Sabtu, 14 Januari 2012

a name that (should not) matters

Berbeda dari kemarin, hari ini saya nggak keluyuran. Saya memilih ngadem aja di rumah di tengah panasnya cuaca Cirebon hari ini. Here, at my very homey home, i contemplate things.

It sucks you know, ketika kamu memutuskan liburan, ingin jauh dari ingar bingar kehidupan kerja, menyepi sebentar. Then you got your days off but there are thoughts about what should be left there at Bandung  carried away here in my holidays. I hate it.

I hate when names –ralat, a name, yang seharusnya ngumpet aja sana di Bandung tapi menginvasi benak beberapa hari –no, bahkan minggu belakangan when it all started. Sebelum saya prajabatan semua ini bermula. Weird thoughts di otak saya ini.

A name yang bikin saya jatuh hati sekali sama lagu lama kahitna ‘aku, dirimu, dirinya’. Bukan karena dia punya relasi penting dengan lagu itu. It was just random song which is when you play it you suddenly remember about a person. Pernah nggak sih, you dear readers –andai ada yang membaca ini surely, merasakan itu. Satu lagu tiba-tiba terdengar and voila, all you can think is just a name. A person.

Saya benci hal itu. Apalagi kalau orang itu unreachable. (kata itu eksis nggak sih?)

You can’t contact him. Call him. Even send him a simple text message.

Dan ada sebentuk tembok tinggi yang tak kasat mata membatasi relationship kamu dengan dia.

One word. Again. Another word. Sucks.

I really really want to stop this. Membiarkan perasaan dikemudikan nama yang you don’t even really know. Dan orang itu mengganggu kenyamanan kamu beraktivitas. Bahkan saat dia nggak berada di dekat kamu. Kalau namanya disebut. Andai ada rentetan kalimat dengan nama dia di dalamnya tiba-tiba terbaca. Atau kilasan peristiwa di spot-spot tertentu yang sangat familiar menetap di ingatan. Damn, this photographic memory of mine is killing me.

Kadang saya iri sama teman-teman lain yang bisa jatuh hati dengan normal. Pada pria yang juga kenal dan menyayangi mereka. Dan relationship itu bisa berjalan lama.

Pernah saya tanyakan itu pada seorang teman, dan tahu jawaban dia apa?

“Kamunya yang harus usaha, Ve!”

Usaha dalam hal? Menyukai seseorang, begitu?

Nah, ini yang saya ngga bisa. Dalam mindset saya love is effortless. Ia muncul tanpa ketok pintu dan tumbuh tanpa kita sadar. Ia dipupuk oleh waktu, oleh interaksi yang frekuen.

Dan tanpa dipaksa.

Dan waktu saya menyuarakan itu, teman saya cuma senyum-senyum nggak jelas. Mungkin dia juga mengerti sifat saya yang kayak begini.

“Yah. Pelan-pelan dong, Ve. Nggak maksa banget juga.”

Ini sampai saya cantumkan dalam resolusi tahun ini, you know. To see through reality. Palpable enough to feel, and real enough to show. Tapi lagi-lagi rasa aneh ini muncul.

Ini baru awal tahun. Masih ada 11 setengah bulan ke depan hingga tahun berganti lagi. Saya harap rentetan hari di kalender itu yang akan pelan-pelan membantu saya mengubah ini. Mengubah mindset yang bikin teman-teman saya suka senyum-senyum ngenesin nggak jelas. Mungkin mereka kasihan kali ngelihat saya begini.

But, di luar itu, selagi liburan ini masih bisa saya kecap, perhaps salah satu cara menyiasatinya yaa.. mencoba menikmati days off ini seoptimal mungkin. Jalan-jalan, wisata kuliner, window shopping, anything.. yang penting menjauhkan saya dari nama yang tidak seharusnya penting dan ngider-ngider melulu di kepala.


Wish me luck!!




2 komentar:

  1. "Dalam mindset saya love is effortless. Ia muncul tanpa ketok pintu dan tumbuh tanpa kita sadar. Ia dipupuk oleh waktu, oleh interaksi yang frekuen."
    saya suka sekali sama kalimat ini mbak..hehe

    BalasHapus