Minggu, 08 Januari 2012

sebotol jus pome


Suatu malam setelah shift sore saya selesai, saya pergi ke sebuah minimarket di sisi jalan Sukajadi sebelum balik ke kosan. For me it was just an ordinary night. Tired and all after busy shift with fully loaded ward. Dan sebenernya saya pun nggak berniat membeli apa-apa, hanya menemani Hera, teman seruangan.

Saya keliling deretan rak-rak mencari barangkali ada suatu barang yang seharusnya saya beli. You know kadang sifat pelupa saya kan rada kebangetan. There di rak soft drink dan susu i saw it. Deretan botol jus pome. Saya tertegun di depan rak itu beberapa detik. Detik-detik yang membawa saya ke momen dua tahun yang lalu. Saya masih mengidap efusi waktu itu, masih spesifik terapi dan masih harus rutin check-up ke internis sebulan sekali.

Biasanya untuk urusan check-up rutin itu saya ditemani ibu.

Saat saya sakit, ibu seperti disergap perasaan bersalah karena beberapa hal.

First, beliau sempat mengabaikan tingkat parahnya sakit yang saya derita pada gejala pertama. Beliau berpikir itu hanya demam tinggi biasa karena saya sering bergadang dan terlampau kecapekan. Dan nyeri dada yang saya rasakan hanya efek akibat salah posisi waktu saya tidur alih-alih selaput paru saya yang terendam air.
Yang kedua, waktu kontrol pertama ke internis dan saya divonis mengidap efusi, saya sendirian berobat. I was 21, and although i was severely sick Mom thought i wasn’t sick enough to be accompanied by her. 

Yes, Mom always taught me not to be dependant in anything since i was a child. Periksa ke internis juga bukan pengecualian. Saya rada deg-degan waktu itu sebenarnya, lebih karena saya punya firasat kalau ini bukan sekedar demam. Saya malah menghubungi teman kuliah saya si Farah buat nemenin. Lebih untuk nemenin saya ngobrol di ruang tunggu Rumah Sakit. 

Setelah menunggu cukup lama, cek hemato dan foto thorax, ibu internis mendiagnosis efusi pleura dan harus segera dilakukan punctie pleura (penyedotan cairan yang tertimbun dalam selaput paru). Saat itu saya memerlukan persetujuan orang tua untuk pelaksanaan tindakan. Farah called my Mom while i prepared myself for that weird and strange suction. Saya mungkin kuliah di bidang kesehatan, but kadang fresh graduate juga nggak mudeng sama-sama istilah yang nggak familiar macam punctie pleura. 

My Mom came ketika penyedotan itu berlangsung. Mungkin beliau rada ngeri juga melihat ada baskom besar berisi cairan keruh yang keluar dari selang yang tertancap di punggung anak gadisnya. Mungkin beliau ingin menemani dan menguatkan saya dari awal, bukannya malah menyerahkan saya pada pengawasan temen kuliahnya yang rada-rada begajulan (ini muji lho, Rah, if you read this anyway J).

It was hard at first to know that one of your lungs had been infected by unpopular bacteria and threatened to be defect. (Alhamdulillah, setelah spesifik therapy yang kayaknya panjang banget aku pulih, ya Rabb). My Mom lebih shock lagi karena dugaan-demam-biasa beliau salah, dan penyakit saya jauh lebih serius.

Sejak vonis dan that suctioning action, Ibu hampir selalu menemani saya kontrol tiap bulan. Bahkan beliau rela bolos ngajar. Pas kontrol bulan ke tiga, setelah tahu kalo spesialis penyakit dalam itu datengnya nggak akur sama jadwal dan doyan banget molor, Ibu menyeret saya ke sebuah minimarket sebelum kami capcus ke RS.

“Bawa minum ah, Mbak,” kata beliau, “suka haus kalo nunggu dokter. Harga makanan minuman di RS mahal, beli aja di sini.” Dan masuklah kami mencari-cari bekal minum sesuai selera.

Waktu itu saya lagi getol membaca fanfiksi di waktu luang dan di salah satu fanfiksi yang saya demen banget, si penulisnya promosi banget jus pome.

Saya kepingin, tapi takut barangkali itu termasuk di black list makanan-minuman yang harus dijauhi selama sakit.
Mungkin saya tertegun di depan jajaran jus pome itu cukup lama sampai Ibu akhirnya mendekat, “Mau yang itu?” tanya beliau. Aku mengangguk tanpa ekspektasi apa-apa, siap mencomot air mineral aja.
“Boleh nggak Mbak minum itu?” pertanyaan yang sama seperti pikiran saya sebelumnya. How Genetic!
“Eh, tapi kan buah ya?” beliau menimbang dan berkicau sendiri, “nggak apa-apa Mbak, dari buah kok. Kamu kan memang musti banyak makan protein, sayur sama buah-buahan.”

I have no idea kenapa scene jus pome itu begitu membekas.

Dan akhirnya bikin saya tertegun juga di depan jajaran botol jus-jus pome yang sama. Dengan kemasan yang berbeda, though. Thinking about my Mom, about my past.

There i was thinking that, heyy i am finally free from thought suffering kalo saya bakal cacat. There i realized that secuek-cueknya Ibu, she’s still... a Mom. Yang pasti peduli sama kondisi anaknya. Yang sebisa mungkin mengusahakan yang terbaik buat anaknya. Sesulit apapun itu.

Cheers, teman! *sambil ngangkat botol jus pome*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar