“Tunggu, aneh deh, gue, Hanom lo bilang pecicilan, tapi kata
lo dia nggak menarik. Sementara Igna yang kalem itu lo bilang juga nggak
menarik. Jadi definisi menarik yang kayak gimana, sih, yang lo cari, Ke?”
daerah di antara kedua alis Ika mengkerut saat menanyakan itu padaku. Sementara
aku cuma bisa membalas dengan senyum-senyum kecil.
Aku mendesah, sibuk memikirkan jawaban yang pas agar Ika
nggak melulu mencecar dengan pertanyaan seputar kriteria cowok menarik menurut
seorang Kemuning Pramudhita. Aku.
“Hmm, penentuan kata menarik itu seperti
sindrom yang punya banyak gejala, Ka. Dia punya banyak sebab kenapa dia bisa
disebut menarik.
Gue nggak menemukan sisi menarik dari Hanom karena dia
pecicilan. Tapi kalau Igna yang nggak pecicilan juga gue bilang nggak menarik
karena ada hal lain dalam diri Igna yang gue temukan nggak menarik. That
simple. Satu kriteria nggak melulu memukul rata definisi atraktif buat gue.
Lagian kan, lo yang naksir si Igna, bukan gue. Jelas lah buat gue si Igna nggak
menarik”
“Ah, another theory of yours itu lah, Ke, yang bikin lo
jomblo sejak Firaun puber.” Keluh Ika sambil menutup netbook-nya dan beranjak
pergi dari sisi favorit kami di Perpustakaan.
Aku tak langsung mengekor Ika pergi. Aku ingin berdiam diri
sejenak di sini. Sendirian.
Sedikit banyak juga memikirkan ucapan Ika.
Perpustakaan hampir kosong di lantai dua, dimana sisi
favorit aku dan Ika berada. Di meja baca di pinggir jendela yang
melatarbelakangi pemandangan di sisi utara kampus.
Di sini aku bisa memandang langsung gedung megah fakultas
kedokteran yang beken di kampus kami. Tempat dua nama yang disebutkan Ika tadi
berguru. Hanom dan Ignasius. Dua cowok senior yang berjarak dua tahun di atas
kami.
Ignasius adalah cowok yang Ika taksir sejak semester kemarin.
Tampang geek dengan pembawaan kalem
dan aksen jawa yang lumayan kentara. Sedang Hanom..
Hanom adalah sahabat SMA Ika yang awalnya jadi musuh
bebuyutanku. Dimana ada Hanom dan Kemuning, disana ada noisy banter yang parah. Cela-celaan, saling maki. Only joking,
surely. Tapi kami berdua terkenal sebagai minyak dan air.
Malangnya, Ika melihat ini sebagai hal yang lucu. Dia kerap
mengingatkan kalau terlalu benci sampai musuhan begitu sama orang, bisa jadi
lama-lama perasaan bisa bergeser jadi suka. Apalagi menurut Ika, raut dan garis
wajah kami berdua agak mirip. Sesuatu yang hampir serupa adalah tanda berjodoh
dalam kamus Fransiska Pribawanti.
Awalnya sih, aku cuih-cuih ya sama pendapat Ika yang nggak
jelas itu. Tapi saat lama nggak bertemu Hanom dan mulai kangen dengan noisy
banter kami, aku jadi lumayan waspada. Jangan-jangan pergeseran perasaan yang
dibilang Ika itu mulai terjadi.
Dan makin lama, memang banter
kami berdua mulai menghilang. Hanom sibuk dengan skripsi, tugas akhir dan
persiapan ko-ass. Aku sibuk dengan perangkat laboratorium dan persiapan praktik
lapangan. Mungkin karena kesibukan itu, dalam pertemuan yang jarang terjadi,
kami lebih banyak saling diam. Tak banyak bicara, tak saling mencela juga. Tak
seperti dulu.
Dan belakangan, aku jadi kangen. Namun tentu hal ini nggak
bisa aku ceritakan pada Ika. Aku nggak siap menerima mimik ‘apa-gue-bilang’
Ika.
Lagipula, aku nggak benar-benar mengerti dan tahu sejauh
mana pergeseran perasaan ini.
Yang pasti, aku memang mengakui ada perasaan yang salah tiap
kami akhirnya bertatapan.
Aku takut rasa ini bergeser terlalu jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar