Terang Sempurna
Tak
seberapa nyaman, namun harus tetap tahan selama
6 hingga 7 jam ke depan.
Peluit
bersahutan beberapa kali, kereta lain hendak berangkat sepertinya. Beberapa
yang mendahului menyisakan ekor gerbong yang merayap lambat. Perjalanan baru
tak selalu menyenangkan tapi harus dilakukan. Kadang. Seperti ini. Seperti aku.
Pijakan
kaki telah diatur. Sejak lima menit yang lalu. Saat seorang staf gerbong
restoran lewat dan menawarkan diri untuk membantu usaha mempernyaman diri. Ia
masih terlihat muda, cukup cantik, kulitnya kuning langsat, sedikit pucat.
Mungkin terlalu lama berdiri, terlalu lama terlindung di balik gerbong dan
sejuta perjalanan rel itu hingga kecapan matahari di kulitnya begitu tak
membekas.
Sebuah
pesan masuk ke ponsel beberapa saat lalu, menanyakan keberangkatan.
Satu-satunya pesan hingga saat ini, yang peduli bahwa ada perjalanan baru yang
akan aku lakukan.
Pesannya
simpel. Sudah berangkat? Hati2.
I
will. I’ll try to.
Tapi
tak kubalas.
Awan
kelabu masih mewarnai langit. Tipis. Gerimis. Titik-titik air pun terlihat
menghias kaca-kaca jendela gerbong. Membuat efek blurry di sepanjang tatapan mata di baliknya. Pemandangan yang
kuharapkan ada di sepanjang perjalanan nanti. Membuatku tak berpikir terlalu
banyak karena memandangi hujan cukup melelahkan. Dan melenakan.
Terlena
dalam kilasan-kilasan nostalgia.
“Apa? Kamu di Bali? Ngapain? Maen
melulu, ih!”
“Hahaha..” tawa renyahnya
terdengar begitu adiktif, aku merasa ingin mendengarnya seumur hidup, sepanjang
tahun, sepanjang hari. “Ada temen ngajak dapet voucher nginep di hotel di Ubud.
Oh, dan maen di Pirates Bay.”
Sounds so much fun on the said
list.
“Elo dimana? Bandung keneh?” dia
tertawa lagi. Perutku tetiba teraduk semangat. Berjungkir balik riang. Gosh,
that laugh.
“Where else? Kantor pusat masih
ogah transfer aku kemana-mana.”
“You need some fun. Kabur lah
kemari.. ke gue..”
Ajakan yang begitu menggoda.
Really. Dia harus mengajak begitu, ya?
Aku
merasakan gerbong bergerak pelan menjauhi peron. Lokomotif nampak enggan
mengajak ekornya berlari, namun ia tetap pergi.
Hujan
juga masih belum benar reda. Titik air masih menghias kaca di samping wajah.
Hela nafas ini meninggalkan gugus embun tak berbentuk di atas permukaan
bulir-bulir jejak gerimis. Berat jari ini terangkat, mengukir sesuatu di dalam
gugusan itu. Satu nama begitu familiar.
-
Ini gila. True insanity.
I’m chasing him, all the way to
the island of Gods. To Bali.
“Senyum melulu, lo” di belakang
kemudi Wira, lengkap dengan aviator sunglasses kebanggaannya, nyengir penuh
arti, “kalap kabur ke Bali, libur cuma sehari doang padahal.. Gila.”
Angin hangat di pagi menjelang
siang yang cerah menyapa wajahku di jeep Wira yang ber-kap terbuka ini. Ia
seolah membisikkan kebebasan, keberanian.
“Jarang ya, kamu lihat aku rebel
begini? All those paperworks be damned, Wira. I get myself a day of bravery.”
Wira terdiam beberapa lama.
Serius menyetir. Tapi ada tatap aneh di sana. Raut prihatin? Walau samar dan
tenggelam di balik aviator sunglassesnya itu, aku merasakan sesuatu yang
tertahan.
“Give yourself a good time.
Jangan maksain sesuatu yang akhirnya nggak akan enak. You deserve better, trust
me..” ucap Wira ketika ia mengakhiri heningnya.
Dahiku berkerut. Pesan yang aneh.
Tentu i’m giving myself a good time. Membiarkan aku memilih cinta yang selama
ini mengetuk tak mau berhenti. Membiarkan ia berbicara, dan aku akan bicara
hari ini.
“Sure, Wira. Makasih..” aku
menepuk bahu Wira pelan, meyakinkannya bahwa aku tentu akan bahagia dalam
perjalanan ini. He, the one who knows me for almost a lifetime, surely would
feel that. The imminent happiness. It was just lurking around the corner.
“Anytime, Ve, anytime.. so, where
to? Hotel?”
“Nope! Salon dong Wira.. Harus
tampil oke buat nanti malam, bukan?”
Desahan pelan terlontar dari
mulut Wira sebelum ia membalas, “Ok, then.. aything for you princess..”
-
Aku
terbangun karena dorongan halus kereta yang berhenti di sebuah stasiun.
Kutoarjo, papan di dinding peron memberitahuku. Hujan sudah berhenti cukup
lama. Terlihat dari titik-titik kotor di kaca jendela gerbong. Aku mengusap
pelan kaca itu, dengan bodohnya berharap noda kotor itu akan memudar.
Tapi
mereka tetap di tempatnya. Menunggu titik hujan lain yang hendak turun hingga
akhirnya mereka tersingkirkan.
Tapi,
kapan hujan berikutnya tiba?
Terik
adalah yang kutemukan melingkupi sepanjang panorama di luar kaca jendela
gerbong. Diiringi suara hiruk pikuk penumpang, pengantar dan mereka yang baru
turun dari kereta-kereta transit. Juga pedagang yang berseliweran, staff
stasiun yang mengontrol di beberapa titik atau mereka yang mengunjungi stasiun
tanpa maksud apapun.
Ada
cerita kehidupan yang akan terus teruntai kalimat demi kalimat tak peduli apa
yang terjadi. Ingar bingar di stasiun ini pun begitu. Pedagang-pedagang itu
mungkin saja tak mampu menjual apa yang dia jajakan satu pun, namun kereta akan
tetap pergi. Staff stasiun harus selesai mengontrol dengan baik kondisi
masing-masing gerbong. Akan ada penumpang yang naik. Akan ada mereka yang
menghentikan perjalanan, turun di peron ini.
Sepasang
tangan kecil, cokelat dan kurus, tiba-tiba muncul menempel di kaca jendela
gerbong. Disusul seraut wajah dengan cengiran tak peduli namun menggoda. Ia
terlihat menikmati pertunjukannya, bocah itu. Menggerak-gerakan telapak
tangannya di kaca jendela, membawa serta titik-titik kotor bekas hujan.
Gerakannya
terhenti saat salah seorang staff stasiun setengah berlari ke arahnya sambil
mengacungkan tangannya, mengancam. Sementara tak jauh terlihat seorang ibu
dengan bakul tertutup selempang kain mengamati. Tatapannya khawatir namun ada
simpul senyum tipis terarah pada bocah itu.
Kami
bertatapan sepersekian detik sebelum ia berlari menghindari staff stasiun menuju ibu pedagang. Memeluk
kencang pinggang si ibu sambil pura-pura bersembunyi, matanya berkilat nakal ke
arahku dan sekilas tangannya melambai pelan di balik bakul dagangan si ibu.
Mereka
berdua berjalan menjauhi peron ke arah luar stasiun. Ada seorang bapak-bapak
dengan seragam kuli panggul stasiun menanti di pintu keluar. Ia mengangkat
lincah si bocah ke punggungnya diiringi seruan tak terdengar dari bibir si ibu.
Kesederhanaan
yang terlihat begitu kecil. Tersamarkan kemiskinan yang mengikat mereka.
Ada
tetes yang terasa menggenang di ujung mata.
Matahari
masih menggelayut perkasa. Titik –titik noda yang melukai kaca pudar dibawa
telapak tangan kurus dengan cengir nakal yang begitu polos.
Aku
bisa melihat dengan lebih jelas sekarang.
Begitu
terang.
-
Angin sore terasa begitu hangat.
Semilirnya menggoda mata memejam sejenak menikmati ketenangan yang nyaman. Di
sekitar, pengunjung mulai menempati gubuk-gubuk lesehan lain.
Ujung-ujung rumpun padi bergoyang
enggan. Melambai malu-malu.
Dia belum juga datang padahal jus
alpukat ini hanya tersisa setengah. Bebek bengil yang katanya crispy dan
enaknya setengah mati pun belum tersentuh.
Sejak landing hanya mampu melahap
tuna sandwich dan teh madu, menolak tawaran Wira untuk lunch bareng dia dan
main ke Pirates Bay. Ajakan yang sama, namun berharap akan sosok yang berbeda.
Menghabiskan separuh siang di hot
bath dan Bali massage di satu salon & spa di daerah Ubud, thanks to one of
my co-workers it was worth the pennies. Aku harus ingat memberi Tantri
oleh-oleh khusus dari sini.
Saat coconut cream pie muncul dan
sepiring bebek bengil sudah tandas, aku masih sendirian. Keberanian yang seolah
menggunung di awal hari tereduksi dalam menit-menit hening penantian
kedatangannya.
Staf Bebek Bengil yang berdiri
tak jauh di ujung paviliun kerap melayangkan pandangan prihatin.
It’s fine. Aku mengucap
berkali-kali.
Ada teman yang lebih dulu datang
bersamanya. Mungkin ada janji lain yang lebih membutuhkan kehadirannya. Dan
sejuta kalimat mungkin yang dalam diam aku rangkai sendiri.
Wira menelepon dua kali. Nada
khawatir kental dalam tanya yang ia ajukan. Aku belajar jadi pembohong yang
baik. Aku bilang baik-baik saja. Ia datang dan bla bla bla.
Ada tetes yang mengancam luruh di
ujung mata.
Aku pamit dari ambience cantik
yang awalnya ku harap akan jadi memori yang menyenangkan. Kedatanganku memang
tak sia-sia. Tapi ada harapan yang terlempar jauh ke kolam kecil penuh teratai
yang ku lihat menghias taman. Ia bahkan berbisik halus, ia enggan mengapung dan
biar tenggelam.
Harap itu benar tenggelam dalam
hari yang berbisik tentang keberanian.
Karena dalam gelap yang merayap,
dalam temaram pijar cantik di sekeliling paviliun, ada sosok familiar yang
menggenggam wajah lain.
Dan benak bodoh ini mampu berdiri
cukup lama untuk menyaksikan sebuah kecup intim terberi.
Ia tak benar-benar ada. Namun benar-benar
pergi.
-
Ada
sebuah pesan singkat masuk.
Sudah sampai mana? Aku jemput ke
stasiun?
Tawaran
yang sangat ingin ku iyakan. Sangat. Namun tidak, sebelum satu agenda ini
terlaksana.
Alih-alih
menjawab pesan itu, ada nomor-nomor lain yang ku hubungi. Suara di ujung
panggilan menjawab setelah deringan ketiga.
“Ve..
Ve..” sapanya dalam riang yang tak tertahan. Kadang aku bertanya apa semuanya
mendapatkan keistimewaan ini? Apa mungkin hanya aku yang salah kira. Pasti.
“Udah
balik kerja? Bisa ketemu?”
Hening
sebentar di ujung sana. Heran dengan balasan dingin yang ku lempar. Jelas, dia
terbiasa dengan aku yang lain.
Dia
menyebut kedai ramen favorit kami berdua dan waktu pertemuan. Aku mengiyakan
pelan. Dalam hati aku menguatkan diri.
Senja
menggelayut di langit Bandung ketika aku menghabiskan matcha ice cream, sekali
lagi menunggunya. Manequin di etalase seberang sudah dua kali berganti outfit.
Kali ini sebuah mini dress krem simple dengan lace di bagian kerah dan pola
rajutan yang terlihat manis dari atas sini. Warna dress sama seperti waktu itu
di Bali. Menunggunya.
Matcha
ice cream yang kedua tersisa setengah ketika tepukan tangannya hinggap di
bahuku. Diiringi tawa familiar yang dulu begitu aku damba.
“Giliran
gue transfer ke Bandung elo malah ke Jogja, Ve..”
Dengan
satu suapan besar, matcha ice cream kedua ini sekejap dia habiskan, tanpa
permisi.
“I
went to Bali..”
“Ah,
iya, elo bilang kan waktu itu, kita janjian ketemuan di Bebek Bengil..”
“And
you didn’t come.”
Dahinya
berkerut sesaat, sebelum cengiran playful-nya kembali muncul, “Iyaa sorry.. aku
ada janji lain Ve, sayang..”
“Aku
ke Bali waktu itu to confess..” menelan ludah, meraih keberanian yang tersisa,
aku melanjutkan, “I had this thing for you, and it was not just a crush.. it
was more than a crush.”
Dia
menoleh cepat, tertegun. Tak ada cengiran playful lagi. Hening.
“Was..”
ucapnya pelan.
“And
you kissed another girl that night.”
“Was..”
Ada
alasan kenapa Tuhan memilihkan takdir seseorang. Ia akan memberi sesuai apa
yang kita butuhkan, yang mungkin bukan sesuatu yang kita pinta.
Dia
bukan sosok yang mampu settle dalam satu relationship, ia punya sejarah akan
itu. Aku tahu. Tapi aku tak peduli. Dulu.
Tuhan
memilih hening dalam angin sore kala keberanian datang tempo lalu. Ia tidak
memberi kemungkinan, ia memilihkan kepastian untukku.
Kepastian
bahwa hati sosok pria yang ada di depanku
bukan tertuju pada genggaman terbuka tanganku ini. Hening adalah
jawaban. Kembali pada titik dimana aku akan memulai lagi, Tuhan memilihkan.
Jadi
kali ini ketika keberanian kembali muncul dan memberikan kesempatan untuk
bertemu dengannya, aku tahu apa yang aku butuhkan. Bukan pijar-pijar sementara
yang kadang buyar kadang menyala seperti hatinya.
Aku
butuh terang sempurna.
Tuhan
sudah memilihkan, mungkin sudah lama.
Dan
sosok itu bukan dia.
And
now i see it crystal clear, without pain, i know which path that i should take.
To him that has waited patiently.
-
“Ada
dimana? Keretanya belum sampai?” tanyanya tergesa dan khawatir ketika
panggilannya yang kesekian akhirnya aku jawab.
“Udah
di depan rumah, kok..”
Gerbang
depan terdengar dibuka begitu terburu-buru. Wajah cemas berganti kelegaan
ketika mata kami bertemu.
“I
did it.. Telling him..” kata-kataku terdengar mantap dan meyakinkan. Walau itu
kenyataannya.
Aku
mantap dan meyakinkan, meninggalkan masa lalu yang hanya akan jadi belitan
kusut bila ia dibiarkan bersarang. Wira bilang lepaskan itu dan biar ia
melayang jadi memori. Then you will feel relieved too.
Wira
benar. But he always is. Always right.
“I
know..” kata dia lembut, menenangkan sambil membelai lenganku pelan.
“And
you’re right.. always..” menatap langsung matanya, aku percaya, pilihan Tuhan
selalu tepat.
“I
am, princess. I am.”
And
at the end of the day, our warm home is in the person’s embrace who knows us
inside and out. And picks us the clearest path back into him.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar