Senin, 23 April 2012

pergeseran rasa


“Tunggu, aneh deh, gue, Hanom lo bilang pecicilan, tapi kata lo dia nggak menarik. Sementara Igna yang kalem itu lo bilang juga nggak menarik. Jadi definisi menarik yang kayak gimana, sih, yang lo cari, Ke?” daerah di antara kedua alis Ika mengkerut saat menanyakan itu padaku. Sementara aku cuma bisa membalas dengan senyum-senyum kecil.

Aku mendesah, sibuk memikirkan jawaban yang pas agar Ika nggak melulu mencecar dengan pertanyaan seputar kriteria cowok menarik menurut seorang Kemuning Pramudhita. Aku. 

“Hmm, penentuan kata menarik itu seperti sindrom yang punya banyak gejala, Ka. Dia punya banyak sebab kenapa dia bisa disebut menarik.

Gue nggak menemukan sisi menarik dari Hanom karena dia pecicilan. Tapi kalau Igna yang nggak pecicilan juga gue bilang nggak menarik karena ada hal lain dalam diri Igna yang gue temukan nggak menarik. That simple. Satu kriteria nggak melulu memukul rata definisi atraktif buat gue. Lagian kan, lo yang naksir si Igna, bukan gue. Jelas lah buat gue si Igna nggak menarik”

“Ah, another theory of yours itu lah, Ke, yang bikin lo jomblo sejak Firaun puber.” Keluh Ika sambil menutup netbook-nya dan beranjak pergi dari sisi favorit kami di Perpustakaan.
Aku tak langsung mengekor Ika pergi. Aku ingin berdiam diri sejenak di sini. Sendirian. 

Sedikit banyak juga memikirkan ucapan Ika.

Perpustakaan hampir kosong di lantai dua, dimana sisi favorit aku dan Ika berada. Di meja baca di pinggir jendela yang melatarbelakangi pemandangan di sisi utara kampus.
Di sini aku bisa memandang langsung gedung megah fakultas kedokteran yang beken di kampus kami. Tempat dua nama yang disebutkan Ika tadi berguru. Hanom dan Ignasius. Dua cowok senior yang berjarak dua tahun di atas kami.

Ignasius adalah cowok yang Ika taksir sejak semester kemarin. Tampang geek dengan pembawaan kalem dan aksen jawa yang lumayan kentara. Sedang Hanom..

Hanom adalah sahabat SMA Ika yang awalnya jadi musuh bebuyutanku. Dimana ada Hanom dan Kemuning, disana ada noisy banter yang parah. Cela-celaan, saling maki. Only joking, surely. Tapi kami berdua terkenal sebagai minyak dan air.

Malangnya, Ika melihat ini sebagai hal yang lucu. Dia kerap mengingatkan kalau terlalu benci sampai musuhan begitu sama orang, bisa jadi lama-lama perasaan bisa bergeser jadi suka. Apalagi menurut Ika, raut dan garis wajah kami berdua agak mirip. Sesuatu yang hampir serupa adalah tanda berjodoh dalam kamus Fransiska Pribawanti.

Awalnya sih, aku cuih-cuih ya sama pendapat Ika yang nggak jelas itu. Tapi saat lama nggak bertemu Hanom dan mulai kangen dengan noisy banter kami, aku jadi lumayan waspada. Jangan-jangan pergeseran perasaan yang dibilang Ika itu mulai terjadi.

Dan makin lama, memang banter kami berdua mulai menghilang. Hanom sibuk dengan skripsi, tugas akhir dan persiapan ko-ass. Aku sibuk dengan perangkat laboratorium dan persiapan praktik lapangan. Mungkin karena kesibukan itu, dalam pertemuan yang jarang terjadi, kami lebih banyak saling diam. Tak banyak bicara, tak saling mencela juga. Tak seperti dulu.

Dan belakangan, aku jadi kangen. Namun tentu hal ini nggak bisa aku ceritakan pada Ika. Aku nggak siap menerima mimik ‘apa-gue-bilang’ Ika.

Lagipula, aku nggak benar-benar mengerti dan tahu sejauh mana pergeseran perasaan ini.
Yang pasti, aku memang mengakui ada perasaan yang salah tiap kami akhirnya bertatapan.

Aku takut rasa ini bergeser terlalu jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar