gaun tidurnya berkibar. Gaun kelabu berbahan kain yang ringan, halus. Ia tak pernah berdamai dengan angin malam yang berhembus. Tak pernah.
Tapi langkah Kania tegas. Ia tak mempedulikan protes keras dari sang gaun yang berteriak tak nyaman di sela hembusan angin.
Angin malam yang selalu menyambutnya di tepian balkon. Merayu tirai agar melambai gemulai. Menciptakan efek dramatis di pintu batas kamar Kania.
Kania tak peduli. Ia tak membutuhkan itu.
Kania butuh tamparan dingin dan tak nyamannya angin malam. Mengingatkan bahwa seperti bekunya malam ini, dalam suhu yang membekukan itu pulalah hatinya.
Sendiri. Terancam jatuh dan menjadi kepingan berserak.
Dingin yang merayap saat Surya-nya pergi. Sumber kehangatan di hati Kania. Dia pergi. Lama. Dan Kania mulai takut rasa di hatinya yang begitu lama mendingin ini jadi nekrotik.
Ia mulai mendamba. Sebuah perasaan yang hangat dan menghidupkan seperti dulu.
Ia butuh 'Surya' baru.
Tapi langkah Kania tegas. Ia tak mempedulikan protes keras dari sang gaun yang berteriak tak nyaman di sela hembusan angin.
Angin malam yang selalu menyambutnya di tepian balkon. Merayu tirai agar melambai gemulai. Menciptakan efek dramatis di pintu batas kamar Kania.
Kania tak peduli. Ia tak membutuhkan itu.
Kania butuh tamparan dingin dan tak nyamannya angin malam. Mengingatkan bahwa seperti bekunya malam ini, dalam suhu yang membekukan itu pulalah hatinya.
Sendiri. Terancam jatuh dan menjadi kepingan berserak.
Dingin yang merayap saat Surya-nya pergi. Sumber kehangatan di hati Kania. Dia pergi. Lama. Dan Kania mulai takut rasa di hatinya yang begitu lama mendingin ini jadi nekrotik.
Ia mulai mendamba. Sebuah perasaan yang hangat dan menghidupkan seperti dulu.
Ia butuh 'Surya' baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar