ya, film arahan dia yang sekaligus ditulis juga skenarionya secetek itu.

Film ini bercerita tentang Gil, seorang pemuda Amerika, yang memiliki background karir di dunia film yang cukup sukses, ikut serta berlibur ke Paris bersama tunangannya, Inez, dan orang tua gadis itu.

Nah, sebelum berangkat Paris, Gil sudah berpikir untuk beralih profesi menjadi penulis mengingat passion dia yang sebenarnya adalah sastra. Sejak di Amerika, dia mulai menulis draft novelnya. Dan saat tiba di Paris, keinginannya semakin bulat. Bahkan Gil ingin sekali pindah menetap di Paris karena baginya nuansa Paris begitu magis bagi seorang seniman dan sastrawan karena kota ini melahirkan begitu banyak inspirasi. Apalagi saat malam dan hari hujan.

Tapi, ide itu ditentang mentah-mentah oleh Inez yang tak mau kesuksesan yang sudah susah payah diraih di U.S. dilepas begitu saja demi ketidakpastian karir yang membayangi andai benar si Gil ini alih profesi jadi penulis.

Hingga suatu malam, saat tunangannya asyik hang-out di club dengan sahabatnya, Gil malah tak ikut dan iseng berjalan kaki di sekitar Paris. Tujuan awalnya memang hanya mencari inspirasi untuk draft novelnya, sampai dia tersesat. Kelelahan duduk di undakan tangga di sisi jalan, sebuah mobil dengan tampilan antik menghampiri. Dari dalamnya keluar beberapa orang berpakaian retro a la tahun 20-an mengajaknya ikut serta ke dalam mobil.

Dari sinilah petualangan si Gil dimulai. Tiba-tiba dia seolah dibawa lewat mesin waktu ke era 1920-an. Bertemu dengan seniman dan penulis-penulis terkenal. He met Scott Fitzgerald, Ernest Hemingway, Gertrude Stein, Cole Porter, Pablo Picasso,T.S. Elliot sampai Salvador Dali yang diperankan sama Adrien Brody :).

Dan di malam-malam menjelajah masa lalu itu, Gil jatuh hati pada sosok Adrianna, yang dikisahkan sebagai mantan kekasih Pablo Picasso dan Ernest Hemingway.
Too much spoiler? I sincerely apologize kalau begitu.. :)

Tapi benar, ya, film ini jalan cerita dan akhirnya begitu nggak terduga. Dan saangat imajinatif. Jenis-jenis kisah yang juga jadi impian saya. Menjelajah di masa lalu dan bisa bertemu sosok-sosok yang saya kagumi. Dan berguru dari mereka.
Who doesn’t want that?

Sekali lagi, terbukti kan, karya Woody Allen nggak pernah ecek-ecek. Dialognya asyik, mantap, apalagi saat pentolan sastra yang jenius itu pamer lewat lines mereka. Saya sampai agak-agak speechless.
Ini contohnya :

Ernest Hemingway: Yes. It was a good book because it was an honest book, and that’s what war does to men. And there’s nothing fine and noble about dying in the mud unless you die gracefully. And then it’s not only noble but brave.

Ernest Hemingway: It was a good book because it was an honest book, and that’s what war does to men. And there’s nothing fine and noble about dying in the mud unless you die gracefully. And then it’s not only noble but brave.

Ernest Hemingway: No subject is terrible if the story is true and if the prose is clean and honest.


Gil: You can fool me, but you cannot fool Ernest Hemingway!


Ernest Hemingway: All men fear death. It’s a natural fear that consumes us all. We fear death because we feel that we haven’t loved well enough or loved at all, which ultimately are one and the same. However, when you make love with a truly great woman, one that deserves the utmost respect in this world and one that makes you feel truly powerful, that fear of death completely disappears. Because when you are sharing your body and heart with a great woman the world fades away. You two are the only ones in the entire universe. You conquer what most lesser men have never conquered before, you have conquered a great woman’s heart, the most vulnerable thing she can offer to another.

Death no longer lingers in the mind. Fear no longer clouds your heart. Only passion for living, and for loving, become your sole reality. This is no easy task for it takes insurmountable courage. But remember this, for that moment when you are making love with a woman of true greatness you will feel immortal.



Ernest Hemingway: No subject is terrible if the story is true, if the prose is clean and honest, and if it affirms courage and grace under pressure.

Ernest Hemingway: I believe that love that is true and real, creates a respite from death. All cowardice comes from not loving, or not loving well, which is the same thing. And then the man who is brave and true looks death squarely in the face, like some rhino-hunters I know, or Belmonte, who is truly brave. It is because they make love with sufficient passion, to push death out of their minds, until it returns, as it does, to all men. And then you must make really good love again.

Adriana: I can never decide whether Paris is more beautiful by day or by night.

Gil: No, you can't, you couldn't pick one. I mean I can give you a checkmate argument for each side. You know, I sometimes think, how is anyone ever gonna come up with a book, or a painting, or a symphony, or a sculpture that can compete with a great city. You can't. Because you look around and every street, every boulevard, is its own special art form and when you think that in the cold, violent, meaningless universe that Paris exists, these lights, I mean come on, there's nothing happening on Jupiter or Neptune, but from way out in space you can see these lights, the cafe, people drinking and singing. For all we know, Paris is the hottest spot in the universe. 

Gil: That's what the present is. It's a little unsatisfying because life is unsatisfying.

Paul: Nostalgia is denial - denial of the painful present... the name for this denial is golden age thinking - the erroneous notion that a different time period is better than the one ones living in - its a flaw in the romantic imagination of those people who find it difficult to cope with the present.

Gert: The job of the artist is not to succumb to despair, but to find an antidote for the emptiness of existence.

sangat sangat worth to watch, lah.

Rabu, 02 Mei 2012

the fear you won't fall


It hasn’t felt like this before. It hasn’t felt like home before you.

Yang Lavie harapkan saat ia masih terjebak di gedung ini selepas jam kantor berakhir adalah kemunculan wajah familiar yang membuat harinya seakan punya nilai kebahagiaan ekstra. Aneh bagaimana sebentuk paras mampu mengubah kelabu menjadi sedikit jingga. Seperti warna senja yang kerap menghias langit kampung Lavie kecil dulu. Yang merupakan view favoritnya.
Tapi selasar ini sepi. Lalu lalang penjenguk yang biasanya memenuhi tiba-tiba menyurut. Riuhnya jauh berkurang.
Ia masih punya satu bundel dokumen yang harus ia fotokopi, dilabel ulang dan dikelompokkan. Dan setelah itu ia baru benar-benar bisa pulang. Sebelum itu, ia ingin sekali menemukan sosok itu. Sekilas pun tak apa, Lavie mengerti dengan tekanan pekerjaan dan tugas dia sebagai residen bedah senior yang punya seabrek pasien di rumah sakit. Salah sedikit fatal akibatnya, dia bisa jadi akan ditransfer turun satu semester.
Iya, dia pernah bercerita itu suatu hari. Di hari hujan saat tak sengaja mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini dan memutuskan nongkrong di food court hingga hujan reda. Dan akhirnya mengobrol hingga jauh malam. Hingga mall itu hampir tutup. Saat itu Lavie lupa ia harus merekap ulang laporan keuangan bulanan yang harus disetorkan keesokan harinya.
Lavie mengenalnya saat dia masih menjadi residen bedah junior, masih di semester awal. Saat itu Anneke, teman sekantor sekaligus sahabatnya, harus dioperasi karena appendiksnya bermasalah. Dan dia adalah residen yang bertanggung jawab memonitor perkembangan Anneke pada dokter konsulen.
Dua kali sehari dia akan datang ke ruang rawat Anneke, memeriksa kondisinya. Mengobservasi. Lavie nggak engeh pada awalnya, malah Anneke yang giat menggoda. Kadang meminta sang residen junior untuk datang lebih dari dua kali sehari dengan keluhan-keluhan aneh yang tidak jelas. Memusingkan Lavie dan para perawat.
Tapi dia dengan sabar menghadapi. Dengan senyuman khas dan nada bicara kalem yang menenangkan mampu mendiamkan kicauan Anneke yang agak lebay.
“Vie, nggak boleh, ya, jatuh cinta sama dokter sendiri?” sembur Anneke suatu hari. Dokter Dim, dokter konsulen yang menangani operasinya, beberapa menit yang lalu baru berlalu sambil mengatakan besok Anneke boleh pulang.
Alis Lavie terangkat sebelah mendengarkan ini. “Ann, sejak kapan selera lo seumur ama papa lo? Iya sih dokter Dim kelihatan keren dengan jas dokter dan segala atribut bedahnya itu..”
“Monyoong gue bukannya naksir sama dokter Dim!” potong Anneke ngambek. “Gue jatuh hati sama si ...”
Saat itulah dia masuk, dan Lavie baru mulai benar-benar memperhatikan. Menjulang dengan bahu lebar yang dibalut jas putih residen, kacamata yang tak mampu menutupi lingkaran hitam samar di sekitar mata. Stetoskop yang melingkar di leher, dan seabrek folder status pasien yang dipeluk di satu tangan.
“Dokter Arga...” ucap Anneke lirih, hampir menyerupai bisikan.
“Selamat ya, Mbak Anneke, besok sudah bisa pulang..” saat itulah Lavie sadar kalau cerita tentang senyuman maut yang Anneke paparkan bukan bualan.
Karena ia pun terpikat. Sesaat.
Love at the first sight isn’t Lavie’s thing, though.

I know it’s easy to say. But it’s harder to feel this way. I miss you more than i should. Than i thought i could. I can’t get my mind off you.

“Vie, papa masuk Hasan Sadikin..”
Kabar itu datang di hari hujan di tengah bad Monday yang biasa Lavie hadapi dengan segelas tall capuccino. Alih-alih capuccino, Lavie hanya memiliki secangkir hazelnut coffee hangat. Dan ia hampir menumpahkan separuh isinya saat telepon itu masuk. Mas Bayu, kakak tertuanya yang mengabarkan.
Hazelnut coffee itu pun dibiarkan mendingin di atas meja kerja Lavie ketika ia spontan menyeruak keluar kantor dan berlari ke IGD.
Papa masih di triase ketika Lavie tiba. Berbaring di bed brankar paling ujung dengan salah seorang residen membungkuk di atasnya. Dokter residen itu menoleh ketika Lavie reflek memanggil papanya.
Dokter itu Arga.
“Eh, temannya mbak Anneke..” Arga menyapa Lavie terlebih dulu. “Ini Ayahnya?”
Dengan cepat dan polos Lavie mengangguk. “Bagaimana Papa?” wajahnya pias, khawatir juga panik. Papa punya darah tinggi, lambungnya pun bermasalah.
“Saya periksa dulu, ya.. setelah ini papanya harus CT scan dulu soalnya kepala beliau sempat terbentur saat jatuh..”
Seharusnya berita kalau kepala papanya mengalami benturan bisa membuat seorang anak mengalami kekhawatiran ekstra. Tapi tatapan lembut Arga ke arahnya saat itu, herannya membuat Lavie seakan lupa.
“Oh.. iya..”
“Aneh, kok kita selalu ketemunya saat orang dekat kamu sakit, ya..” ucap dokter Arga sambil berbalik kembali memeriksa Ayah Lavie.
“Hah?”
“Iya.. pertama Anneke, lalu papa kamu..”Arga menoleh sesaat sambil tersenyum kecil ke arah Lavie.
“Dan selalu kamu dokternya..”bisik Lavie lirih, terlalu pelan, hingga ia yakin Arga tak mendengar.
Seorang dokter muda yang menjadi asisten Arga mendampingi Ayah Lavie di ruang radiologi. Ia tak sekalem Arga, tak setenang Arga, tak semenyenangkan Arga.
Sisa waktu CT scan hingga Ayahnya tiba di ruang rawat inap, benak Lavie sibuk mencari Arga.

I hate the phone. But i wish you’d call.

Bundelan dokumen sudah beres dan siap dikerjakan besok pagi. Lavie melangkah gontai di sepanjang selasar temaram yang sepi. Beberapa pengunjung dan brankar bed yang lalu lalang sesekali hampir tak memengaruhinya.
Ada ponsel yang tergenggam di tangannya. LCDnya menampakkan sederet nomor yang sudah lama ia simpan sejak berbulan-bulan yang lalu. Nomor yang familiar di ingatan karena ia hafal sejak kali pertama sang pemilik memberikannya.
Itu sisa kenangan waktu opname Papanya. Salah satu momen indah di tengah chaos masa kritis Papanya, sebelum beliau pergi untuk selama-lamanya.
Dan nomor ini mengingatkan senyum sang Papa saat mendapati tingkah aneh puteri bungsunya yang memandangi ponselnya sambil mesam-mesem tidak jelas. Atau colekan pelan sang Papa selesai si dokter memeriksa keadaannya. Atau gamitan sang Papa sambil berujar tanpa suara “berjuang, Lavie” sebelum beliau kolaps dan dilarikan ke CICU.
Nomor yang hanya sekali Lavie berani tekan dan hubungi. Untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sederhana.
Itu saja. Tak ada yang lain.
Kadang di satu momen desperate yang menyesakkan, Lavie berharap ponselnya berdering dengan nama itu yang terpampang di layar LCD.
Hanya harap, Lavie tahu, hanya harap.

That’s part of it all. Part of the beauty of fallin in love you. It’s the fear you won’t fall.

Di kalangan perawat, Lavie pernah mendengar, kalau kamu dokter, kamu akan menikah dengan dokter juga. Apalagi saat kamu ada di fase residensi dan masih lajang, intensitas pertemuan dengan sesama dokter residen akan sangat tinggi hingga kemungkinan percikan-percikan roman itu membara ada dimana-mana.
Lavie ingin tak percaya. Ia menelusuri daftar teman-temannya yang berprofesi sebagai dokter dan mencari tahu dengan siapa mereka menikah.
Ya, sebagian besar dengan dokter juga.
Ketika Ayah Lavie sudah seminggu diopname. Beliau dioperasi karena ketahuan ada tumor di lambungnya. Ada kekhawatiran bahwa itu jenis tumor yang tidak jinak. Namun dokter Dim, dokter konsulen Papa Lavie, dan Arga meminta keluarga Lavie untuk tidak menduga-duga hingga hasil biopsi dan VC dari patologi anatomi keluar.
Selama itu.. Lavie memperhatikan Arga lebih seksama. Dengan siapa dia datang saat visite, rekan residen laki-laki? Perempuan? Atau dokter muda?
Atau ketika Arga harus menerima telepon saat sedang mengecek kondisi Papanya. Nadanya lembutkah? Marah? Atau cenderung datar?
Bila waktu itu Anneke bertanya bisakah ia jatuh cinta pada dokternya sendiri, kali ini Lavie menyuarakan pertanyaan sejenis, apa mungkin ia jatuh hati pada dokter Papanya? Bolehkah?
Walau Lavie sadar sepenuhnya ia akan kalah saing dengan deretan rekan residen Arga. Atau daya tarik dokter-dokter muda wanita di sekeliling Arga.
 Ya, Lavie mengerti, amat mengerti.

Thought being alone was better than.. was better than..

Kening Lavie mengkerut heran saat pagi-pagi Anneke sudah sibuk menyeretnya izin keluar kantor padahal hari itu hari Kamis dengan jadwal verifikasi data seabrek yang melihat tumpukan dokumennya saja sudah bikin Lavie pusing kepala.
“Udah, jangan banyak nanya, deh, ngikut aja, Lavie..” hanya itu jawaban Anneke saat Lavie berkali-kali bertanya. Kalau itu bisa diklasifikasikan sebagai jawaban ya.
Mereka berdua berjalan ke area dimana Atoz Anneke terparkir.
“Kita ada tugas luar, gitu, Ann?”
Anneke terlihat berpikir sebentar, lalu nyengir misterius. “Yah, bisa dibilang gitu. Ini misi khusus!”
Walau luar biasa heran dengan tingkah sahabatnya yang sangat aneh begini, Lavie tetap nurut saja waktu dipaksa masuk dan duduk manis di samping Anneke sementara ia mengemudi.
Atoz itu dikemudikan menuju Savoy-Homann.
“Brevet Bedah?”
Anneke nyengir lebar saat Lavie akhirnya mengerti tempat tujuan mereka.
“Gue tahu lo naksir berat ama si Arga itu.. Eits jangan tanya gue tahu dari mana..” Anneke memotong cepat ketika bibir Lavie terangkat siap bicara. “Selebrasi terakhir dia, dan gue pingin lo liat, Vie..”
Untuk terakhir kalinya, Lavie membatin.
Seumur hidupnya Lavie belajar untuk mandiri. Tidak mudah mengharapkan bantuan orang lain saat ia rasa ia masih mampu melakukannya seorang diri. Dalam masalah apapun. Dalam menghadapi apapun. Menjadi satu-satunya anak perempuan di tengah 5 bersaudara dan empat kakak laki-laki membuatnya sedikit tertempa seperti mereka.
Termasuk masalah perasaan.
Lavie ingin sekali mematahkan stigma wanita adalah makhluk yang mengedepankan perasaan di atas segalanya. Ia ingin membuktikan logikanya masih bekerja dengan seimbang dengan perasaannya. Dalam mengatasi perasaannya terhadap Arga pun seperti itu.
Walau kadang ia terpukul jatuh merasa tak punya harapan dengan sosok  Arga, Lavie berusaha sebisa mungkin tak menampakkannya. Pada siapapun.
Jadi saat ini di tengah aula convention centre Savoy-Homann bidakara hotel, di tengah riuh rendah para tamu undangan memberikan ucapan selamat pada spesialis bedah yang baru disumpah, logika Lavie menyuruhnya kembali, pergi.
“Jangan kabur, Vie..” perintah Anneke, ketika memandang Lavie yang wajahnya memancarkan dengan gamblang niat hatinya.
Saat itulah Lavie luruh, “Nggak bisa, Ann.. please..”
Sendiri memang kadang memilukan. Tapi untuk Lavie, mengakui rasa yang sampai kapan pun nggak akan pernah terbalas, itu lebih menyakitkan.

song The fear you won't fall performed by Joshua Radin