Panas menyengat membelai wajah. Namun pengaruhnya tak seberapa besar seperti waktu aku menjadi manusia normal dulu. Ini mungkin keistimewaan pelindung : imun terhadap perubahan cuaca. Setidaknya di saat sesi latihan seperti ini.
Walaupun dikondisikan seperti aslinya, dengan temperatur yang menyesuaikan dan sebagainya, tubuh kami—para pelindung—akan belajar sedikit demi sedikit beradaptasi. Kami akan merasakan sengatan panas, menusuknya dingin, tetes basah hujan, sedetik dua detik rasa tak nyaman akan merayap, namun selanjutnya tubuh dengan sendirinya akan menyesuaikan.
Sosok di depanku ini menginformasikan hal tersebut barusan, ketika kutanyakan kenapa aku tak benar-benar kepanasan.
Kami sedang berada di satu titik di jalanan kosong salah satu interstate sepi di selatan U.S. menjalani sesi latihan adaptasi.
Hanya kami berdua.
Gregori mengawasi dari entah dimana tentu saja, namun ia tak menampakkan diri.
Jadi, yah, berdua. Cowok bermata kelabu ini masih asyik menerangkan mekanisme perubahan termoregulasi pada tubuh seorang pelindung. Bla, bla, bla. Dan aku, dengan tak menghiraukan ucapan yang keluar dari bibirnya, sibuk mengamatinya.
“You’re so Asia,you know..”
“Pardon?” rautnya agak kaget karena disela di tengah-tengah penjelasan.
“Wajah kamu itu saangat Asia. Bahkan jelas jelas garis wajah Asia Tenggara. Jadi mau sekental apapun aksen English British-mu itu, kamu nggak bisa menipuku.
”
Dahinya berkerut, menampilkan raut tak mengerti. Atau pura-pura tak mengerti.
“Dan kamu itu mengingatkanku pada seseorang..”
Dia merasakan itu, aku melihat dari pancaran matanya bahwa dia tahu apa yang aku bicarakan—dirinya. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan, juga topik pembicaraan.
“Kalau kamu sudah mengerti kenapa kamu tak merasakan perubahan signifikan terhadap temperatur, sebaiknya kita mulai sesi latihan hari ini.”
“Kamu mengingatkanku pada Raka.”
Dan ia sontak membeku. Menjawab rasa penasaran yang selama ini mengendap di benakku sejak pertama kali bertemu dengannya.
“Mungkin karena kemiripan nama. You know, Raka dan Arakata.”
Tahu bahwa itu salah satu usahanya untuk berkilah, aku hanya tersenyum. “No, it’s more than just a name.”
Ia masih enggan menatap mataku. “Sebaiknya latihan dimulai.”
“It’s weird, karena aku menyukai Raka. Dan melihat kembali sosoknya dalam bentuk yang berbeda seperti ini cukup mempengaruhi perasaanku.” Entah dorongan apa yang mendesakku membuat pengakuan seperti itu. Namun tak ada kesan menyesal tersisa.
Aku memandangnya terpaku. Wajahnya menatap sudut jauh di padang tandus.
“Aku mau memanggil Raka, boleh?” lenganku terulur, menangkap kelingkingnya yang terkulai di sisi tubuh.
Saat itulah ia menoleh, memandangku tajam, “No.. Aku Ara. Arakata.” Persisten, seperti biasa.
Dan ia menarik lengannya menjauh, namun tatapannya melembut.
“I can’t be that.. Your Raka anymore. But i can be your Ara. Your Grey.”
Benak yang tak seberapa lincah mencerna ini masih sibuk memproses ucapan si ‘kelabu’ tadi. Ya, Gregori pernah bicara padaku suatu waktu, sekali seseorang bertransformasi menjadi kaum kelabu dan mengabdikan dirinya mendampingi seorang pelindung dalam masa pelatihannya, maka ia harus meninggalkan masa lalunya. Seperti seorang pelindung sendiri hidup—meninggalkan masa lalu dalam satu kompartemen yang diam di sudut memori tak terjangkau.
Setidaknya si kelabu ini ‘milik’ku. Meski ia bukan Raka.
“My only Grey?” tanyaku mengkonfirmasi.
Si mata kelabu itu terdiam sesaat, tatapan lembutnya masih terkunci dengan mataku. Lalu dengan mantap ia mengangguk.
My Grey. My only Grey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar