Sabtu, 30 April 2011

she was just eleven

dia yang termuda dari dua bersaudara. Ibunya meninggal beberapa tahun lalu. Entah apa sebabnya. Kakaknya beberapa tahun lebih tua. Masih berpikir untuk tidak melanjutkan jenjang pendidikan setelah ini karena ingin meringankan beban sang Ayah yang sendiri.
Ayahnya bekerja tiap hari, 6 hari seminggu. Ada pabrik dekat rumah mereka yang menggajinya cukup untuk makan keluarganya tiap hari.
Empat bulan lalu, ada yang aneh menjalar dalam tubuhnya. Nyeri di dada. Mulai sulit bernafas. Rasa sakit yang tak kepalang dalam perut kecilnya yang mulai terus berkembang. Membesar. Membulat. Padahal ia terlalu kecil dan tak dewasa untuk bisa hamil. Tubuhnya makin ringkih. Ia berhenti sekolah. Ayahnya berhenti bekerja. Bersiap mencari cara untuk membawa si bungsu berobat. Mencari tahu apa yang salah dalam tubuh si kecil. Mendadak ia teringat dengan almarhum istrinya. Bertanya-tanya apakah gejala ini serupa.
Ketika bantuan itu datang, sang Ayah bisa sedikit lega. Dengan instalasi kesehatan yang jauh lebih lengkap dan memadai, ia berfikir si bungsu masih punya kesempatan. Walau perutnya makin membesar dan tubuh kecilnya makin ringkih.
Tapi sepertinya, sang Ayah yang mulai ragu bertanya dalam hati, ada yang salah saat tube bening itu menancap di dada si bungsu. Menjadi aksesoris tubuhnya. Dia terlalu kecil untuk tersiksa. tapi kalau tube bening itu mampu menolongnya, mengurangi sakitnya, sang Ayah akan dengan rela memberi restu.
Si kecil meringis nyeri tiap waktu. Mengiris hati sang Ayah.
Seumur hidup baru kali itu mereka menaiki lift elevator. Tapi bukan rasa yang menyenangkan saat kau naik hanya untuk menyaksikan putrimu dibawa untuk menunggu. Apa tak bisa ia langsung dibedah, pikir sang Ayah. Apa tube bening itu tak boleh langsung dicabut?
Sang Ayah melihat sekeliling. Wanita-wanita dewasa ini memang sakit. Mereka terlihat keperihan. Tapi mungkin tak sebanding dengan apa yang putrinya rasakan.
Figur-figur perlente berjas putih berseliweran. Di antara mereka kadang beberapa mendekat ke tempat si bungsu berbaring kepayahan, dengan nafas yang tak lagi normal. Mereka bilang A, B, C.. Sang Ayah tak begitu mengerti. Yang ia paham, kata mereka, itu terapi yang baik untuk si bungsu
Perempuan-perempuan berseragam datang dengan intensitas terjadwal ke tempat si bungsu. Dengan jarum tajam di tangan. Menyedot untuk ini. Itu. Apapun.
Sang Ayah setuju, demi mengetahui sebenarnya apa yang membuat si bungsu begini. Satu hari. Dua hari. Tiga hari. Empat hari. Lima hari.
Si bungsu makin ringkih.
Suatu malam ia berujar, pelan, pelan sekali, 'Ayah, ingin pulang..'
Ingin menangis sebenarnya saat itu, tapi si bungsu butuh penyokong yang kuat.
Figur-figur berjas putih berseliweran. Satu. Dua. Tiga.
Sang Ayah terus bertanya, apa yang salah pada putrinya.
A. B. C...
Hingga suatu sore, hanya dengan sebuah tatapan sendu, sang Ayah mengerti. Putri kecilnya benar-benar ingin pulang.
Figur-figur berjas putih berseliweran. Sang Ayah mendatangi salah satu di antara mereka. Meminta putrinya dibebaskan.
Figur itu memandangnya sendu. Tapi miskin empati.
Sang Ayah tahu ia telah membuat keputusan yang benar. Biarlah putrinya kembali ke tempat ia dilahirkan.
Sayang, itu terlambat. Tubuh ringkihnya tak mampu menahan satu, dua, tiga, empat jam lagi.
Ada embusan terakhir. Ada selamat tinggal. Namun wajah kecil itu akhirnya bersemu penuh damai. Ia terbebas dari perih.
sang Ayah tak mampu menyembunyikan air mata.
Ia kehilangan lagi.
Si bungsu memang baru hidup sebelas tahun.
Belum banyak rasa hidup yang ia kecap. Tapi ia cukup merasakan begitu banyak perih.
Ia pantas untuk tersenyum sekarang.

STGO. Efusi pleura. Pnemoni berat.
Ia memang baru sebelas tahun.
Tuhan bilang itu cukup.

*Rest in peace, neng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar