It hasn’t felt like this before. It hasn’t felt like home before you.
Yang Lavie harapkan saat ia masih terjebak di gedung ini
selepas jam kantor berakhir adalah kemunculan wajah familiar yang membuat
harinya seakan punya nilai kebahagiaan ekstra. Aneh bagaimana sebentuk paras
mampu mengubah kelabu menjadi sedikit jingga. Seperti warna senja yang kerap
menghias langit kampung Lavie kecil dulu. Yang merupakan view favoritnya.
Tapi selasar ini sepi. Lalu lalang penjenguk yang biasanya
memenuhi tiba-tiba menyurut. Riuhnya jauh berkurang.
Ia masih punya satu bundel dokumen yang harus ia fotokopi,
dilabel ulang dan dikelompokkan. Dan setelah itu ia baru benar-benar bisa
pulang. Sebelum itu, ia ingin sekali menemukan sosok itu. Sekilas pun tak apa,
Lavie mengerti dengan tekanan pekerjaan dan tugas dia sebagai residen bedah
senior yang punya seabrek pasien di rumah sakit. Salah sedikit fatal akibatnya,
dia bisa jadi akan ditransfer turun satu semester.
Iya, dia pernah bercerita itu suatu hari. Di hari hujan saat
tak sengaja mereka bertemu di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini dan
memutuskan nongkrong di food court hingga hujan reda. Dan akhirnya mengobrol
hingga jauh malam. Hingga mall itu hampir tutup. Saat itu Lavie lupa ia harus
merekap ulang laporan keuangan bulanan yang harus disetorkan keesokan harinya.
Lavie mengenalnya saat dia masih menjadi residen bedah
junior, masih di semester awal. Saat itu Anneke, teman sekantor sekaligus
sahabatnya, harus dioperasi karena appendiksnya bermasalah. Dan dia adalah
residen yang bertanggung jawab memonitor perkembangan Anneke pada dokter
konsulen.
Dua kali sehari dia akan datang ke ruang rawat Anneke,
memeriksa kondisinya. Mengobservasi. Lavie nggak engeh pada awalnya, malah
Anneke yang giat menggoda. Kadang meminta sang residen junior untuk datang
lebih dari dua kali sehari dengan keluhan-keluhan aneh yang tidak jelas.
Memusingkan Lavie dan para perawat.
Tapi dia dengan sabar menghadapi. Dengan senyuman khas dan
nada bicara kalem yang menenangkan mampu mendiamkan kicauan Anneke yang agak
lebay.
“Vie, nggak boleh, ya, jatuh cinta sama dokter sendiri?”
sembur Anneke suatu hari. Dokter Dim, dokter konsulen yang menangani
operasinya, beberapa menit yang lalu baru berlalu sambil mengatakan besok
Anneke boleh pulang.
Alis Lavie terangkat sebelah mendengarkan ini. “Ann, sejak
kapan selera lo seumur ama papa lo? Iya sih dokter Dim kelihatan keren dengan
jas dokter dan segala atribut bedahnya itu..”
“Monyoong gue bukannya naksir sama dokter Dim!” potong
Anneke ngambek. “Gue jatuh hati sama si ...”
Saat itulah dia masuk, dan Lavie baru mulai benar-benar
memperhatikan. Menjulang dengan bahu lebar yang dibalut jas putih residen,
kacamata yang tak mampu menutupi lingkaran hitam samar di sekitar mata.
Stetoskop yang melingkar di leher, dan seabrek folder status pasien yang
dipeluk di satu tangan.
“Dokter Arga...” ucap Anneke lirih, hampir menyerupai
bisikan.
“Selamat ya, Mbak Anneke, besok sudah bisa pulang..” saat
itulah Lavie sadar kalau cerita tentang senyuman maut yang Anneke paparkan
bukan bualan.
Karena ia pun terpikat. Sesaat.
Love at the first sight isn’t Lavie’s thing, though.
I know it’s easy to say. But it’s harder to feel this way. I miss you
more than i should. Than i thought i could. I can’t get my mind off you.
“Vie, papa masuk Hasan Sadikin..”
Kabar itu datang di hari hujan di tengah bad Monday yang
biasa Lavie hadapi dengan segelas tall capuccino. Alih-alih capuccino, Lavie
hanya memiliki secangkir hazelnut coffee hangat. Dan ia hampir menumpahkan
separuh isinya saat telepon itu masuk. Mas Bayu, kakak tertuanya yang
mengabarkan.
Hazelnut coffee itu pun dibiarkan mendingin di atas meja
kerja Lavie ketika ia spontan menyeruak keluar kantor dan berlari ke IGD.
Papa masih di triase ketika Lavie tiba. Berbaring di bed brankar
paling ujung dengan salah seorang residen membungkuk di atasnya. Dokter residen
itu menoleh ketika Lavie reflek memanggil papanya.
Dokter itu Arga.
“Eh, temannya mbak Anneke..” Arga menyapa Lavie terlebih
dulu. “Ini Ayahnya?”
Dengan cepat dan polos Lavie mengangguk. “Bagaimana Papa?”
wajahnya pias, khawatir juga panik. Papa punya darah tinggi, lambungnya pun
bermasalah.
“Saya periksa dulu, ya.. setelah ini papanya harus CT scan
dulu soalnya kepala beliau sempat terbentur saat jatuh..”
Seharusnya berita kalau kepala papanya mengalami benturan
bisa membuat seorang anak mengalami kekhawatiran ekstra. Tapi tatapan lembut
Arga ke arahnya saat itu, herannya membuat Lavie seakan lupa.
“Oh.. iya..”
“Aneh, kok kita selalu ketemunya saat orang dekat kamu
sakit, ya..” ucap dokter Arga sambil berbalik kembali memeriksa Ayah Lavie.
“Hah?”
“Iya.. pertama Anneke, lalu papa kamu..”Arga menoleh sesaat
sambil tersenyum kecil ke arah Lavie.
“Dan selalu kamu dokternya..”bisik Lavie lirih, terlalu
pelan, hingga ia yakin Arga tak mendengar.
Seorang dokter muda yang menjadi asisten Arga mendampingi
Ayah Lavie di ruang radiologi. Ia tak sekalem Arga, tak setenang Arga, tak
semenyenangkan Arga.
Sisa waktu CT scan hingga Ayahnya tiba di ruang rawat inap,
benak Lavie sibuk mencari Arga.
I hate the phone. But i wish you’d call.
Bundelan dokumen sudah beres dan siap dikerjakan besok pagi.
Lavie melangkah gontai di sepanjang selasar temaram yang sepi. Beberapa
pengunjung dan brankar bed yang lalu lalang sesekali hampir tak memengaruhinya.
Ada ponsel yang tergenggam di tangannya. LCDnya menampakkan
sederet nomor yang sudah lama ia simpan sejak berbulan-bulan yang lalu. Nomor
yang familiar di ingatan karena ia hafal sejak kali pertama sang pemilik
memberikannya.
Itu sisa kenangan waktu opname Papanya. Salah satu momen
indah di tengah chaos masa kritis
Papanya, sebelum beliau pergi untuk selama-lamanya.
Dan nomor ini mengingatkan senyum sang Papa saat mendapati
tingkah aneh puteri bungsunya yang memandangi ponselnya sambil mesam-mesem
tidak jelas. Atau colekan pelan sang Papa selesai si dokter memeriksa
keadaannya. Atau gamitan sang Papa sambil berujar tanpa suara “berjuang, Lavie”
sebelum beliau kolaps dan dilarikan ke CICU.
Nomor yang hanya sekali Lavie berani tekan dan hubungi.
Untuk menyampaikan ucapan terima kasih yang sederhana.
Itu saja. Tak ada yang lain.
Kadang di satu momen desperate
yang menyesakkan, Lavie berharap ponselnya berdering dengan nama itu yang
terpampang di layar LCD.
Hanya harap, Lavie tahu, hanya harap.
That’s part of it all. Part of the beauty of fallin in love you. It’s
the fear you won’t fall.
Di kalangan perawat, Lavie pernah mendengar, kalau kamu
dokter, kamu akan menikah dengan dokter juga. Apalagi saat kamu ada di fase
residensi dan masih lajang, intensitas pertemuan dengan sesama dokter residen
akan sangat tinggi hingga kemungkinan percikan-percikan roman itu membara ada
dimana-mana.
Lavie ingin tak percaya. Ia menelusuri daftar teman-temannya
yang berprofesi sebagai dokter dan mencari tahu dengan siapa mereka menikah.
Ya, sebagian besar dengan dokter juga.
Ketika Ayah Lavie sudah seminggu diopname. Beliau dioperasi
karena ketahuan ada tumor di lambungnya. Ada kekhawatiran bahwa itu jenis tumor
yang tidak jinak. Namun dokter Dim, dokter konsulen Papa Lavie, dan Arga
meminta keluarga Lavie untuk tidak menduga-duga hingga hasil biopsi dan VC dari
patologi anatomi keluar.
Selama itu.. Lavie memperhatikan Arga lebih seksama. Dengan
siapa dia datang saat visite, rekan residen laki-laki? Perempuan? Atau dokter
muda?
Atau ketika Arga harus menerima telepon saat sedang mengecek
kondisi Papanya. Nadanya lembutkah? Marah? Atau cenderung datar?
Bila waktu itu Anneke bertanya bisakah ia jatuh cinta pada
dokternya sendiri, kali ini Lavie menyuarakan pertanyaan sejenis, apa mungkin
ia jatuh hati pada dokter Papanya? Bolehkah?
Walau Lavie sadar sepenuhnya ia akan kalah saing dengan
deretan rekan residen Arga. Atau daya tarik dokter-dokter muda wanita di
sekeliling Arga.
Ya, Lavie mengerti,
amat mengerti.
Thought being alone was better than.. was better than..
Kening Lavie mengkerut heran saat pagi-pagi Anneke sudah
sibuk menyeretnya izin keluar kantor padahal hari itu hari Kamis dengan jadwal
verifikasi data seabrek yang melihat tumpukan dokumennya saja sudah bikin Lavie
pusing kepala.
“Udah, jangan banyak nanya, deh, ngikut aja, Lavie..” hanya
itu jawaban Anneke saat Lavie berkali-kali bertanya. Kalau itu bisa
diklasifikasikan sebagai jawaban ya.
Mereka berdua berjalan ke area dimana Atoz Anneke terparkir.
“Kita ada tugas luar, gitu, Ann?”
Anneke terlihat berpikir sebentar, lalu nyengir misterius.
“Yah, bisa dibilang gitu. Ini misi khusus!”
Walau luar biasa heran dengan tingkah sahabatnya yang sangat
aneh begini, Lavie tetap nurut saja waktu dipaksa masuk dan duduk manis di
samping Anneke sementara ia mengemudi.
Atoz itu dikemudikan menuju Savoy-Homann.
“Brevet Bedah?”
Anneke nyengir lebar saat Lavie akhirnya mengerti tempat
tujuan mereka.
“Gue tahu lo naksir berat ama si Arga itu.. Eits jangan
tanya gue tahu dari mana..” Anneke memotong cepat ketika bibir Lavie terangkat
siap bicara. “Selebrasi terakhir dia, dan gue pingin lo liat, Vie..”
Untuk terakhir kalinya, Lavie membatin.
Seumur hidupnya Lavie belajar untuk mandiri. Tidak mudah
mengharapkan bantuan orang lain saat ia rasa ia masih mampu melakukannya
seorang diri. Dalam masalah apapun. Dalam menghadapi apapun. Menjadi
satu-satunya anak perempuan di tengah 5 bersaudara dan empat kakak laki-laki
membuatnya sedikit tertempa seperti mereka.
Termasuk masalah perasaan.
Lavie ingin sekali mematahkan stigma wanita adalah makhluk
yang mengedepankan perasaan di atas segalanya. Ia ingin membuktikan logikanya
masih bekerja dengan seimbang dengan perasaannya. Dalam mengatasi perasaannya
terhadap Arga pun seperti itu.
Walau kadang ia terpukul jatuh merasa tak punya harapan
dengan sosok Arga, Lavie berusaha sebisa
mungkin tak menampakkannya. Pada siapapun.
Jadi saat ini di tengah aula convention centre Savoy-Homann
bidakara hotel, di tengah riuh rendah para tamu undangan memberikan ucapan
selamat pada spesialis bedah yang baru disumpah, logika Lavie menyuruhnya
kembali, pergi.
“Jangan kabur, Vie..” perintah Anneke, ketika memandang
Lavie yang wajahnya memancarkan dengan gamblang niat hatinya.
Saat itulah Lavie luruh, “Nggak bisa, Ann.. please..”
Sendiri memang kadang memilukan. Tapi untuk Lavie, mengakui
rasa yang sampai kapan pun nggak akan pernah terbalas, itu lebih menyakitkan.