Ramadhan Mubarak, fellas..
Do you –anyone who read this, miss this holy month as much?
Dengan jutaan kebaikan yang Allah (swt) janjikan. Dengan jutaan rahmah dan
berkah yang dipastikan datang di tiap detiknya. Apa kerinduanmu mulai terlapisi
aktivitas dunia yang mengekang? Karena ada antisipasi yang mulai memudar tiap
Ramadan mendekat, kamu bahkan nggak mengenali tandanya.
Previous Ramadan was my first Ramadan in the new place.
Semuanya serba baru dan serba sendiri. Yang biasanya bangun sahur diomel-omel
Ibu sekarang diomel-omel sama alarm ponsel. Yang biasanya tarawih dikelilingi
wajah-wajah familiar sejak bayi, sekarang sekelilingnya diisi oleh sosok-sosok
asing yang baru terlihat sekilas satu atau dua kali. Menu buka puasa yang harus
dikreasikan sendiri agar sesuai kantong dan mengenyangkan.. it was a fight i
would remember forever.
Ramadan tahun ini.. saya masih di Bandung. Alhamdulillah.
Masih sendiri dan sepertinya bakal melakukan rutinitas Ramadan yang sama
seperti Ramadan tahun lalu. Biarlah, melatih saya juga biar lebih mandiri dan
nggak jadi makhluk dependent.
Yang berbeda, hanya untuk tahun ini saya nggak lagi sahur
pertama di Rumah Sakit. Saya bisa sahur pertama di rumah bareng keluarga dan
kembali merasakan Tarawih pertama di kampung. Doa-doa yang familiar.
Wajah-wajah yang familiar. Suasana yang lebih homey.
Tarawih hari pertama seperti biasa padat minta ampun sampai
jamaah meluber keluar. I was one of the lasts to come jadi nggak kebagian shaf
di dalam mushola. Luckily, my Mom anticipated this situation and brought tikar
with her. Jadilah, kami, dan beberapa ibu-ibu lain –termasuk Mbah, solat
tarawih di luar beralas tikar.
Situasi ini mengingatkan saya dengan ucapan guru agama saya
semasa SMA. Beliau pernah bercerita betapa nyamannya kita solat di dalam
masjid/musola yang adem, bahkan berpendingin udara, beralas sajadah empuk. Apa jadinya
di masa Nabi (saw) dulu, di masa perang melawan kaum kafir, kaum mukmin harus
ibadah di alam terbuka. Bahkan hanya beralas tanah. Kalau malam mungkin iya
adem, kalau siang dan menyengat, apa jadinya. Kita patut bersyukur. Benar-benar
patut bersyukur.
Saya bersyukur bisa merasakan pengalaman itu, beribadah di
alam terbuka, sujud di atas permukaan tanah yang nggak rata dan bercampur
kerikil kecil, kadang bikin jidat kita rada senut-senut. Di samping itu, selain
mendengarkan suara imam dari dalam musola, saya juga ditemani bebunyian khas
malam : suara jangkrik. Musola kecil kampung kami memang terletak tak jauh dari
sawah dan pemukiman yang masih cukup jarang penduduk.
Suasana itu mengingatkan saya akan kesederhanaan yang telah
membesarkan saya.
Jauh dari hiruk pikuk kota –walaupun berjarak hanya beberapa
puluh meter dari jalan raya, namun minim kebisingan lalu lintas.
Kesederhanaan yang selalu saya kangeni tiap berada di
Bandung.
Dan itu, semoga cukup menjadi bekal awal untuk memperbaiki
diri dalam tempaan bulan suci 30 hari ke depan.
Semoga keberkahan mengaliri kita dalam hari-hari sarat
rahmat ini. Selamat beribadah, teman.