Rabu, 14 Maret 2012

the birthday girl

Aku kangen Dipa. Ingin berkilah aku kangen dia sebatas sahabat yang rindu saat keduanya terpisah samudera dan benua. Tapi di satu sudut hati yang terdalam, aku tahu ini lebih dari itu.

Tahun lalu kami sempat bertemu. Tanpa janjian sebelumnya. Tepat di sini. Foodcourt Istana Plaza di depan stall mie hot plate. Menu favoritmu di sini.

Buatku, momen ulang tahun adalah momen me-time. Berkontemplasi, menyendiri, apapun itu istilahnya. Berbekal novel dan HP mini netbook kesayangan, aku nongkrong di food court salah satu pusat perbelanjaan beken di Bandung. Sepenuh hati berharap tidak bertemu atau berpapasan dengan sosok yang ku kenal. Aku malas berbasa-basi. Walaupun hari itu hari ulang tahunku. Orang-orang bilang kamu akan dilimpahi ribuan doa di hari itu. Doanya akan kuamini, sungguh. Tapi tidak untuk percakapan panjang yang menguras waktu.

Aku ingat betul halaman berapa yang sedang ku baca saat itu, dan scene apa yang tergambarkan di dalam lembaran novel, saat tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

“Woyy!” ia berseru. Suaranya maskulin. Jenis yang betah kudengarkan bercerita lama.

Suaramu, Dipa.

Kamu membawa nampan berisi dua mie hot plate pedas favoritmu. Menyodorkannya ke depanku sambil menggeser sedikit netbook yang kuabaikan.

“Happy Birthday!”

Sebelum aku sempat merespon kamu sudah berbalik lagi, kembali ke stall mie hot plate, mengambil dua gelas softdrink.

“Lain kali duduknya di sana aja, Ke..” katamu agak ngos-ngosan sambil menunjuk meja yang terletak tepat di depan stall mie hot plate. “Capek juga bolak balik kemari sambil nenteng-nenteng ginian..” kamu menunjuk ke arah dua nampan yang baru kau letakkan.

“Hah?”

Kamu menggeleng, “Ckck, makasih kek.. udah dibawain makanan begini. Harusnya aku yang ditraktir tau! Kan kamu yang lagi ulang tahun..”

“Dipa, nggak jaga?” itu satu-satunya respon tercepat yang bisa kusampaikan.

Kamu mencibir, “Ya kalau gue ada di sini berarti gue free, nonong!!”

“Terima kasih, Dipa..” senyumku sama sekali tidak artifisial. Dan aku siap untuk sebuah konversasi panjang di hari sakral itu bersama kamu. Sebagai sahabat, tentu.

Itu dulu, tahun lalu. Kamu sedang menjalani semester akhir residen sebagai Chief, tingkatan terakhir sebelum kamu menghadapi ujian terakhir program pendidikan dokter spesialis. Sebelum kamu resmi bertitel Sp. B.

Itu dulu, tahun lalu.

Sebelum kamu memutuskan menjadi volunteer bulan sabit merah ke Libya. Ikut serta sebagai tim medis di bawah perlindungan Dewan Keamanan dan WHO.

Di tengah bising lalu lalang aku membayangkan apa yang kamu hadapi tiap hari. Ancaman pecahnya bentrokan, riuh rendah demonstran yang lelah dan penuh amarah, jerit kesakitan para korban penggulingan rezim. Kamu disana, menjadi saksi sejarah runtuhnya sebuah lakon kepemimpinan yang dulu begitu diagungkan. Ya, sekarang kamu di sana.

Dipa, padahal hari ini hari ulang tahunku.

No phone call, or even simple text message.

Aku tahu egois membayangkan ia bisa mengontakku di tengah chaos seperti itu. Tapi, aku kangen kamu, Dipa. Kangen konversasi kita seperti tahun lalu.

Sekarang aku duduk di sini. Di meja yang waktu itu kamu tunjukkan. Meja favoritmu. Meja yang kita sambangi hampir sebulan sekali dalam 6 bulan terakhir. Sebelum kamu berangkat ke Libya.

Berada di sini beberapa jam lebih awal dibandingkan jam kita bertemu tahun lalu. Hari ini aku tak seberuntung tahun lalu. Selain tidak ada Dipa, hari ini aku dapat giliran shift sore.

Jadi aku hanya bisa mampir di sini menjelang tengah hari.

Tak apa, demi me-recall momen bersama Dipa tahun lalu.
Di ruang sama, hari yang sama, mie hot plate yang sama.

Dipa, di manapun kamu sekarang, ucapkan selamat ulang tahun untukku. Seperti tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar