Ia menjulang, walau dari kejauhan. Tinggi badannya tak
berapa signifikan dari tinggi badan pria rata-rata. Tapi aku selalu bisa
membedakannya dari wajah-wajah lain, meski dari jauh.
Dengan kepala cepaknya yang helai rambutnya kini sedikit lebih
tebal. Atau raut lelah sehabis jaga semalam suntuk dan membludaknya pasien di
IGD. Senyum familiar yang ia tawarkan selalu menghangatkan hati.
“Sarapan?” ajakku, sedikit miris melihat lingkaran tebal di
sekeliling mata cokelatnya.
Ia menggeleng enggan, “Mau, tapi belum morning report...”
Aku mendesah sama berat dengan keengganannya pergi,
aktivitas rutin tiap pagi selepas jaga itu kadang bikin aku stress karena
menghilangkan kesempatan kami berdua.
“Makan siang?” tanyaku penuh harap. Mencatat dalam hati bila
ia mengiyakan aku harus cepat bilang pada Lusi, sobat kantor bahwa kami tidak
jadi lunch bareng.
“Hari ini aku di OK. Takutnya telat istirahat siang.”
Aku mencelos. Masih masa residensi saja waktunya seolah nggak
pernah ada buatku, bagaimana nanti saat ia telah resmi ditasbihkan sebagai
Spesialis Bedah. Tapi aku mengerti, sangat mengerti.
Walau berat, tapi aku mencoba tersenyum setulus mungkin.
Reflek aku sentuh lengannya, menenangkan. “Yaudah, nggak apa-apa. Jangan lupa
makan. Jaga kesehatan.”
Dengan cepat ia balas meremas jariku pelan, “Aku telepon
waktu senggang ya..”
“Nggak usah dipaksain. Ada waktu senggang mending tidur
sebentar.” Aku berusaha suportif.
Dia mengangguk patuh, walau aku tak yakin ada waktu senggang
yang memungkinkan dia terlelap. Aku menatap punggungnya yang menjauh dengan
prihatin. Dalam hati aku merapalkan mantra demi hubungan ini, seaneh apapun
kami terlihat, “I’m into this. He is too. We’ll stay strong.”