of dreams | of life | about love | of bitter reality | of hopes and wishes | about you. Yes, you.
Rabu, 30 Juni 2010
Selasa, 22 Juni 2010
fake laugh
Senin, 21 Juni 2010
my gravity
I will clung to your neck
tightly
when you offer a hug to me
or else
i'll fall recklessly
because you are the center
of my gravity
tightly
when you offer a hug to me
or else
i'll fall recklessly
because you are the center
of my gravity
Sabtu, 19 Juni 2010
Terkoneksi
Awal Oktober,
Arya lupa memperhitungkan ini saat mengiyakan tawaran untuk homestay selama seminggu di Belfast, Irlandia Utara.
Dan kenapa juga dia harus keluyuran jauh-jauh ke wilayah yang katanya jadi timur-tengahnya Great Britain, dalam pengertian bukan penghasil minyaknya, melainkan konfliknya, markas gerakan separatis IRA yang mati-matian ingin pisah dari kerajaan Inggris, seperti gerakan Papua Merdeka di Indonesia?
Tidak ada keingintahuan khusus tentang Negara ini. Awalnya dia jiper juga saat lembaga pendidikan yang mengurusi homestaynya mengalihkan host homestaynya pada sebuah keluarga di Belfast, setelah host di Manchester, tempat dia homestay dalam rencana semula, tiba-tiba membatalkan kesediaan menjadi host family karena suatu hal. Apalagi dari apa yang dia baca di The Patriot nya Tom Clancy, novel spionase dengan Jack Ryan sebagai karakter utamanya, IRA-IRA atau apapun jenis gerakan separatis di North Ireland ini cukup ekstrem bila beraksi di tanah air mereka. Tapi panduan wisata yang dia baca setelahnya bikin Arya berubah pikiran. Iming-iming akan keindahan alam Giant Causeway yang katanya saingan Bali banget, bikin dia mengiyakan tawaran pengalihan ini, walau dengan wanti-wanti bejibun yang diberikan Mama.
Kembali ke persoalan semula, Arya lupa satu hal.
Pertengahan musim gugur begini, hujan sedang giat-giatnya menyatroni kawasan Eropa Barat, tak terkecuali Irlandia Utara. Dan karena sebab itulah, rencana-rencana, yang pada awalnya Arya pikir brilian dan akan berjalan sangat mulus, harus tersendat-sendat dihadang hujan.
Ini hari keempat homestaynya. Hari pertama mulus, tapi tidak dengan hari kedua dan ketiga. Kacau, cuma itu yang bisa mendefinisikan.
Basah kuyup saat hiking ke gunung Mourne, dan stuck seharian di Londonderry keesokkan harinya Arya rasa cukup mewakili. Walaupun Arya tak menyangkal juga bahwa ia cukup menikmati aura ‘abad pertengahan’ yang begitu kental mengecap di kota ini.
Dan hari ini rasanya akan berakhir seperti kemarin.
Setelah pagi-pagi jogging sekalian mengantar Mrs.Ennis, host-nya pergi ke public market setempat lalu ngobrol-ngobrol sebentar dengan warga yang ramahnya bukan main di kedai kopi, Arya kira cuaca cerah nan indah pagi itu bakal berlanjut seharian.
Well, kompetisi besar macam Wimbledon saja kadang di-cut di tengah pertandingan gara-gara hujan yang tiba-tiba datang. Seperti itulah gambaran cuaca hari ini. Sampai lewat tengah hari, hujan masih mengucur deras. Sepertinya di ujung langit sana sedang mengalami kebocoran atau apa.
Jadi disinilah ia, alih-alih jalan-jalan ke Giant Causeway, malah stuck di depan laptop, mengecek email sekalian nyicil laporan homestaynya.
Yang akhirnya malah membawa Arya mengingat beberapa hal sekaligus. Dan yang paling menyita pikirannya tiba saat kalender yang mojok di layar laptopnya mengedip-ngedipkan sebuah tanggal di akhir minggu ini. Tepat sehari sebelum homestay weeknya berakhir. Besok lusa.
Ulang tahun Keyla.
Shoot!! Kenapa dia bisa lupa, ya??
Mungkin karena peristiwa itu, yang terlalu menyita sebagian alam pikirnya hingga hal sepenting itu terlupakan.
Peristiwa itu …
...
Arya keluar dari kantor kepala sekolah dengan sumringah. Perizinan homestaynya sudah beres. Buktinya ada di tangan kirinya, terkepit. Tinggal memberitahu Keyla, itu yang sulit.
Memberitahu sekaligus meminta maaf karena merahasiakan hal ini darinya. Bukan apa-apa, dia hanya tak mau membebani Keyla dengan urusan homestaynya ini sejak Keyla harus diopname selama seminggu karena demam berdarah dan bed rest di rumah seminggu setelahnya. Arya pikir saat semuanya beres toh dia akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya, alasan dia tak mengajak Keyla berpusing ria mengurusi homestay stuff yang nggak gampang ini. Lagipula ini kan bukan minta putus atau apa. Dia hanya pergi homestay seminggu.
Belum sempat sampai ke kelas Keyla, langkahnya terhenti. Oleh Nuri, yang tanpa ada hujan badai, ujug-ujug berlari ke arahnya. Langsung memeluknya erat. Di koridor, saat jam istirahat, yang sedang rame-ramenya. Jelas muka Arya merah padam.
Ya ampun, Nuri apa-apaan sih?
Tapi belum juga Arya bertanya, Nuri sudah langsung nyerocos, “congrats ya, Aryaa. Akhirnya jadi juga kamu ke U.K !!”
Arya dengan susah payah melepaskan pelukan Nuri. Di sekelilingnya siswa-siswi yang sedang nongkrong di koridor riuh menyorakinya.
Nuri adalah teman sekelas Arya yang juga satu level dengannya di lembaga pendidikan bahasa asing di kotanya. Dan akhir-akhir ini, karena urusan homestay ini, mereka jadi sering tukar pikiran, lebih dekat. Tapi Arya sama sekali nggak menyangka kalau Nuri seofensif ini.
Ya ampun, untung Keyla nggak melihat ini, batinnya.
Belum sampai sedetik Arya menyuarakan itu dalam pikirannya, namanya dipanggil lagi.
“Aryaa..”
Ketika pandangan Arya teralih ke sumber suara yang memanggilnya, jantungnya serasa melorot ke perut.
Ternyata Tuhan nggak mendengar doanya. Karena di samping Ayu, sahabat Arya yang memanggilnya, Keyla juga menatap nanar.
Dan sepertinya melihat seluruh kejadian tadi.
Serta merta Arya membebaskan diri dari Nuri dan mengejar Keyla yang mulai berjalan menjauh.
Arya meraih bahu Keyla sesaat kemudian, berhasil membuatnya berbalik menghadapnya. Tapi ternyata Ayu nggak tinggal diam melihat ini. Langsung ditepisnya tangan Arya dari Keyla dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghadiahi dirinya dengan sebuah tamparan. Keras.
Ough! Sakit! Teriak Arya dalam hati. Masih meringis, ia mengelus pelan pipinya yang tadi ditampar, agak nggak terima.
Apa-apaan, batin Arya kesal, gue urusannya sama Keyla, bukan si Ayu. Kok, ini …
Keyla sendiri agak shock melihat ini.
“Eh, Yu. Jangan asal nabok orang, dong! Desis Arya pada Ayu, marah, “Apa urusan lo?”
“Ya, jangan kira walaupun Key lembek ngadepin elo, dia masih punya sahabat yang sanggup tegas. Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo. Eh, elonya malah main sama Nuri …” balas Ayu nggak kalah sengit.
Keyla jengah mendengar pertengkaran ini. Ini urusannya dengan Arya. Harus diselesaikannya berdua.
Keyla menarik tangan Ayu, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Sudah cukup mereka jadi tontonan gratis anak-anak lain.
Sebelum benar-benar berlalu, Keyla menatap Arya, “kita bicara nanti. Berdua.” Katanya pelan dengan raut lelah yang luput dari pandangan Arya yang masih diliputi emosi.
Sayang sepulang sekolah Arya mendengar kabar Keyla izin pulang lebih awal karena sakit.
Dan mereka belum benar-benar bicara sejak itu.
...
Mereka belum benar-benar bicara sejak itu.
Arya mendesah pelan. Kata-kata Ayu kembali terngiang di otaknya.
“Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo ...”
Jeez. Arya baru sadar kalau dirinya terlampau emosi untuk bisa melihat raut lelah itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otaknya. Kenapa Key diam saja saat itu? Dirinya mungkin lebih memilih ditabok atau diteriaki Key habis-habisan saat itu, daripada harus melihatnya terdiam sulit diartikan. Sudah lelahkah Key pada hubungan ini? Pada dirinya? Andai dari awal ia menjelaskan semuanya pada Key, apa yang bakal terjadi?
Tok. Tok.
Lamunannya terpecah oleh suara Mrs. Ennis yang memanggilnya untuk acara minum teh sore.
...
Angin musim gugur yang dingin menerpa tubuh Arya. Pipinya kebas, serasa disiram air dari pendingin. Buat orang tropis seperti dia, angin laut nan menusuk ini sangat membekukan.
Akhirnya setelah tertunda, terwujud juga keinginannya mengunjungi Giant Causeway, pantai dengan 38.000 batu karang berbentuk segi enam tertata rapi, alami bukan dibentuk oleh manusia.
Cantik, tapi sayang ...
“Seharusnya kamu datang saat summer. Cuaca sangat lebih bersahabat saat itu .. ” seru seseorang, menyuarakan pikirannya yang belum sempat terlisankan.
Arya menoleh dan melihat seseorang seumurannya sedang berjalan ke arahnya. Walaupun sepintas cowok itu terlihat lebih jangkung dan kurus ketimbang dirinya.
“Peter Corr” katanya memperkenalkan diri sewaktu sampai di dekat Arya, “kamu sepertinya baru disini, turis, eh?”
“Aryaduta Syahrir” balas Arya, “host program. Yeah, mungkin aku salah pilih waktu datang kesini. Walaupun begitu, tetap terlihat cantik ya ..”
Peter Corr mengangguk, mengiyakan, “biru kehijauan. Ya, cantik tapi mematikan. Aku bertaruh kau tidak akan sanggup berenang disana bahkan untuk satu menit saja. Dan, kau terlihat sangat Asia, darimana? Singapura? Malaysia?”
“Indonesia. Kau tinggal di sekitar sini, Pete?”
Peter berdecak, “Hmm, Bali. Indonesia bukan?”
Arya batal mengoreksi bahwa dirinya bukan dari Bali. Sebagai gantinya Arya hanya mengangguk. Selalu Bali. Iconic sekali pulau itu.
“Hey, daripada kau mati membeku disini, ayo ikut aku ke Portrush, rumahku disana. Mungkin kita bisa ngobrol lebih banyak. Lihat, sebentar lagi hujan turun.”
Arya pun mengekor Peter pergi.
Beberapa jam kemudian, Arya masih asyik ngadem di kedai kopi milik ayah Peter yang sekaligus juga merangkap toko cinderamata.
“Orang-orang disini sangat warm ..” puji Arya, “aku kira sebelumnya ..”
“Perang dan perselisihan panjang cuma bawa rugi dan citra negatif..” potong Peter, mengerti arah perkataan Arya selanjutnya, “entah apa yang diberitakan sekarang yang kau dengar tentang kami, tapi semua berubah, kami ingin tumbuh lebih baik, lebih besar, seperti Dublin.”
Arya mengangguk setuju. Pada awalnya ia khawatir kata-katanya akan menyinggung perasaan Peter. North Ireland memang terlalu cantik untuk digunakan sebagai medan pertempuran. Ia lalu menyesap kopinya yang mulai mendingin. Sayup, dari belakang kedai kopi ia mendengar lagu breakeven, yang dinyanyikan The Script, band yang juga berasal dari Irlandia.
“The Script, eh?” Tanya Arya memastikan, dia memang nggak hapal-hapal banget sebenarnya.
“Yeah. Aku suka band itu. Unik dan beberapa lirik di lagu mereka sangat irish sekali, walau settingnya bukan disini tapi Dublin.”
Breakeven selesai, digantikan sebuah lagu yang masih asing di telinga Arya.
Dan pertanyaan selanjutnya yang hendak ia ajukan pada Peter mendadak sirna saat lagu itu mengumandangkan sebuah nama.
‘ .. if you see my friend, doesn’t matter where or when, tell me if you see Kay ..’
“Key ...” Arya menggumam.
“If you see Kay”, Peter mengoreksi, “K-A-Y, kau suka? Ah, cewek, kan? Aku sudah menduga dari awal melihatmu di pantai. Pasti tentang cinta sampai kau harus kabur kemari di musim gugur.”
Arya tidak menjawab. Namun senyum kecil yang menghias bibirnya cukup menjawab keingintahuan Peter. Sementara itu, Arya makin asyik mencerna lagu itu lebih dalam.
‘ .. cause I’m gonna shout it out to everyone I, everyone I meet, if you see Kay, will you tell her that I love her, oh yeah? And if you see Kay let her know I want her back. If she listens, say I miss her, everything about her ..”
Arya menyesap sisa kopi terakhir di cangkir kopinya. Sementara hari mulai gelap, gerimis masih asyik bergemericik, menciptakan melodi baru mengiringi lantunan the Script dalam kedai kopi yang kini benderang namun sepi. Mempertegas aura melankoli yang bagi Arya malah membuatnya merasa terhubung dengan Key.
Awalnya ia memang ragu dapat menikmati acara homestay di tengah distraksi antara ia dan Key memuncak. Dari sini ia belajar, berubah. Sulit untuk merubah citra saat orang-orang cenderung menganggap kita dengan stereotype tertentu. Seperti masyarakat North Ireland ini. Tapi setidaknya usaha patut dicoba.
Dulu, ia percaya magical words in the last minutes itu tokcer sekali. Dan itu bisa diterapkan padanya dan Key. Tapi inti dari sebuah hubungan adalah kesepahaman yang dapat dimunculkan lewat komunikasi. Tapi bukan yang searah. Ia ingin Key mengerti kalau keputusan Arya tidak diambil berdasarkan ego semata. Ini murni karena dirinya.
Hmm, Arya berharap di Jakarta sana Key juga bisa mendengar gerimis yang sama, lagu yang sama, mendengar perasaannya, permintaan maafnya. Membuatnya terkoneksi.
Percakapan hangat dengan Peter berakhir saat Mr dan Mrs. Ennis muncul dengan van tua mereka di depan kedai kopi. Menjemput Arya yang sejam sebelumnya mengabarkan keberadaannya pada mereka.
Di dalam van, Arya log in sebentar ke situs facebook untuk mengupdate statusnya.
Arya it’s raining in the rest of the day here in north Ireland, wishes you were here ..
Di bawah status yang baru diperbaharui, sebuah status lain muncul, hanya berselang 8 detik.
Keyla gerimis mulu di Jakarta spanjang hari, kangen seseorang ..
Kehangatan yang nyaman meliputi Arya saat menyadari statusnya persis dengan Key. Tanpa mereka rencanakan sebelumnya. Dan ini membuat Arya membulatkan tekad, bila ingin memperbaiki ini ia harus memilih, now or never, there is no later ...
Dibukanya profil Key dan pada wall-nya ia tulis sesuatu.
Guess we’re connected, by the way. Get better? Need to talk to u. asap. Miss u.
Dan tak berapa lama. Postingan baru muncul di wall-nya. Dari Keyla.
Gimana Belfast? Iya nih, hujan. Nggak bisa maen kemana-mana. Lagi denger the script-nya mas Han aja di kamer. Feels like one of their songs is your apology. He2 :p yah,let’s talk. A lot. Miss u 2. connected? Hmm, feel so ... cepet balik ya.
The script? One of their songs is my apology.
Arya tersenyum. Sepertinya ia tahu yang mana.
Arya lupa memperhitungkan ini saat mengiyakan tawaran untuk homestay selama seminggu di Belfast, Irlandia Utara.
Dan kenapa juga dia harus keluyuran jauh-jauh ke wilayah yang katanya jadi timur-tengahnya Great Britain, dalam pengertian bukan penghasil minyaknya, melainkan konfliknya, markas gerakan separatis IRA yang mati-matian ingin pisah dari kerajaan Inggris, seperti gerakan Papua Merdeka di Indonesia?
Tidak ada keingintahuan khusus tentang Negara ini. Awalnya dia jiper juga saat lembaga pendidikan yang mengurusi homestaynya mengalihkan host homestaynya pada sebuah keluarga di Belfast, setelah host di Manchester, tempat dia homestay dalam rencana semula, tiba-tiba membatalkan kesediaan menjadi host family karena suatu hal. Apalagi dari apa yang dia baca di The Patriot nya Tom Clancy, novel spionase dengan Jack Ryan sebagai karakter utamanya, IRA-IRA atau apapun jenis gerakan separatis di North Ireland ini cukup ekstrem bila beraksi di tanah air mereka. Tapi panduan wisata yang dia baca setelahnya bikin Arya berubah pikiran. Iming-iming akan keindahan alam Giant Causeway yang katanya saingan Bali banget, bikin dia mengiyakan tawaran pengalihan ini, walau dengan wanti-wanti bejibun yang diberikan Mama.
Kembali ke persoalan semula, Arya lupa satu hal.
Pertengahan musim gugur begini, hujan sedang giat-giatnya menyatroni kawasan Eropa Barat, tak terkecuali Irlandia Utara. Dan karena sebab itulah, rencana-rencana, yang pada awalnya Arya pikir brilian dan akan berjalan sangat mulus, harus tersendat-sendat dihadang hujan.
Ini hari keempat homestaynya. Hari pertama mulus, tapi tidak dengan hari kedua dan ketiga. Kacau, cuma itu yang bisa mendefinisikan.
Basah kuyup saat hiking ke gunung Mourne, dan stuck seharian di Londonderry keesokkan harinya Arya rasa cukup mewakili. Walaupun Arya tak menyangkal juga bahwa ia cukup menikmati aura ‘abad pertengahan’ yang begitu kental mengecap di kota ini.
Dan hari ini rasanya akan berakhir seperti kemarin.
Setelah pagi-pagi jogging sekalian mengantar Mrs.Ennis, host-nya pergi ke public market setempat lalu ngobrol-ngobrol sebentar dengan warga yang ramahnya bukan main di kedai kopi, Arya kira cuaca cerah nan indah pagi itu bakal berlanjut seharian.
Well, kompetisi besar macam Wimbledon saja kadang di-cut di tengah pertandingan gara-gara hujan yang tiba-tiba datang. Seperti itulah gambaran cuaca hari ini. Sampai lewat tengah hari, hujan masih mengucur deras. Sepertinya di ujung langit sana sedang mengalami kebocoran atau apa.
Jadi disinilah ia, alih-alih jalan-jalan ke Giant Causeway, malah stuck di depan laptop, mengecek email sekalian nyicil laporan homestaynya.
Yang akhirnya malah membawa Arya mengingat beberapa hal sekaligus. Dan yang paling menyita pikirannya tiba saat kalender yang mojok di layar laptopnya mengedip-ngedipkan sebuah tanggal di akhir minggu ini. Tepat sehari sebelum homestay weeknya berakhir. Besok lusa.
Ulang tahun Keyla.
Shoot!! Kenapa dia bisa lupa, ya??
Mungkin karena peristiwa itu, yang terlalu menyita sebagian alam pikirnya hingga hal sepenting itu terlupakan.
Peristiwa itu …
...
Arya keluar dari kantor kepala sekolah dengan sumringah. Perizinan homestaynya sudah beres. Buktinya ada di tangan kirinya, terkepit. Tinggal memberitahu Keyla, itu yang sulit.
Memberitahu sekaligus meminta maaf karena merahasiakan hal ini darinya. Bukan apa-apa, dia hanya tak mau membebani Keyla dengan urusan homestaynya ini sejak Keyla harus diopname selama seminggu karena demam berdarah dan bed rest di rumah seminggu setelahnya. Arya pikir saat semuanya beres toh dia akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya, alasan dia tak mengajak Keyla berpusing ria mengurusi homestay stuff yang nggak gampang ini. Lagipula ini kan bukan minta putus atau apa. Dia hanya pergi homestay seminggu.
Belum sempat sampai ke kelas Keyla, langkahnya terhenti. Oleh Nuri, yang tanpa ada hujan badai, ujug-ujug berlari ke arahnya. Langsung memeluknya erat. Di koridor, saat jam istirahat, yang sedang rame-ramenya. Jelas muka Arya merah padam.
Ya ampun, Nuri apa-apaan sih?
Tapi belum juga Arya bertanya, Nuri sudah langsung nyerocos, “congrats ya, Aryaa. Akhirnya jadi juga kamu ke U.K !!”
Arya dengan susah payah melepaskan pelukan Nuri. Di sekelilingnya siswa-siswi yang sedang nongkrong di koridor riuh menyorakinya.
Nuri adalah teman sekelas Arya yang juga satu level dengannya di lembaga pendidikan bahasa asing di kotanya. Dan akhir-akhir ini, karena urusan homestay ini, mereka jadi sering tukar pikiran, lebih dekat. Tapi Arya sama sekali nggak menyangka kalau Nuri seofensif ini.
Ya ampun, untung Keyla nggak melihat ini, batinnya.
Belum sampai sedetik Arya menyuarakan itu dalam pikirannya, namanya dipanggil lagi.
“Aryaa..”
Ketika pandangan Arya teralih ke sumber suara yang memanggilnya, jantungnya serasa melorot ke perut.
Ternyata Tuhan nggak mendengar doanya. Karena di samping Ayu, sahabat Arya yang memanggilnya, Keyla juga menatap nanar.
Dan sepertinya melihat seluruh kejadian tadi.
Serta merta Arya membebaskan diri dari Nuri dan mengejar Keyla yang mulai berjalan menjauh.
Arya meraih bahu Keyla sesaat kemudian, berhasil membuatnya berbalik menghadapnya. Tapi ternyata Ayu nggak tinggal diam melihat ini. Langsung ditepisnya tangan Arya dari Keyla dan tanpa tedeng aling-aling langsung menghadiahi dirinya dengan sebuah tamparan. Keras.
Ough! Sakit! Teriak Arya dalam hati. Masih meringis, ia mengelus pelan pipinya yang tadi ditampar, agak nggak terima.
Apa-apaan, batin Arya kesal, gue urusannya sama Keyla, bukan si Ayu. Kok, ini …
Keyla sendiri agak shock melihat ini.
“Eh, Yu. Jangan asal nabok orang, dong! Desis Arya pada Ayu, marah, “Apa urusan lo?”
“Ya, jangan kira walaupun Key lembek ngadepin elo, dia masih punya sahabat yang sanggup tegas. Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo. Eh, elonya malah main sama Nuri …” balas Ayu nggak kalah sengit.
Keyla jengah mendengar pertengkaran ini. Ini urusannya dengan Arya. Harus diselesaikannya berdua.
Keyla menarik tangan Ayu, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Sudah cukup mereka jadi tontonan gratis anak-anak lain.
Sebelum benar-benar berlalu, Keyla menatap Arya, “kita bicara nanti. Berdua.” Katanya pelan dengan raut lelah yang luput dari pandangan Arya yang masih diliputi emosi.
Sayang sepulang sekolah Arya mendengar kabar Keyla izin pulang lebih awal karena sakit.
Dan mereka belum benar-benar bicara sejak itu.
...
Mereka belum benar-benar bicara sejak itu.
Arya mendesah pelan. Kata-kata Ayu kembali terngiang di otaknya.
“Please deh, Ya, Key tuh sakit. Jadi bukan kemauannya kalo akhir-akhir ini nggak bisa terlalu perhatiin elo ...”
Jeez. Arya baru sadar kalau dirinya terlampau emosi untuk bisa melihat raut lelah itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk di otaknya. Kenapa Key diam saja saat itu? Dirinya mungkin lebih memilih ditabok atau diteriaki Key habis-habisan saat itu, daripada harus melihatnya terdiam sulit diartikan. Sudah lelahkah Key pada hubungan ini? Pada dirinya? Andai dari awal ia menjelaskan semuanya pada Key, apa yang bakal terjadi?
Tok. Tok.
Lamunannya terpecah oleh suara Mrs. Ennis yang memanggilnya untuk acara minum teh sore.
...
Angin musim gugur yang dingin menerpa tubuh Arya. Pipinya kebas, serasa disiram air dari pendingin. Buat orang tropis seperti dia, angin laut nan menusuk ini sangat membekukan.
Akhirnya setelah tertunda, terwujud juga keinginannya mengunjungi Giant Causeway, pantai dengan 38.000 batu karang berbentuk segi enam tertata rapi, alami bukan dibentuk oleh manusia.
Cantik, tapi sayang ...
“Seharusnya kamu datang saat summer. Cuaca sangat lebih bersahabat saat itu .. ” seru seseorang, menyuarakan pikirannya yang belum sempat terlisankan.
Arya menoleh dan melihat seseorang seumurannya sedang berjalan ke arahnya. Walaupun sepintas cowok itu terlihat lebih jangkung dan kurus ketimbang dirinya.
“Peter Corr” katanya memperkenalkan diri sewaktu sampai di dekat Arya, “kamu sepertinya baru disini, turis, eh?”
“Aryaduta Syahrir” balas Arya, “host program. Yeah, mungkin aku salah pilih waktu datang kesini. Walaupun begitu, tetap terlihat cantik ya ..”
Peter Corr mengangguk, mengiyakan, “biru kehijauan. Ya, cantik tapi mematikan. Aku bertaruh kau tidak akan sanggup berenang disana bahkan untuk satu menit saja. Dan, kau terlihat sangat Asia, darimana? Singapura? Malaysia?”
“Indonesia. Kau tinggal di sekitar sini, Pete?”
Peter berdecak, “Hmm, Bali. Indonesia bukan?”
Arya batal mengoreksi bahwa dirinya bukan dari Bali. Sebagai gantinya Arya hanya mengangguk. Selalu Bali. Iconic sekali pulau itu.
“Hey, daripada kau mati membeku disini, ayo ikut aku ke Portrush, rumahku disana. Mungkin kita bisa ngobrol lebih banyak. Lihat, sebentar lagi hujan turun.”
Arya pun mengekor Peter pergi.
Beberapa jam kemudian, Arya masih asyik ngadem di kedai kopi milik ayah Peter yang sekaligus juga merangkap toko cinderamata.
“Orang-orang disini sangat warm ..” puji Arya, “aku kira sebelumnya ..”
“Perang dan perselisihan panjang cuma bawa rugi dan citra negatif..” potong Peter, mengerti arah perkataan Arya selanjutnya, “entah apa yang diberitakan sekarang yang kau dengar tentang kami, tapi semua berubah, kami ingin tumbuh lebih baik, lebih besar, seperti Dublin.”
Arya mengangguk setuju. Pada awalnya ia khawatir kata-katanya akan menyinggung perasaan Peter. North Ireland memang terlalu cantik untuk digunakan sebagai medan pertempuran. Ia lalu menyesap kopinya yang mulai mendingin. Sayup, dari belakang kedai kopi ia mendengar lagu breakeven, yang dinyanyikan The Script, band yang juga berasal dari Irlandia.
“The Script, eh?” Tanya Arya memastikan, dia memang nggak hapal-hapal banget sebenarnya.
“Yeah. Aku suka band itu. Unik dan beberapa lirik di lagu mereka sangat irish sekali, walau settingnya bukan disini tapi Dublin.”
Breakeven selesai, digantikan sebuah lagu yang masih asing di telinga Arya.
Dan pertanyaan selanjutnya yang hendak ia ajukan pada Peter mendadak sirna saat lagu itu mengumandangkan sebuah nama.
‘ .. if you see my friend, doesn’t matter where or when, tell me if you see Kay ..’
“Key ...” Arya menggumam.
“If you see Kay”, Peter mengoreksi, “K-A-Y, kau suka? Ah, cewek, kan? Aku sudah menduga dari awal melihatmu di pantai. Pasti tentang cinta sampai kau harus kabur kemari di musim gugur.”
Arya tidak menjawab. Namun senyum kecil yang menghias bibirnya cukup menjawab keingintahuan Peter. Sementara itu, Arya makin asyik mencerna lagu itu lebih dalam.
‘ .. cause I’m gonna shout it out to everyone I, everyone I meet, if you see Kay, will you tell her that I love her, oh yeah? And if you see Kay let her know I want her back. If she listens, say I miss her, everything about her ..”
Arya menyesap sisa kopi terakhir di cangkir kopinya. Sementara hari mulai gelap, gerimis masih asyik bergemericik, menciptakan melodi baru mengiringi lantunan the Script dalam kedai kopi yang kini benderang namun sepi. Mempertegas aura melankoli yang bagi Arya malah membuatnya merasa terhubung dengan Key.
Awalnya ia memang ragu dapat menikmati acara homestay di tengah distraksi antara ia dan Key memuncak. Dari sini ia belajar, berubah. Sulit untuk merubah citra saat orang-orang cenderung menganggap kita dengan stereotype tertentu. Seperti masyarakat North Ireland ini. Tapi setidaknya usaha patut dicoba.
Dulu, ia percaya magical words in the last minutes itu tokcer sekali. Dan itu bisa diterapkan padanya dan Key. Tapi inti dari sebuah hubungan adalah kesepahaman yang dapat dimunculkan lewat komunikasi. Tapi bukan yang searah. Ia ingin Key mengerti kalau keputusan Arya tidak diambil berdasarkan ego semata. Ini murni karena dirinya.
Hmm, Arya berharap di Jakarta sana Key juga bisa mendengar gerimis yang sama, lagu yang sama, mendengar perasaannya, permintaan maafnya. Membuatnya terkoneksi.
Percakapan hangat dengan Peter berakhir saat Mr dan Mrs. Ennis muncul dengan van tua mereka di depan kedai kopi. Menjemput Arya yang sejam sebelumnya mengabarkan keberadaannya pada mereka.
Di dalam van, Arya log in sebentar ke situs facebook untuk mengupdate statusnya.
Arya it’s raining in the rest of the day here in north Ireland, wishes you were here ..
Di bawah status yang baru diperbaharui, sebuah status lain muncul, hanya berselang 8 detik.
Keyla gerimis mulu di Jakarta spanjang hari, kangen seseorang ..
Kehangatan yang nyaman meliputi Arya saat menyadari statusnya persis dengan Key. Tanpa mereka rencanakan sebelumnya. Dan ini membuat Arya membulatkan tekad, bila ingin memperbaiki ini ia harus memilih, now or never, there is no later ...
Dibukanya profil Key dan pada wall-nya ia tulis sesuatu.
Guess we’re connected, by the way. Get better? Need to talk to u. asap. Miss u.
Dan tak berapa lama. Postingan baru muncul di wall-nya. Dari Keyla.
Gimana Belfast? Iya nih, hujan. Nggak bisa maen kemana-mana. Lagi denger the script-nya mas Han aja di kamer. Feels like one of their songs is your apology. He2 :p yah,let’s talk. A lot. Miss u 2. connected? Hmm, feel so ... cepet balik ya.
The script? One of their songs is my apology.
Arya tersenyum. Sepertinya ia tahu yang mana.
babblesabout:
Aryaduta Syahrir,
north ireland,
stories,
the script
Kamis, 17 Juni 2010
untuk sahabat
"Bagaimanapun, intinya adalah, aku tidak ingin menjadi salah satu di antara sekian banyak orang yang begitu gampang dilupakan, yang dulu pernah begitu penting, begitu istimewa, begitu berpengaruh, begitu dihargai, namun beberapa tahun kemudian hanya berupa seraut wajah samar dan ingatan kabur. Aku ingin kita bersahabat selamanya, Alex."
- Rosie Dunne, Where Rainbow Ends : 35.
- Rosie Dunne, Where Rainbow Ends : 35.
Selasa, 15 Juni 2010
Wish you were here
Senja turun memayungi lembah yang Keita pandangi di beranda belakang. Sinar jingganya memunculkan gradasi warna menakjubkan di angkasa, yang kala turun ke bumi menyatu dengan hamparan hijau kebun sayur mayur dan ratusan polybag strawberry, memberikan nuansa temaram indah di tengah akhir sore yang dingin. Betapa pemandangan yang terlalu breathtaking untuk dinikmati sendiri.
Dua pasang langkah kaki mendekat di belakang Keita. Tak perlu menoleh ia tahu bahwa sepasang langkah berat Jandi dan sepasang lagi milik Adisti sedang mengendap di belakangnya.
“Hai!” Adisti merangkul pinggangnya dari belakang, “kalkulasi untung rugi, Mr.Businessman?”
Jandi terkekeh mendengar kelakar Adisti. Mereka berdua baru kembali dari hiking singkat di hutan cemara tak jauh dari rumah peristirahatan yang Keita dan Jandi beli untuk sekalian mereka gunakan sebagai kantor bila mereka datang ke Kalinggar untuk menengok perkebunan dan ladang strawberry mereka.
“Heran, deh. Selama di sini sepertinya hobi kamu ngelamun di belakang selalu. Gue tahu pemandangannya indah, Kei. Mbok ya bagi-bagi gitu..” Adisti menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jandi mengangguk-angguk mengiyakan. Keita tahu Jandi juga sebenarnya concern akan kebiasaannya yang sedikit aneh bila di sini. Dengan atau tanpa kehadiran Adisti, Jandi tahu kalau beranda belakang adalah sangtuari Keita selain kamar kerjanya.
Suara ban yang beradu dengan kerikil di jalanan depan rumah peristirahatan mereka mendistraksi sejenak perhatian ketiganya. Jandi dan keita berpandangan mengerti sementara Adisti melongokkan kepala ke jalan setapak di samping rumah, mencoba mencari tahu mobil siapa yang mendekat sore-sore begini. Seingatnya petugas perkebunan sudah kembali ke rumah masing-masing selepas mengantar dirinya dan Jandi hiking.
“Wow. Ada Benz SUV parkir di depan rumah lo, Kei..” Adisti bersiul pelan.
Jandi mendahului masuk ke dalam untuk menyambut kedatangan tamu mereka. Sementara Keita mendekat ke tempat Adisti berdiri mengagumi SUV mewah yang nongkrong di pelataran depan.
“Yuk, Disti, aku kenalin sama yang punya tuh mobil.”
Disti meraih siku Keita dan menariknya ke dalam sambil melonjak riang.
“Ayo Kei, kenalin aku!! Kali aja aku dapet kesempatan buat jalan-jalan sama tuh silver..”
Keita beranjak ke dalam, meninggalkan sangtuari sorenya.
-
Seperti yang direncanakan sebelumnya, Willy, sang pemilik SUV silver, dan Anjani akan datang untuk melihat ladang perkebunan sore ini. Willy sudah sejak lama tertarik dengan bisnis agrikultur dan begitu Keita menawarkan kesempatan untuk bekerjasama, Willy tidak menyia-nyiakannya sedetikpun. Dua bulan terakhir ini ia hanya mengikuti perkembangan bisnisnya ini lewat komunikasi dengan Keita atau Jandi, hingga baru kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat dan memantau langsung ladangnya.
Willy sudah diperingatkan oleh Keita bahwa udara akan menusuk bila malam tiba, apalagi bila malam berkabut, yang sialnya hampir tiap hari, datang. Meski begitu Willy tetap membandel dengan membawa sehelai sweter rajut tipis dan jaket biasa.
Akibatnya, gemeletuk giginya tak terhindarkan saat mereka melangkah ke luar seusai makan malam untuk melihat separuh lembah perkebunan dari beranda belakang.
Anjani, kekasih Willy, tak sanggup menahan tawa melihat Willy sibuk merapatkan jaket pinjaman dari keita untuk mengusir hawa dingin.
“Udah dibilangin, juga..” goda Anjani, “kekeuh aja cuma bawa sweter doang. Biasa pepanasan di Cirebon, tahu rasa deh naik gunung begini.”
Willy manyun. Ia sadar saran Anjani sebelum mereka berangkat untuk membawa lebih banyak baju hangat sangat tepat, sayang ia tak menghiraukannya. Ia meraih telapak tangan Anjani dan menyatukan telapak tangannya sendiri di sana, coba menghangatkan kulit yang mendingin di sana. Antara kaget dan tersipu, Anjani membuang pandangannya ke samping.
Keita memandangi keduanya dengan iri. Ia mendambakan melakukan hal itu dengan seseorang juga sebenarnya.
“Hot chocolate, guys!!” Adisti muncul dengan membawa senampan cangkir mengepul dan aroma cokelat panas yang bikin air liur menetes. Jandi menyusul di belakang Adisti dengan sepiring pisang goreng di satu tangan dan mangkuk ubi bakar di tangan yang lain.
Anjani melepaskan genggaman Willy tiba-tiba dan menyongsong Jandi untuk membantunya membawa salah satu piring. Willy merengut kesal melihatnya.
“Heran, ya.. baru juga makan tadi. tapi tetep aja ngiler liat cokelat panas sama pisang goreng. Alamat ngelonjak deh, timbangan gue!” Adisti berseloroh.
Anjani memekik mengiyakan. Sementara dua gadis itu tertawa, para cowok memutar bola mata, meneriakkan ‘typical!’ dari tatapan mereka.
“Widya kesini juga, Kei. Besok sepertinya. Dia juga pingin lihat lokasinya. Yah, gue kan patungan sama dia. Moga-moga kalian nggak keberatan, ya..” ucap Willy, lebih segar setelah menyeruput Hot Chocolate-nya.
Keita dan Jandi menggeleng bersamaan.
“Lahan ini kan, punya kalian juga..” Jandi kali ini angkat suara, “tentu dengan senang hati kita sambut..”
Willy dan Anjani berpandangan sambil nyengir lebar, lalu mengangguk-angguk seperti bertukar kode rahasia dengan satu sama lain
Keita menatapnya curiga namun tidak berkata apa-apa lagi saat Adisti mulai mengoceh pada Willy dan Anjani tentang hiking singkat dengan Jandi di hutan Cemara. Segera saja ajakan Adisti untuk meneruskan hiking disetujui bulat-bulat oleh sejoli itu. Mereka berdua akan ikut hiking besok sore.
-
Dua pasang langkah kaki mendekat di belakang Keita. Tak perlu menoleh ia tahu bahwa sepasang langkah berat Jandi dan sepasang lagi milik Adisti sedang mengendap di belakangnya.
“Hai!” Adisti merangkul pinggangnya dari belakang, “kalkulasi untung rugi, Mr.Businessman?”
Jandi terkekeh mendengar kelakar Adisti. Mereka berdua baru kembali dari hiking singkat di hutan cemara tak jauh dari rumah peristirahatan yang Keita dan Jandi beli untuk sekalian mereka gunakan sebagai kantor bila mereka datang ke Kalinggar untuk menengok perkebunan dan ladang strawberry mereka.
“Heran, deh. Selama di sini sepertinya hobi kamu ngelamun di belakang selalu. Gue tahu pemandangannya indah, Kei. Mbok ya bagi-bagi gitu..” Adisti menambahkan sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jandi mengangguk-angguk mengiyakan. Keita tahu Jandi juga sebenarnya concern akan kebiasaannya yang sedikit aneh bila di sini. Dengan atau tanpa kehadiran Adisti, Jandi tahu kalau beranda belakang adalah sangtuari Keita selain kamar kerjanya.
Suara ban yang beradu dengan kerikil di jalanan depan rumah peristirahatan mereka mendistraksi sejenak perhatian ketiganya. Jandi dan keita berpandangan mengerti sementara Adisti melongokkan kepala ke jalan setapak di samping rumah, mencoba mencari tahu mobil siapa yang mendekat sore-sore begini. Seingatnya petugas perkebunan sudah kembali ke rumah masing-masing selepas mengantar dirinya dan Jandi hiking.
“Wow. Ada Benz SUV parkir di depan rumah lo, Kei..” Adisti bersiul pelan.
Jandi mendahului masuk ke dalam untuk menyambut kedatangan tamu mereka. Sementara Keita mendekat ke tempat Adisti berdiri mengagumi SUV mewah yang nongkrong di pelataran depan.
“Yuk, Disti, aku kenalin sama yang punya tuh mobil.”
Disti meraih siku Keita dan menariknya ke dalam sambil melonjak riang.
“Ayo Kei, kenalin aku!! Kali aja aku dapet kesempatan buat jalan-jalan sama tuh silver..”
Keita beranjak ke dalam, meninggalkan sangtuari sorenya.
-
Seperti yang direncanakan sebelumnya, Willy, sang pemilik SUV silver, dan Anjani akan datang untuk melihat ladang perkebunan sore ini. Willy sudah sejak lama tertarik dengan bisnis agrikultur dan begitu Keita menawarkan kesempatan untuk bekerjasama, Willy tidak menyia-nyiakannya sedetikpun. Dua bulan terakhir ini ia hanya mengikuti perkembangan bisnisnya ini lewat komunikasi dengan Keita atau Jandi, hingga baru kali ini ia memiliki kesempatan untuk melihat dan memantau langsung ladangnya.
Willy sudah diperingatkan oleh Keita bahwa udara akan menusuk bila malam tiba, apalagi bila malam berkabut, yang sialnya hampir tiap hari, datang. Meski begitu Willy tetap membandel dengan membawa sehelai sweter rajut tipis dan jaket biasa.
Akibatnya, gemeletuk giginya tak terhindarkan saat mereka melangkah ke luar seusai makan malam untuk melihat separuh lembah perkebunan dari beranda belakang.
Anjani, kekasih Willy, tak sanggup menahan tawa melihat Willy sibuk merapatkan jaket pinjaman dari keita untuk mengusir hawa dingin.
“Udah dibilangin, juga..” goda Anjani, “kekeuh aja cuma bawa sweter doang. Biasa pepanasan di Cirebon, tahu rasa deh naik gunung begini.”
Willy manyun. Ia sadar saran Anjani sebelum mereka berangkat untuk membawa lebih banyak baju hangat sangat tepat, sayang ia tak menghiraukannya. Ia meraih telapak tangan Anjani dan menyatukan telapak tangannya sendiri di sana, coba menghangatkan kulit yang mendingin di sana. Antara kaget dan tersipu, Anjani membuang pandangannya ke samping.
Keita memandangi keduanya dengan iri. Ia mendambakan melakukan hal itu dengan seseorang juga sebenarnya.
“Hot chocolate, guys!!” Adisti muncul dengan membawa senampan cangkir mengepul dan aroma cokelat panas yang bikin air liur menetes. Jandi menyusul di belakang Adisti dengan sepiring pisang goreng di satu tangan dan mangkuk ubi bakar di tangan yang lain.
Anjani melepaskan genggaman Willy tiba-tiba dan menyongsong Jandi untuk membantunya membawa salah satu piring. Willy merengut kesal melihatnya.
“Heran, ya.. baru juga makan tadi. tapi tetep aja ngiler liat cokelat panas sama pisang goreng. Alamat ngelonjak deh, timbangan gue!” Adisti berseloroh.
Anjani memekik mengiyakan. Sementara dua gadis itu tertawa, para cowok memutar bola mata, meneriakkan ‘typical!’ dari tatapan mereka.
“Widya kesini juga, Kei. Besok sepertinya. Dia juga pingin lihat lokasinya. Yah, gue kan patungan sama dia. Moga-moga kalian nggak keberatan, ya..” ucap Willy, lebih segar setelah menyeruput Hot Chocolate-nya.
Keita dan Jandi menggeleng bersamaan.
“Lahan ini kan, punya kalian juga..” Jandi kali ini angkat suara, “tentu dengan senang hati kita sambut..”
Willy dan Anjani berpandangan sambil nyengir lebar, lalu mengangguk-angguk seperti bertukar kode rahasia dengan satu sama lain
Keita menatapnya curiga namun tidak berkata apa-apa lagi saat Adisti mulai mengoceh pada Willy dan Anjani tentang hiking singkat dengan Jandi di hutan Cemara. Segera saja ajakan Adisti untuk meneruskan hiking disetujui bulat-bulat oleh sejoli itu. Mereka berdua akan ikut hiking besok sore.
-
Seusai Subuh, Keita sudah menuju lembah untuk memantau ladang bersama salah satu pengawas perkebunannya, Bapak Narma. Tanah-tanah di antara tanaman polybag masih terlihat lembap karena penyiraman yang dilakukan semalam. Pengairan untuk kebun yang ia kelola ini memang dilakukan pada malam hari sesuai saran dari penasehat pertaniannya.
Keita dan Pak Narma asyik berdiskusi tentang kemungkinan sumber air tambahan dan pembuatan pagar baru di sisi selatan lahan saat sinar keemasan perlahan mengintip dari batas cakrawala.
Ini adalah momen menakjubkan lain yang enggan Keita lewatkan. Matahari terbit. Memang berbeda dengan sunrise yang biasa dilihatnya di sisi pantai. Tanpa bayang-bayang keemasan yang memantul di perairan, matahari terbit di ujung lembah memang memiliki pesonanya tersendiri. Seperti senja, sinar keemasannya perlahan muncul dan menyatu dengan hamparan hijau perkebunan. Seolah sinar itu merayap jengkal demi jengkal hingga seluruh lembah terang seluruhnya. Pemandangan tetes-tetes embun yang jatuh dari ujung daun mungil yang menyembul di atas polybag atau pucuk daun bawang dan tanah lembap yang berkilau diterpa sinar pertama, seharusnya menjadi hal yang dibagi dengan sosok-sosok terkasih. Hmm, andai Anjani dan Willy bisa bangun lebih awal, mereka pasti jadi salah satu pasangan paling beruntung bisa berbagi hal yang memesona seperti ini berdua.
Tak lama kemudian, Keita mohon diri dari Pak Narma untuk kembali ke rumah, menyiapkan sarapan.
-
Keita sekali lagi memutuskan untuk tidak ikut hiking ke hutan cemara, dan membiarkan Jandi yang menemani mereka. Keita berkilah akan menyiapkan peralatan untuk barbeque untuk makan malam nanti. Seperti yang Willy katakan kemarin, sore ini Widya, yang mungkin akan datang bersama Danar, bakal tiba.
Sejoli lain, Keita mendesah dalam hati. Ia menyiapkan dirinya lagi untuk merasa iri. walau ia tak perlu sebenarnya, mengingat Adisti sudah berbaik hati mengajukan diri untuk ikut bersamanya dan Jandi mengunjungi perkebunan yang ia kelola.
Ia seharusnya bisa memanfaatkan momen ini untuk lebih dekat dengan Adisti. Namun yang terjadi malah, Jandi yang menggantikan posisinya untuk menemani gadis itu.
Panggangan, meja, kursi-kursi rotan dan satu set peralatan makan sudah ia tata di pelataran belakang dengan bantuan Ceu Ayoh, pengurus rumah tangga yang ia pekerjakan untuk merawat rumah peristirahatannya.
Selesai mengeset tempat dan memberitahu bahwa seluruh makanan sudah disimpan dalam kulkas, Ceu Ayoh mohon diri dan berjanji untuk kembali esok pagi-pagi sekali.
Keita meraih sebuah buku yang tergeletak di kursi malasnya di beranda belakang, sangtuari senjanya. Ia lelah, namun tak sampai membutuhkan istirahat dalam, sedikit merebah sudah cukup.
Angin sepoi yang dingin membelai, membuatnya mengantuk dan mengabaikan buku yang sedang dibacanya. Sambil menyesap udara dingin pegunungan, Keita terpejam, menanti delusi yang biasanya muncul pada momen-momen seperti ini. Kehadiran seseorang. Bayangan seseorang, lebih tepatnya.
Kadang, bila sedang ngadem sore-sore begini, Keita merasa ia berhalusinasi Aira muncul di sampingnya. Sekedar duduk diam di sisinya, menemaninya. Awalnya Keita bergidik dan merinding sesekali, namun setelahnya, ia malah jadi terbiasa dan merasa nyaman karena ia tahu sosok yang paling ia sayang datang dan mengisi kesendiriannya walau hanya dalam ilusi semata. Tuhan, Keita kadang merasa dirinya sudah gila kronis, merasa aman ditemani sosok ilusi seseorang yang sudah meninggal.
Kali ini, di tengah kantuk yang perlahan menyerangnya, sosok ilusi itu datang lagi. Keita seperti mampu melihat Aira berdiri tersenyum menatapnya. Seperti biasa, bayangan itu mendekat dan duduk di sampingnya.
Kamu datang lagi Aira, benak keita coba bersuara.
Sosok bayangan itu menoleh, ayu dan pucat transparan, iya, Kei. Kamu nggak kangen?
Keita mendesah, sepertinya ia benar-benar sudah tidak waras, berkomunikasi dengan hantu…
“kangen..” bisik Keita pelan.
Bayangan Aira tersenyum mendengarnya, namun seperti mampu membaca pikiran Keita, bayangan itu mendekat ke sisi wajahnya, siap balas berbisik, “Nggak, Kei, kamu nggak kangen aku, silly. Kamu kangen Alena. Senang mendengar akal sehat kamu sudah kembali. Sebentar lagi tugasku bakal selesai. Admit it, kei!”
Keita mendesah berat, tanpa sadar ia mengangguk pelan, mengiyakan ucapan bayangan Aira.
Udara dingin menyapu wajah Keita seraya bayangan Aira menunduk untuk mengecup pipinya, “Have a nice evening, Kei..”
Keita terpejam saat merasakan bayangan Aira mulai menjauh. Hening senja sekali lagi menyelimuti. Hanya Keita, langit sore, dan rasa kangen yang coba ia akui.
Wish you were here, Alena, Keita membatin penuh rindu.
-
Kesadarannya kembali muncul di permukaan saat bahunya digoncang. Adisti duduk di sampingnya saat Keita membuka mata.
“Hey, sleeping beauty!” goda Adisti sambil menjawil pelan lengan atas Keita, “padahal belum aku cium tapi kamu udah keburu bangun.”
“Hehe, gimana hiking-nya?” tanya Keita sambil bangkit duduk berhadapan dengan Adisti.
Gadis itu mengangguk-angguk semangat, “Seru! Seru! Sayang elo nggak ikut Kei. Kita nyobain rute baru, tau!”
“Gue nyiapin barbeque, Dis..”
“Ya, I see that..” katanya sambil melirik ke arah panggangan dan meja kayu di tengah halaman.
“Umm Kei..”
“Hmm..” gumam Keita sambil memungut buku yang ternyata terjatuh ke lantai saat ia tertidur tadi. Mata Adisti menatapnya lekat saat ia mendongak.
“I wish you were here.”
Keita tercekat. Ia mengharapkan kata-kata itu terucap untuk seseorang. Tapi bukan gadis yang duduk di hadapannya ini. Dan mendapati Adisti mengucapkan kata-kata itu padanya begini, Keita jadi sedikit menyesal tidak mencoba tegas dengan perasaannya sejak dulu. Ia khawatir satu hati lagi tersakiti akibat ini.
“I am here, Disti..” bisik Keita pelan, sambil menoleh, menolak menatap mata yang mungkin akan ia sakiti nanti.
“ya, physically. But your mind’s not here. It’s out there. Kei.. gue disini buat elo, tahu..” Disti tersenyum pahit, mengakui.
Sekali lagi Keita kelu. Ia bingung harus bicara apa. ‘Makasih Disti, gue hargain banget usaha lo, tapi sayang pikiran gue kayaknya udah dipenuhin sama cewek laen tuh!’ huh, memikirkan kata-kata itu terucapkan saja sudah bikin Keita mual.
Melihat Keita terdiam begitu, Disti bangkit berdiri, “Anyway, liburannya menyenangkan kok. Thanks udah memperbolehkan gue ikut kesini. Yuk, Kei ke halaman, sebentar lagi yang lain keluar nyusul.”
Mereka baru beranjak menuruni tangga kecil di sisi beranda saat Adisti menahan siku Keita. “Tapi ingat ya, Kei, aku orangnya pantang menyerah, lho!”
Keita menelan ludah, bingung harus menjawab apa lagi, ia hanya mampu menggumam, “aku lupa! Aku ambil daging sama sayurannya dulu di dalam, ya..”
-
Aroma khas daging panggang menguar di senja temaram yang biasanya Keita nikmati sendiri. Ia dan Jandi kebagian tugas memanggang potongan-potongan daging yang sudah dipersiapkan Ceu Ayoh untuk acara barbeque sederhana ini. Sementara Adisti dan Anjani membuat lalapan, sambal dan mempersiapkan buah. Willy memilih membuat minuman untuk mereka berlima dan rombongan Widya yang berencana datang sore itu.
“Widya kok belum nyampe juga ya?” gumam Willy saat menuangkan cokelat hangat ke lima cangkir yang sudah di tata di atas meja rotan.
Anjani menyodorkan potongan apel ke arah Disti untuk disusun dalam piring buah, ia mengangkat bahu, “nyasar kali! Kita kan juga hampir nyasar pas kesini kemarin. Ditambah Danar kan nggak bener-bener paham medan jalan. Pasti agak kesulitan deh..”
“Mereka berdua aja?” Tanya Jandi sambil membawa potongan daging yang telah selesai dipanggang ke atas meja.
Willy dan Anjani berpandangan, masing-masing seperti menahan senyum. “sepertinya sih, begitu..” ucap Anjani kemudian.
Tak sampai 5 menit kemudian, deru ban menerjang kerikil yang disusul bunyi klakson terdengar menandakan rombongan Widya yang mereka tunggu sudah tiba. Anjani dan Willy dengan semangat bangkit dan beranjak menuju pelataran depan lewat jalan setapak kecil di sisi rumah peristirahatan, untuk menyambut Widya.
Suara ceriwis Widya membahana tak lama kemudian saat ketiganya kembali ke halaman belakang tempat barbeque diadakan.
“Gue makan dulu aja, ah! Capek banget tahu! Hampir nyasar tadi! Kita buta banget daerah sini. Mana jalanannya meliuk-liuk nanjak sempit pula! Aaahhh!! Barbeque!!”
Keita yang baru selesai menutup panggangan geleng-geleng kepala melihat polah khas teman lamanya ini.
“Ck..ck..ck.. Widya…”
Setengah berlari Widya mendekat ke tempat Keita berdiri, “Hai Kei!! Gue kebagian nggak nih?”
Keita berdecak, “Ampun deh, Wid. Elo baru datang tahu! Mandi dulu napa!”
“Dan kehilangan jatah makan gue diembat dia?” Widya menunjuk ke arah Willy, “Hm, sorry!”
Willy manyun melempar pandangan sebal pada sepupunya yang satu itu, Anjani harus setengah menyeretnya kembali ke meja makan.
“Kei, makasih ya, kita udah boleh ikut kemari..” ucap Widya tulus.
Keita merangkul bahu Widya, berjalan beriringan ke arah meja menyusul Willy dan Anjani, “ini punya elo juga kok. By the way, Danar mana?”
“Di belakang. Ngambil barang bawaan. Umm, Kei, selain Danar, gue bawa satu orang lagi. Gue harap elo nggak keberatan, ya…” pinta Widya agak ragu sambil melirik ke arah Adisti.
Kening Keita berkerut, “siapa?”
“Hai, semua maaf lama..” sapa Danar saat muncul di pelataran belakang, memotong Widya yang belum sempat menjawab pertanyaan Keita, “Alena menggigil gitu jadi kita cari sweater dia sebentar..”
Keita spontan berbalik cepat mendengar nama itu disebutkan. Ia pikir ia hanya berhalusinasi saat Danar menyebutkan nama itu. Namun sosok yang berdiri di samping Danar, menenteng backpack dengan wajah sedikit pucat karena kedinginan tersenyum dan melambai kikuk Wajah yang telah ia kangeni belakangan ini.
“Hai.. di sini dingin banget ya..” ujar Alena sambil mendekat ke meja. Tatapannya bertemu dengan rona kaget Keita, “Hai, Kei…”
“Hai..” jawab Keita dengan sama kikuk, masih tak menyangka gadis itu ada di dekatnya sekarang. Ia bahkan tak sadar, piring daging panggang yang ia bawa sebelumnya telah diselamatkan seseorang dan kini nangkring dengan nyaman di tengah meja.
Ia jadi paham sekarang kenapa ada quote ‘be careful with what you wish for, cause you might get it all..’.
Ia patut khawatir kedatangan Alena bisa membuat Disti sangat sakit hati. Namun sisi baiknya adalah, harapannya untuk membagi pagi dan senja indahnya disini dengan seseorang sepertinya akan kesampaian.
“So glad to meet you, Alena..”
-
pictures taken from this
Jumat, 04 Juni 2010
Once again.. Owl City, dear friends..
This relates to my sterling-abnormal liking to Owl City's songs. To Adam Young's voice and words.
For quite long time i have been wondering why is it the reason of my desperate needs to hear Owl city's songs over and over again?
Well, what i got so far is that those rhythm and words rhyme remind me of imaginary things that i've been longing for so long..
Remind me of Narnia, lush tropical woods, green stepa with horses sprint around, snowflakes fall tinkle the delicate velvet coats, fairies sprawl upon tiny treehouse, ocean waves hitting the shores, blue skies, Alice and her wonderland, of little Sara..
of dreams
of missing love
of misery
of laughter
of useless hatred
of contentment
of luscious smiles
of memorable moments
of life.
Kamis, 03 Juni 2010
Hyrax
Kami terbentuk akibat represi zaman dan peradaban terhadap hak-hak yang lemah dan terpinggirkan. Kami menyusup lewat kanal-kanal sempit pori-pori tanah, lapisan semen tebal dan lembapnya malam di tengah rawa. Kami terbangun saat teriakan pilu ketidakadilan membahana. Kami datang tanpa suara, seperti kepakan sayap sang predator angkasa mengecap aroma mangsa. Kami selembut helai-helai bulu angsa yang bertebaran di lapisan tanah yang kasar, siap mengulurkan tangan dan berbagi pada siapapun yang membutuhkan. Kami memang terberai saat sinar tinggi di tengah hari. Namun kami serekat rantai titanium dalam kelam. Kami adalah hyrax, penentang ketidakadilan.
Langganan:
Postingan (Atom)