Rabu, 16 April 2014

Terang Sempurna

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 


Terang Sempurna
Tak seberapa nyaman, namun harus tetap tahan selama  6 hingga 7 jam ke depan. 
Peluit bersahutan beberapa kali, kereta lain hendak berangkat sepertinya. Beberapa yang mendahului menyisakan ekor gerbong yang merayap lambat. Perjalanan baru tak selalu menyenangkan tapi harus dilakukan. Kadang. Seperti ini. Seperti aku.
Pijakan kaki telah diatur. Sejak lima menit yang lalu. Saat seorang staf gerbong restoran lewat dan menawarkan diri untuk membantu usaha mempernyaman diri. Ia masih terlihat muda, cukup cantik, kulitnya kuning langsat, sedikit pucat. Mungkin terlalu lama berdiri, terlalu lama terlindung di balik gerbong dan sejuta perjalanan rel itu hingga kecapan matahari di kulitnya begitu tak membekas.
Sebuah pesan masuk ke ponsel beberapa saat lalu, menanyakan keberangkatan. Satu-satunya pesan hingga saat ini, yang peduli bahwa ada perjalanan baru yang akan aku lakukan.
Pesannya simpel. Sudah berangkat? Hati2.
I will. I’ll try to.
Tapi tak kubalas.
Awan kelabu masih mewarnai langit. Tipis. Gerimis. Titik-titik air pun terlihat menghias kaca-kaca jendela gerbong. Membuat efek blurry di sepanjang tatapan mata di baliknya. Pemandangan yang kuharapkan ada di sepanjang perjalanan nanti. Membuatku tak berpikir terlalu banyak karena memandangi hujan cukup melelahkan. Dan melenakan.
Terlena dalam kilasan-kilasan nostalgia.
“Apa? Kamu di Bali? Ngapain? Maen melulu, ih!”
“Hahaha..” tawa renyahnya terdengar begitu adiktif, aku merasa ingin mendengarnya seumur hidup, sepanjang tahun, sepanjang hari. “Ada temen ngajak dapet voucher nginep di hotel di Ubud. Oh, dan maen di Pirates Bay.”
Sounds so much fun on the said list.
“Elo dimana? Bandung keneh?” dia tertawa lagi. Perutku tetiba teraduk semangat. Berjungkir balik riang. Gosh, that laugh.
“Where else? Kantor pusat masih ogah transfer aku kemana-mana.”
“You need some fun. Kabur lah kemari.. ke gue..”
Ajakan yang begitu menggoda. Really. Dia harus mengajak begitu, ya?
Aku merasakan gerbong bergerak pelan menjauhi peron. Lokomotif nampak enggan mengajak ekornya berlari, namun ia tetap pergi.
Hujan juga masih belum benar reda. Titik air masih menghias kaca di samping wajah. Hela nafas ini meninggalkan gugus embun tak berbentuk di atas permukaan bulir-bulir jejak gerimis. Berat jari ini terangkat, mengukir sesuatu di dalam gugusan itu. Satu nama begitu familiar.
-
Ini gila. True insanity.
I’m chasing him, all the way to the island of Gods. To Bali.
“Senyum melulu, lo” di belakang kemudi Wira, lengkap dengan aviator sunglasses kebanggaannya, nyengir penuh arti, “kalap kabur ke Bali, libur cuma sehari doang padahal.. Gila.”
Angin hangat di pagi menjelang siang yang cerah menyapa wajahku di jeep Wira yang ber-kap terbuka ini. Ia seolah membisikkan kebebasan, keberanian.
“Jarang ya, kamu lihat aku rebel begini? All those paperworks be damned, Wira. I get myself a day of bravery.”
Wira terdiam beberapa lama. Serius menyetir. Tapi ada tatap aneh di sana. Raut prihatin? Walau samar dan tenggelam di balik aviator sunglassesnya itu, aku merasakan sesuatu yang tertahan.
“Give yourself a good time. Jangan maksain sesuatu yang akhirnya nggak akan enak. You deserve better, trust me..” ucap Wira ketika ia mengakhiri heningnya.
Dahiku berkerut. Pesan yang aneh. Tentu i’m giving myself a good time. Membiarkan aku memilih cinta yang selama ini mengetuk tak mau berhenti. Membiarkan ia berbicara, dan aku akan bicara hari ini.
“Sure, Wira. Makasih..” aku menepuk bahu Wira pelan, meyakinkannya bahwa aku tentu akan bahagia dalam perjalanan ini. He, the one who knows me for almost a lifetime, surely would feel that. The imminent happiness. It was just lurking around the corner.
“Anytime, Ve, anytime.. so, where to? Hotel?”
“Nope! Salon dong Wira.. Harus tampil oke buat nanti malam, bukan?”
Desahan pelan terlontar dari mulut Wira sebelum ia membalas, “Ok, then.. aything for you princess..”
-
Aku terbangun karena dorongan halus kereta yang berhenti di sebuah stasiun. Kutoarjo, papan di dinding peron memberitahuku. Hujan sudah berhenti cukup lama. Terlihat dari titik-titik kotor di kaca jendela gerbong. Aku mengusap pelan kaca itu, dengan bodohnya berharap noda kotor itu akan memudar.
Tapi mereka tetap di tempatnya. Menunggu titik hujan lain yang hendak turun hingga akhirnya mereka tersingkirkan.
Tapi, kapan hujan berikutnya tiba?
Terik adalah yang kutemukan melingkupi sepanjang panorama di luar kaca jendela gerbong. Diiringi suara hiruk pikuk penumpang, pengantar dan mereka yang baru turun dari kereta-kereta transit. Juga pedagang yang berseliweran, staff stasiun yang mengontrol di beberapa titik atau mereka yang mengunjungi stasiun tanpa maksud apapun.
Ada cerita kehidupan yang akan terus teruntai kalimat demi kalimat tak peduli apa yang terjadi. Ingar bingar di stasiun ini pun begitu. Pedagang-pedagang itu mungkin saja tak mampu menjual apa yang dia jajakan satu pun, namun kereta akan tetap pergi. Staff stasiun harus selesai mengontrol dengan baik kondisi masing-masing gerbong. Akan ada penumpang yang naik. Akan ada mereka yang menghentikan perjalanan, turun di peron ini.
Sepasang tangan kecil, cokelat dan kurus, tiba-tiba muncul menempel di kaca jendela gerbong. Disusul seraut wajah dengan cengiran tak peduli namun menggoda. Ia terlihat menikmati pertunjukannya, bocah itu. Menggerak-gerakan telapak tangannya di kaca jendela, membawa serta titik-titik kotor bekas hujan.
Gerakannya terhenti saat salah seorang staff stasiun setengah berlari ke arahnya sambil mengacungkan tangannya, mengancam. Sementara tak jauh terlihat seorang ibu dengan bakul tertutup selempang kain mengamati. Tatapannya khawatir namun ada simpul senyum tipis terarah pada bocah itu.
Kami bertatapan sepersekian detik sebelum ia berlari menghindari  staff stasiun menuju ibu pedagang. Memeluk kencang pinggang si ibu sambil pura-pura bersembunyi, matanya berkilat nakal ke arahku dan sekilas tangannya melambai pelan di balik bakul dagangan si ibu.
Mereka berdua berjalan menjauhi peron ke arah luar stasiun. Ada seorang bapak-bapak dengan seragam kuli panggul stasiun menanti di pintu keluar. Ia mengangkat lincah si bocah ke punggungnya diiringi seruan tak terdengar dari bibir si ibu.
Kesederhanaan yang terlihat begitu kecil. Tersamarkan kemiskinan yang mengikat mereka.
Ada tetes yang terasa menggenang di ujung mata.
Matahari masih menggelayut perkasa. Titik –titik noda yang melukai kaca pudar dibawa telapak tangan kurus dengan cengir nakal yang begitu polos.
Aku bisa melihat dengan lebih jelas sekarang.
Begitu terang.
-
Angin sore terasa begitu hangat. Semilirnya menggoda mata memejam sejenak menikmati ketenangan yang nyaman. Di sekitar, pengunjung mulai menempati gubuk-gubuk lesehan lain.
Ujung-ujung rumpun padi bergoyang enggan. Melambai malu-malu.
Dia belum juga datang padahal jus alpukat ini hanya tersisa setengah. Bebek bengil yang katanya crispy dan enaknya setengah mati pun belum tersentuh.
Sejak landing hanya mampu melahap tuna sandwich dan teh madu, menolak tawaran Wira untuk lunch bareng dia dan main ke Pirates Bay. Ajakan yang sama, namun berharap akan sosok yang berbeda.
Menghabiskan separuh siang di hot bath dan Bali massage di satu salon & spa di daerah Ubud, thanks to one of my co-workers it was worth the pennies. Aku harus ingat memberi Tantri oleh-oleh khusus dari sini.
Saat coconut cream pie muncul dan sepiring bebek bengil sudah tandas, aku masih sendirian. Keberanian yang seolah menggunung di awal hari tereduksi dalam menit-menit hening penantian kedatangannya.
Staf Bebek Bengil yang berdiri tak jauh di ujung paviliun kerap melayangkan pandangan prihatin.
It’s fine. Aku mengucap berkali-kali.
Ada teman yang lebih dulu datang bersamanya. Mungkin ada janji lain yang lebih membutuhkan kehadirannya. Dan sejuta kalimat mungkin yang dalam diam aku rangkai sendiri.
Wira menelepon dua kali. Nada khawatir kental dalam tanya yang ia ajukan. Aku belajar jadi pembohong yang baik. Aku bilang baik-baik saja. Ia datang dan bla bla bla.
Ada tetes yang mengancam luruh di ujung mata.
Aku pamit dari ambience cantik yang awalnya ku harap akan jadi memori yang menyenangkan. Kedatanganku memang tak sia-sia. Tapi ada harapan yang terlempar jauh ke kolam kecil penuh teratai yang ku lihat menghias taman. Ia bahkan berbisik halus, ia enggan mengapung dan biar tenggelam.
Harap itu benar tenggelam dalam hari yang berbisik tentang keberanian.
Karena dalam gelap yang merayap, dalam temaram pijar cantik di sekeliling paviliun, ada sosok familiar yang menggenggam wajah lain.
Dan benak bodoh ini mampu berdiri cukup lama untuk menyaksikan sebuah kecup intim terberi.
Ia tak benar-benar ada. Namun benar-benar pergi.
-
Ada sebuah pesan singkat masuk.
Sudah sampai mana? Aku jemput ke stasiun?
Tawaran yang sangat ingin ku iyakan. Sangat. Namun tidak, sebelum satu agenda ini terlaksana.
Alih-alih menjawab pesan itu, ada nomor-nomor lain yang ku hubungi. Suara di ujung panggilan menjawab setelah deringan ketiga.
“Ve.. Ve..” sapanya dalam riang yang tak tertahan. Kadang aku bertanya apa semuanya mendapatkan keistimewaan ini? Apa mungkin hanya aku yang salah kira. Pasti.
“Udah balik kerja? Bisa ketemu?”
Hening sebentar di ujung sana. Heran dengan balasan dingin yang ku lempar. Jelas, dia terbiasa dengan aku yang lain.
Dia menyebut kedai ramen favorit kami berdua dan waktu pertemuan. Aku mengiyakan pelan. Dalam hati aku menguatkan diri.
Senja menggelayut di langit Bandung ketika aku menghabiskan matcha ice cream, sekali lagi menunggunya. Manequin di etalase seberang sudah dua kali berganti outfit. Kali ini sebuah mini dress krem simple dengan lace di bagian kerah dan pola rajutan yang terlihat manis dari atas sini. Warna dress sama seperti waktu itu di Bali. Menunggunya.
Matcha ice cream yang kedua tersisa setengah ketika tepukan tangannya hinggap di bahuku. Diiringi tawa familiar yang dulu begitu aku damba.
“Giliran gue transfer ke Bandung elo malah ke Jogja, Ve..”
Dengan satu suapan besar, matcha ice cream kedua ini sekejap dia habiskan, tanpa permisi.
“I went to Bali..”
“Ah, iya, elo bilang kan waktu itu, kita janjian ketemuan di Bebek Bengil..”
“And you didn’t come.”
Dahinya berkerut sesaat, sebelum cengiran playful-nya kembali muncul, “Iyaa sorry.. aku ada janji lain Ve, sayang..”
“Aku ke Bali waktu itu to confess..” menelan ludah, meraih keberanian yang tersisa, aku melanjutkan, “I had this thing for you, and it was not just a crush.. it was more than a crush.”
Dia menoleh cepat, tertegun. Tak ada cengiran playful lagi. Hening.
“Was..” ucapnya pelan.
“And you kissed another girl that night.”
“Was..”
Ada alasan kenapa Tuhan memilihkan takdir seseorang. Ia akan memberi sesuai apa yang kita butuhkan, yang mungkin bukan sesuatu yang kita pinta.
Dia bukan sosok yang mampu settle dalam satu relationship, ia punya sejarah akan itu. Aku tahu. Tapi aku tak peduli. Dulu.
Tuhan memilih hening dalam angin sore kala keberanian datang tempo lalu. Ia tidak memberi kemungkinan, ia memilihkan kepastian untukku.
Kepastian bahwa hati sosok pria yang ada di depanku  bukan tertuju pada genggaman terbuka tanganku ini. Hening adalah jawaban. Kembali pada titik dimana aku akan memulai lagi, Tuhan memilihkan.
Jadi kali ini ketika keberanian kembali muncul dan memberikan kesempatan untuk bertemu dengannya, aku tahu apa yang aku butuhkan. Bukan pijar-pijar sementara yang kadang buyar kadang menyala seperti hatinya.
Aku butuh terang sempurna.
Tuhan sudah memilihkan, mungkin sudah lama.
Dan sosok itu bukan dia.
And now i see it crystal clear, without pain, i know which path that i should take. To him that has waited patiently.
-
“Ada dimana? Keretanya belum sampai?” tanyanya tergesa dan khawatir ketika panggilannya yang kesekian akhirnya aku jawab.
“Udah di depan rumah, kok..”
Gerbang depan terdengar dibuka begitu terburu-buru. Wajah cemas berganti kelegaan ketika mata kami bertemu.
“I did it.. Telling him..” kata-kataku terdengar mantap dan meyakinkan. Walau itu kenyataannya.
Aku mantap dan meyakinkan, meninggalkan masa lalu yang hanya akan jadi belitan kusut bila ia dibiarkan bersarang. Wira bilang lepaskan itu dan biar ia melayang jadi memori. Then you will feel relieved too.
Wira benar. But he always is. Always right.
“I know..” kata dia lembut, menenangkan sambil membelai lenganku pelan.
“And you’re right.. always..” menatap langsung matanya, aku percaya, pilihan Tuhan selalu tepat.
“I am, princess. I am.”
And at the end of the day, our warm home is in the person’s embrace who knows us inside and out. And picks us the clearest path back into him.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar